karbala

Sejarah Karbala dalam Pandangan Ahlus Sunnah

MASIH banyak kaum muslimin di negeri ini yang belum memahami peristiwa syahidnya Husein bin Ali, cucu Rasulullah ﷺ di Padang Karbala dengan benar. Sebagian kaum muslimin menjadikan tulisan orang-orang Syiah tentang peristiwa Karbala ini sebagai rujukan.

Maka penting sekali untuk kita kaji peristiwa Karbala ini dalam perspektif Ahlus Sunnah wal Jama’ah, agar kita mengetahui yang sebenarnya dengan menjadikan kitab-kitab para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah sebagai rujukan.

Penyebab Husein Bin Ali Berangkat ke Iraq

Pada tahun 60 H, ketika Muawiyah bin Abu Sufyan wafat, penduduk Iraq mendengar kabar bahwa Husein bin Ali belum berbaiat kepada Yazid bin Muawiyah. Maka orang-orang Iraq mengirimkan utusan kepada Husein yang membawakan baiat mereka secara tertulis kepadanya.

Penduduk Iraq tidak ingin kalau Yazid bin Muawiyah yang menjadi khalifah, bahkan mereka tidak menginginkan Muawiyah, Utsman, Umar, dan Abu Bakar menjadi khalifah, yang mereka inginkan adalah Ali dan anak keturunannya menjadi pemimpin umat Islam. Melalui utusan tersebut sampailah 500 pucuk surat lebih yang menyatakan akan membaiat Husein sebagai khalifah.

Setelah surat itu sampai di Makkah, Husein tidak terburu-buru membenarkan isi surat itu. Ia mengirimkan sepupunya, Muslim bin Aqil, untuk meneliti kebenaran kabar baiat ini.

Sesampainya Muslim di Kufah, ia menyaksikan banyak orang yang sangat menginginkan Husein menjadi khalifah. Lalu mereka membaiat Husein melalui perantara Muslim bin Aqil. Baiat itu terjadi di kediaman Hani bin Urwah.

Kabar ini akhirnya sampai ke telinga Yazid bin Muawiyah di ibu kota kekhilafahan Bani Umayyah di Syam, lalu ia mengutus Ubaidullah bin Ziyad menuju Kufah untuk mencegah Husein masuk ke Iraq dan meredam pemberontakan penduduk Kufah terhadap otoritas kekhilafahan.

Saat Ubaidullah bin Ziyad tiba di Kufah, masalah ini sudah sangat memanas. Ia terus menanyakan perihal ini hingga akhirnya ia mengetahui bahwa kediaman Hani bin Urwah adalah sebagai tempat berlangsungnya pembaiatan dan di situ juga Muslim bin Aqil tinggal.

Ubaidullah menemui Hani bin Urwah dan menanyakannya tentang gejolak di Kufah. Ubaidullah ingin mendengar sendiri penjelasan langsung dari Hani bin Urwah walaupun sebenarnya ia sudah tahu tentang semua kabar yang beredar.

Dengan berani dan penuh tanggung jawab terhadap keluarga Nabi (Muslim bin Aqil adalah keponakan Nabi ﷺ), Hani bin Urwah mengatakan, “Demi Allah, sekiranya Muslim bin Aqil bersembunyi di kedua telapak kakiku ini, aku tidak akan memberitahukannya kepadamu!” Ubaidullah lantas memukulnya dan memerintahkan agar ia ditahan.

Mendengar kabar bahwa Ubaidullah memenjarakan Hani bin Urwah, Muslim bin Aqil bersama 4000 orang yang membaiatnya mengepung istana Ubaidullah bin Ziyad. Pengepungan itu terjadi di siang hari.

Ubaidullah bin Ziayd merespon ancaman Muslim dengan mengatakan akan mendatangkan sejumlah pasukan dari Syam. Ternyata gertakan Ubaidullah membuat takut pembela Husein ini.

Mereka pun berkhianat dan berlari meninggalkan Muslim bin Aqil hingga tersisa 30 orang saja yang bersama Muslim bin Aqil, hingga ketika matahari hampir terbenam, yang tersisa hanya tinggal Muslim bin Aqil seorang diri.

Muslim pun akhirnya ditangkap dan Ubaidullah memerintahkan agar ia dibunuh. Sebelum dieksekusi, Muslim meminta izin untuk mengirim surat kepada Husein, keinginan terakhirnya dikabulkan oleh Ubaidullah bin Ziyad.

