Sebelum menjawab pertanyaan di atas, perlu kita tekankan kembali bahwa apa yang sudah dilakukan jemaah haji di hari-hari yang terbatas jumlahnya pada awal bulan Zulhijah ini merupakan salah satu rangkaian prosesi ibadah yang paling agung dan paling utama, yaitu berhaji di rumah Allah Ta’ala yang penuh kemuliaan. Melaksanakan ibadah haji merupakan salah rukun Islam yang wajib dilakukan oleh seorang muslim yang telah Allah mampukan secara fisik dan harta. Di dalam pelaksanaannya, ia mendapatkan kehormatan untuk bisa tawaf mengelilingi rumah Allah Ta’ala, berjalan sai di antara bukit Safa dan Marwa, wukuf di padang Arafah, serta melempar kerikil di Jamarat, dan amalan-amalan lainnya yang penuh kemuliaan.
Detik ini, sebagian dari jemaah haji telah pulang ke negerinya masing-masing, kembali ke keluarganya yang telah menunggunya. Mereka pulang sembari membawa cerita-cerita bahagia atas kesempatan yang telah Allah berikan untuk menyelesaikan amalan haji yang tentu tidak mudah untuk dilakukan tersebut. Teruntuk semua saudaraku yang telah mendapatkan kehormatan untuk melaksanakan ibadah haji, inilah beberapa renungan dan nasihat untukmu dari seseorang yang tulus mencintaimu karena Allah Ta’ala, seseorang yang sangat mengharapkan kebaikan untuk dirimu:
Renungan pertama: Bersyukurlah kepada Allah Ta’ala karena telah memilihmu sebagai salah satu tamunya
Teruslah bersyukur dan memuji Allah Ta’ala atas limpahan karunia yang telah Ia berikan kepadamu, baik itu berupa kenikmatan yang nampak, maupun kebaikan dan kemudahan yang engkau dapatkan selama menjalankan rangkaian ibadah haji ini. Karena sejatinya, seberapa pun kayanya seseorang, sesukses apa pun dirinya, dan setinggi-tingginya jabatan yang dimilikinya, kesemuanya itu tidak serta merta menjadikan dirinya dapat berangkat haji dan menuntaskan seluruh rangkaian ibadah haji yang ada. Ketahuilah, Allahlah satu-satunya sumber semua kenikmatan ini, di tangan-Nyalah seseorang dapat berhaji, dan di tangan-Nya pula seseorang bisa tiba-tiba gagal untuk pergi berhaji. Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا بِكُم مّن نّعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ
“Dan segala nikmat yang ada padamu (datangnya) dari Allah.” (QS. An-Nahl: 53)
Betapa banyaknya kenikmatan yang telah Allah berikan ini, sampai-sampai Allah Ta’ala sendiri berfirman,
وَاِنْ تَعُدُّوْا نِعْمَةَ اللّٰهِ لَا تُحْصُوْهَا ۗاِنَّ اللّٰهَ لَغَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
“Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya. Sungguh, Allah benar-benar Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. An-Nahl: 18)
Seseorang yang telah berangkat haji hendaknya juga mengiringi rasa syukurnya dengan perasaan yang dipenuhi kebahagiaan dan kesenangan, karena ia telah mendapatkan keutamaan dan taufik dari Allah Ta’ala untuk menjalankan ketaatan dan ibadah tersebut. Kebahagiaan dan rasa senang semacam ini adalah hak mereka, karena merupakan kebahagiaan yang hakiki lagi abadi. Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ بِفَضْلِ اللّٰهِ وَبِرَحْمَتِهٖ فَبِذٰلِكَ فَلْيَفْرَحُوْاۗ هُوَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُوْنَ
“Katakanlah (Muhammad), ‘Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Itu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan.’” (QS. Yunus: 58)
Renungan kedua: Berbaiksangkalah kepada Allah Ta’ala, berharaplah kepada-Nya kebaikan yang berlimpah, kuatkan rasa harapmu kepada Allah Ta’ala bahwa ia menerima ibadah haji dan amalanmu serta mengampuni dosa-dosamu yang telah lalu.
Terdapat dalam sebuah hadis qudsi dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwasanya Allah Ta’ala berfirman,
أنا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بي
“Sesungguhnya Aku berdasarkan pada prasangka hamba-Ku kepada-Ku.” (HR. Bukhari no. 7405 dan Muslim no. 2675)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga mengatakan,
مَن حَجَّ لِلَّهِ فَلَمْ يَرْفُثْ، ولَمْ يَفْسُقْ، رَجَعَ كَيَومِ ولَدَتْهُ أُمُّهُ.
