ADA orang yang hanya mendengarkan setengah dari suatu pembicaraan, paham seperempatnya, namun berani berbicara tentangnya berkali lipat panjangnya dibandingkan dengan sang pembicara asli. Janganlah kita menjadi orang seperti ini dan berhati-hatilah dengan orang yang seperti ini.
Ada orang yang baru saja mulai belajar agama, tak sampai sepersepuluhnya yang dipelajarinya, seperduapuluh yang dipahaminya, tapi bicaranya panjang lebar sambil ngotot meyakinkan bahwa hanya dirinya yang benar dan yang lain salah.
Yang paling unik adalah bahwa ulama-ulama besar yang ilmu dan amalnya diakui hebat oleh dunia Islam disesatkannya pula oleh orang yang baru belajar ini. Janganlah kita menjadi orang seperti ini dan hati-hatilah dengan orang seperti ini.
Semakin alim seseorang, semakin dia tahu bahwa ada yang lebih alim dari dirinya. Tak pernah diciptakan manusia yang dalam dirinya terkumpul kesemua ilmu, karenanya manusia harus hidup saling mengisi, saling berhubungan dan saling membantu. Kita perlu membaca orang-orang alim pada masa lalu, begitu baiknya akhlak mereka, ketawadlu’an mereka, tak malu untuk mengatakan tak tahu pada masalah yang memang beliau tidak tahu.
Menurut suatu riwayat, Imam Malik tidak berkenan memberikan fatwa hukum tentang suatu hal sebelum ada tujuh puluh orang yang memberikan kesaksian bahwa beliau memang memiliki keahlian dan hak fatwa pada hal yang dimintakan fatwa itu. Tak gampang mengatakan halal dan haram, iman dan kafir, sesat dan tidak sesat. Berhati-hatilah dalam berfatwa.
Berfatwa itu bagaikan menjahit; mufti itu penjahit, fatwanya adalah jarum jahitnya. Kalau benar dan baik penuh ketelitian dan kehati-hatian, maka hasil jahitannya akan bagus. Kalau tidak hati-hati, tidak teliti, dan tidak ahli, maka bukan hanya hasilnya rusak melainkan jarumnya bisa menyakiti dirinya sendiri.
Oleh : KH Ahmad Imam Mawardi,
Pengasuh Pondok Pesantren Kota Alif Laam Miim Surabaya.