Isi surat Muslim kepada Husein adalah :

“Pergilah, pulanglah kepada keluargamu! Jangan engkau tertipu oleh penduduk Kufah. Sesungguhnya penduduk Kufah telah berkhianat kepadamu dan juga kepadaku. Para pendusta itu tidak memiliki prinsip, pandangan dan komitmen dalam perjuangan ini.”

Muslim bin Aqil pun dibunuh pada Hari Arafah, tanggal 9 Dzulhijjah tahun 60 H. Husein berangkat dari Makkah menuju Kufah di hari tarwiyah.

Banyak para sahabat Nabi menasihatinya agar tidak pergi ke Kufah. Di antara yang menasihatinya adalah Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Zubair, Abu Sa’id Al-Khudri, Abdullah bin Amr, saudara tiri Husein, Muhammad Al-Hanafiyah dll.

Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu mengatakan:

“Sesungguhnya aku adalah seorang penasihat untukmu, dan aku sangat menyayangimu. Telah sampai berita bahwa orang-orang yang mengaku sebagai pembelamu di Kufah menulis surat kepadamu. Mereka mengajakmu untuk bergabung bersama mereka, janganlah engkau pergi bergabung bersama mereka karena aku mendengar ayahmu -Ali bin Abi Thalib- mengatakan tentang penduduk Kufah, “Demi Allah, aku bosan dan benci kepada mereka, demikian juga mereka bosan dan benci kepadaku. Mereka tidak memiliki sikap memenuhi janji sedikit pun. Niat dan kesungguhan mereka tidak ada dalam suatu permasalahan, mereka sangat mudah sekali berubah. Mereka juga bukan orang-orang yang sabar ketika menghadapi pedang, mereka semua adalah penakut”.”

Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Aku hendak menyampaikan kepadamu beberapa kalimat. Sesungguhnya Jibril datang kepada Nabi ﷺ. Kemudian memberikan dua pilihan kepada beliau antara dunia dan akhirat, maka beliau memilih akhirat dan tidak mengiginkan dunia. Engkau adalah darah dagingnya, demi Allah tidaklah Allah memberikan atau menghindarkan kalian wahai Ahlul Bait dari suatu hal, kecuali hal itu adalah yang terbaik untuk kalian”.

Husein tetap enggan membatalkan keberangkatannya. Abdullah bin Umar pun menangis, lalu mengatakan, “Aku titipkan engkau kepada Allah dari pembunuhan.”

Setelah meneruskan keberangkatannya, datanglah kabar kepada Husein tentang tewasnya Muslim bin Aqil. Husein pun sadar bahwa keputusannya ke Iraq keliru, dan ia hendak pulang menuju Makkah atau Madinah, namun anak-anak Muslim mengatakan, “Janganlah engkau pulang, sampai kita menuntut hukum atas terbunuhnya ayah kami.”

Karena menghormati Muslim dan berempati terhadap anak-anaknya, Husein akhirnya tetap berangkat menuju Kufah dengan tujuan menuntut hukuman bagi pembunuh Muslim. Bersamaan dengan itu Ubaidullah bin Ziyad telah mengutus Al-Hurru bin Yazid At-Tamimi dengan membawa 1000 pasukan untuk menghadang Husein agar tidak memasuki Kufah.

Bertemulah Al-Hurru dengan Husein di Qadisiyah, ia mencoba menghalangi Husein agar tidak masuk ke Kufah. Husein mengatakan, “Celakalah ibumu, menjauhlah dariku.”

Al-Hurru menjawab, “Demi Allah, kalau saja yang mengatakan itu adalah orang selainmu akan aku balas dengan menghinanya dan menghina ibunya, tapi apa yang akan aku katakan kepadamu, ibumu adalah wanita yang paling mulia, radhiyallahu ‘anha.”

Detik-detik Syahidnya Hussein di Karbala

Saat Husein menginjakkan kakinya di daerah Karbala, tibalah 4000 pasukan lainnya yang dikirim oleh Ubaidullah bin Ziyad dengan pimpinan pasukan Umar bin Sa’ad. Husein mengatakan, “Apa nama tempat ini?” Orang-orang menjawab, “Ini adalah daerah Karbala.” Kemudian Husein menanggapi, “Karbun (musibah) dan bala! (bencana).”