“Barangsiapa menunaikan ibadah haji untuk ikhlas karena Allah Ta’ala, lalu ia tidak mengucapkan kata-kata kotor serta tidak berbuat kefasikan, maka ia pulang dalam keadaan (suci) seperti pada saat dilahirkan oleh ibunya.” (HR. Bukhari no. 1521 dan Muslim no. 1350)
Renungan ketiga: Berhati-hatilah dari terjatuh kembali ke dalam lubang dosa dan kemaksiatan
Wahai saudaraku, sesungguhnya engkau baru saja menyelesaikan ibadah haji. Rangkaian ketaatan yang penuh dengan ketundukan dan kerendahan hati kepada Allah Ta’ala. Engkau pulang dalam kondisi selamat, serta dosa-dosamu telah Allah ampuni. Jangan sampai, engkau kotori dan engkau nodai kemuliaan ini dengan kembali melakukan kemaksiatan. Kemaksiatan yang akan menghancurleburkan pahala yang telah engkau kumpulkan, membatalkan ampunan Allah Ta’ala terhadap dosa-dosa yang engkau lakukan. Allah Ta’ala telah melarang kita dari perbuatan semacam ini. Ia berfirman,
وَلَا تَكُوْنُوْا كَالَّتِيْ نَقَضَتْ غَزْلَهَا مِنْۢ بَعْدِ قُوَّةٍ اَنْكَاثًاۗ
“Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali.” (QS. An-Nahl: 92)
Jangan engkau kotori lembaran putih yang telah Allah berikan ini dengan hitamnya dosa-dosa yang engkau lakukan. Sungguh begitu indah apabila sebuah kebaikan diiringi kebaikan-kebaikan lain setelahnya, dan betapa buruk sebuah kejelekan yang dilakukan setelah adanya kebaikan.
Renungan keempat: Haji yang mabrur dan diterima oleh Allah memiliki tanda-tanda, maka perhatikanlah!
Hasan Al-Bashri pernah ditanya,
“Apa itu haji yang mabrur?”
Beliau menjawab,
“Engkau kembali dari haji itu, sedang dirimu merasa zuhud dan berpaling dari kenikmatan duniawi dan sangat berharap mendapatkan akhirat.”
Sebagian salaf juga mengatakan,
“Di antara ganjaran dan balasan sebuah kebaikan adalah kebaikan setelahnya.”
Betapa indahnya apabila seseorang yang telah berhaji kemudian pulang ke keluarganya sedang keimanannya telah bertambah, keistikamahannya semakin menguat, menjadi baik perangainya, dan bertambah pula rasa wara’ dan ketakwaannya. Ibadah haji seharusnya semakin mendekatkan diri seseorang kepada Allah Ta’ala. Apa gunanya ibadah haji bagi seseorang yang sepulangnya ia darinya masih saja menyia-nyiakan salat?! Apa pengaruhnya haji yang ia lakukan jika sekembalinya ia tetap tidak mau mengeluarkan zakat, memakan harta riba, durhaka kepada kedua orang tua, dan memutus tali silaturahmi?!
Wahai saudaraku, jadikanlah hajimu sebagai penghalang dari melakukan kemaksiatan dan pendorong untuk melakukan kebaikan. Karena tidak ada garis finis bagi seorang muslim untuk terus melakukan ketaatan, kecuali ajalnya sendiri. Allah Ta’ala berfirman,
وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتّٰى يَأْتِيَكَ الْيَقِيْنُ ࣖࣖ
“Dan sembahlah Tuhanmu sampai yakin (ajal) datang kepadamu.” (QS. Al-Hijr: 99)
Renungan kelima: Ibadah haji adalah momentum keikhlasan, tauhid, dan ketundukan yang sempurna kepada Allah Ta’ala
Dari awal ibadah haji ini, kata yang selalu engkau ucapkan adalah kata-kata yang mengandung penetapan tauhid untuk Allah Ta’ala satu-satunya,
لَبَّيْكَ لاَ شَرِيكَ لَكَ لَبَّيْكَ
“Hamba-Mu datang menyahut panggilan-Mu. Tuhan yang tiada sekutu bagi-Mu. Hamba-Mu datang menyahut panggilanMu.”
Oleh karena itu, tidak sepantasnya bagi dirimu untuk bermudah-mudahan di dalam memberikan doa, meminta pertolongan, dan menyembelih kepada selain Allah Ta’ala. Bagaimana bisa seseorang dianggap telah berhaji, sedangkan sekembalinya dari ibadah haji, ia masih tetap melakukan kesyirikan, mendatangi dukun, percaya ramalan, melakukan pesugihan, mengambil berkah dari kuburan, bebatuan, dan benda-benda keramat lainnya?! Bagaimana bisa seseorang yang telah memenuhi panggilan Allah Ta’ala dengan berangkat berhaji lalu ia menjawab ajakan orang-orang yang melakukan ke-bid’ah-an dan ajaran-ajaran sesat yang ada. Bagaimana mungkin hal-hal seperti ini terjadi, sedang Allah Ta’ala telah memberinya kesempatan untuk mengunjungi rumahnya serta memenuhi panggilannya dengan berhaji?! Sungguh hal ini merupakan salah satu bentuk kufur nikmat yang paling besar. Kufur nikmat yang sudah sepantasnya dihindari oleh seorang muslim.
Wallahu a’lam bis-shawab.
***
Penulis: Muhammad Idris, Lc.
Artikel: Muslim.or.id
Sumber:
Diterjemahkan dari artikel yang ditulis oleh Syekh Muhammad Al-Hamood An-Najdi berjudul “Madza Ba’da Al-Hajj” (Apa Berikutnya Setelah Haji) dengan beberapa penyesuaian dan perubahan.
Sumber: https://muslim.or.id/85907-selepas-haji-apa-yang-harus-kita-lakukan.html