Melihat pasukan dalam jumlah yang sangat besar, Husein radhiyallahu ‘anhu menyadari tidak ada peluang baginya. Lalu ia mengatakan, “Aku ada dua alternatif pilihan, (1) kalian mengawal (menjamin keamananku) pulang atau (2) kalian biarkan aku pergi menghadap Yazid di Syam.

Engkau pergi menghadap Yazid, tapi sebelumnya aku akan menghadap Ubaidullah bin Ziyad terlebih dahulu kata Umar bin Sa’ad. Ternyata Ubaidullah menolak jika Husein pergi menghadap Yazid, ia menginginkan agar Husein ditawan menghadapnya. Mendengar hal itu Husein menolak untuk menjadi tawanan.

Terjadilah peperangan yang sangat tidak imbang antara 73 orang di pihak Husein berhadapan dengan 5000 pasukan Iraq. Kemudian 30 orang pasukan Iraq dipimpin oleh Al-Hurru bin Yazid At-Tamimi membelot dan bergabung dengan Husein.

Peperangan di Karbala yang tidak imbang itu menewaskan semua orang yang mendukung Husein, hingga tersisa Husein seorang diri. Orang-orang Kufah merasa takut dan segan untuk membunuhnya, masih tersisa sedikit rasa hormat mereka kepada darah keluarga Nabi Muhammad ﷺ.

Namun ada seorang laki-laki yang bernama Amr bin Dzil Jausyan -semoga Allah menghinakannya- melemparkan panah lalu mengenai Husein hingga terjatuh, lalu orang-orang mengeroyoknya. Husein akhirnya syahid, semoga Allah meridhainya.

Ada yang mengatakan Amr bin Dzil Jausyan lah yang memotong kepala Husein sedangkan dalam riwayat lain, orang yang memenggal kepala Husein adalah Sinan bin Anas, Allahu a’lam. Yang perlu kita ketauhi bahwasanya Ubaidullah bin Ziyad, Amr bin Dzil Jausyan, dan Sinan bin Anas adalah pembela Ali (Syiah nya Ali) di Perang Shiffin.

Ini adalah sebuah kisah pilu yang sangat menyedihkan, celaka dan terhinalah orang-orang yang turut serta dalam pembunuhan Husein dan Ahlul Bait yang bersamanya. Bagi mereka kemurkaan dari Allah. Semoga Allah merahmati dan meridhai Husein dan orang-orang yang tewas bersamanya.

Di antara ahlul bait yang terbunuh bersama Husein adalah :

  1. Anak-anak Ali bin Abi Thalib: Abu Bakar, Muhammad, Utsman, Ja’far, dan Abbas.
  2. Anak-anak Husein bin Ali: Ali Al-Akbar dan Abdullah.
  3. Anak-anak Hasan bin Ali: Abu Bakar, Abdullah, Qosim.
  4. Anak-anak Aqil bin Abi Thalib: Ja’far, Abdullah, Abdurrahman, dan Abdullah bin Muslim bin Aqil.
  5. Anak-anak dari Abdullah bin Ja’far bin Abi Thalib: ‘Aun dan Muhammad.

Dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha bawasanya Jibril datang kepada Nabi yang mulia ﷺ, Jibril mengatakan, “Apakah engkau mencintai Husein wahai Muhammad?” Nabi menjawab, “Tentu” Jibril melanjutkan, “Sesungguhnya umatmu akan membunuhnya. Kalau engkau mau, akan aku tunjukkan tempat dimana ia akan terbunuh.” Kemudian Nabi diperlihatkan tempat tersebut, sebuah tempat yang dinamakan Karbala. (HR. Ahmad dalam Fadhailu Ash-Shahabah).

Sikap Para Sahabat terhadap Kepergian Husein ke Iraq

Tidak ada kemaslahatan dalam hal dunia maupun akhirat dari sikap Husein radhiyallahu ‘anhu yang keluar menuju Iraq. Oleh karena itu, banyak Sahabat Nabi yang berusaha mencegahnya dan melarangnya berangkat ke Iraq.

Husein pun menyadari hal itu dan ia sempat hendak pulang, namun anak-anak Muslim bin Aqil memintanya mengambil sikap atas terbunuhnya ayah mereka. Husein dengan penuh tanggung jawab tidak lari dari permasalahan ini. Dari peristiwa ini tampaklah kezhaliman dan kesombongan orang-orang Kufah terhadap Ahlul Bait Nabi ﷺ.

Sekiranya Husein radhiyallahu ‘anhu menuruti nasihat para sahabat tentu tidak terjadi peristiwa ini, akan tetapi Allah telah menetapkan takdirnya.

Sikap Kita

Kematian Husein bin Ali radhiyallahu ‘anhuma adalah kesedihan. Natum tidak boleh diratapi dengan memukul-mukul pipi, merobek-robek pakaian, atau bentuk ratapan yang semisalnya apalagi dengan melukai diri. Nabi ﷺ bersabda:

لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَطَمَ الْخُدُودَ وَشَقَّ الْجُيُوبَ وَدَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ

“Bukanlah bagian dari umatku, orang yang menampar-nampar pipi (ketika ditimpa kematian), merobek-robek baju dan meratapi mayat sebagaimana ratapannya orang-orang jahiliyah.” (HR. Al-Bukhari & Muslim).

Seorang muslim yang baik, apabila mendengar musibah kematian hendaknya ia mengatakan sebuah kalimat yang Allah tuntunkan dalam firman-Nya:

الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُم مُّصِيبَةٌ قَالُواْ إِنَّا لِله وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعونَ

“Orang-orang yang apabila mereka ditimpa musibah, mereka mengtakan sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya lah kami akan kembali.” (QS. Al-Baqarah (2) : 155)

Tidak pernah diriwayatkan bahwa Ali bin Husein atau putranya Muhammad, atau Ja’far Ash-Shadiq atau Musa bin Ja’far rahimahumullahu ta’ala, para imam dari kalangan Ahlul Bait maupun selain mereka pernah memukul-mukul pipi mereka. Atau merobek-robek pakaian atau berteriak-teriak, dalam rangka meratapi kematian Husein. Tirulah mereka kalau engkau tidak bisa serupa dengan mereka, karena meniru orang-orang yang mulia itu adalah kemuliaan.

Kita tidak sama dengan orang-orang yang mengaku Syiah (atau mengaku sebagai pembela Husein), pada hari ini. Di mana merusak anggota tubuh, memukul kepala dan tubuh dengan pedang dan rantai, mereka katakan kami bangga menyucurkan darah bersama Husein.

Posisi Yazid bin Muawiyah dalam Peristiwa Karbala 

Dalam permasalahan ini, Yazid sama sekali tidak turut campur. Kita mengatakan hal ini bukan untuk membela Yazid tetapi hanya untuk mendudukan permasalahan yang sebenarnya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,  Yazid bin Muawiyah tidak memerintahkan untuk membunuh Husein. Ini adalah kesepatakan para ahli sejarah. Yazid hanya memerintahkan Ubaidullah bin Ziyad agar mencegah Husein untuk memasuki wilayah Iraq.

Ketika Yazid mendengar tewasnya Husein, Yazid pun terkejut dan menangis. Setelah itu Yazid memuliakan keluarga Husein dan mengamankan anggota keluarga yang tersisa sampai ke daerah mereka.

Adapun riwayat yang menyatakan bahwa Yazid merendahkan perempuan-perempuan Ahlul Bait lalu membawa mereka ke Syam, ini adalah riwayat yang batil. Bani Umayyah (keluarga Yazid) selalu memuliakan Bani Hasyim (keluarga Rasulullah ﷺ).

Sebelumnya Yazid telah mengirim surat kepada Husein ketika di Makkah, ternyata saat surat itu tiba Husein telah berangkat menuju Iraq. Surat itu berisikan syair dari Yazid untuk melunakkan hati Husein agar tidak berangkat ke Iraq dan Yazid juga menyatakan kedekatan kekerabatan mereka.

Bibi Yazid, Ummu Habibah adalah istri Rasulullah dan kakek Yazid dan Husein adalah saudara kembar.

Tidak ada riwayat yang shahih yang menyatakan bahwa kepala Husein dikirim kepada Yazid di Syam. Husein wafat di Karbala dan kepalanya didatangkan kepada Ubaidullah bin Ziyad. Tidak diketahui dimana makamnya dan makam kepalanya. Wallahu Ta’ala A’lam.*

Penulis pengkaji dan pemerhati sejarah peradaban Islam, pendiri PP Darul Iman Bandung Barat. Sumber diambil dari Kitab Hiqbah min At-Tarikh (Syeikh Dr. Utsman Al-Khamis), Mausu’ah Al-Hasan wa Al-Husain Radhiyallahu ‘Anhuma,  (Dr. Hasan Al-Husain) dan  Kitab Al-Bidayah wa An-Nihayah (Ibnu Katsir)

HIDAYATULLAH