Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Pamekasan KH Abdul Ghoffar, suatu waktu berbincang dengan NU Online seputar seekor kijang yang memiliki ketawakalan tinggi. Cerita ini berpangkal dari kisah seorang musafir bernama Malik bin Dinar.
Ketika Malik melintasi sebuah gurun dalam perjalanan menuju Makkah untuk menunaikan ibadah haji, Kiai Ghoffar memulai kisahnya, dia melihat seekor burung gagak terbang sambil menggigit sepotong roti. Malik berpikir, tentu ada hal yang aneh di balik kejadian yang dilihatnya tersebut.
Lalu burung itu diikutinya hingga akhirnya masuk sebuah gua. Malik mengikutinya dari belakang. Sekonyong-konyong tampak seorang lelaki tergeletak di tanah, sedangkan kedua tangan dan kakinya terikat erat.
Pada saat itu, si burung gagak sedang menyuapi seorang lelaki tadi, sepotong demi sepotong, hingga semua roti tersebut habis dimakan oleh lelaki tersebut. Setelah itu, burung gagak terbang keluar dan tidak kembali lagi.
Malik bertanya kepada orang yang disuapi burung gagak tadi: “Dari manakah tuan?” Orang itu menjawab, “Saya adalah salah seorang haji. Penyamun telah merampas semua harta benda saya, lalu mengikat saya dan melemparkan saya di tempat ini. Aku telah bersabar menahan lapar selama lima hari.
Kemudian setelah itu aku berdoa, ‘Wahai Tuhan yang telah berfirman dalam Kitab-nya, ‘Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya?’. Akulahorang yang kesulitan itu, maka kasihanilah aku!”
“Kemudian Allah mengutus burung gagak tadi. Setiap hari ia datang member makan dan minum kepadaku,” ungkapnya.
Setelah ikatannya dibuka oleh Malik, maka keduanya pun melanjutkan perjalanan bersama-sama. Di tengah jalan mereka kehausan, padahal keduanya tidak membawa air sedikit pun.
“Lalu keduanya mencari-cari air di gurun itu. Bersamaan dengan itu, tampak oleh keduanya sebuah sumur dikerumuni beberapa ekor kijang. Melihat keduanya, kijang-kijang itu berlompatan lari,” terang Kiai Ghoffar.
Dilanjutkan Kiai Ghoffar, tatkala keduanya hendak mengambil air dalam sumur, tiba-tiba airnya menyusut sampai ke dasarnya. Kemudian keduanya menimba dan minum bersama.
“Setelah puas minum, Malik berucap: ‘Wahai Tuhanku, kijang-kijang itu sama sekali tidak pernah ruku’ dan sujud, namun Engkau beri air di permukaan sumur dengan mudah, sedang kami harus menimba seratus hasta, baru dapat mengeluarkan air dari sumur tadi!”
Maka terdengar jawaban,” Hai Malik, kijang-kijang itu bertawakkal kepadaku, sehingga Aku beri mereka minum. Sedangkan engkau, bertawakal kepada tambang dan timbamu!”
Menurut Kiai Ghoffar, kisah tersebut berpangkal pada pola hidup para sufi tempo dulu. Di dunia pesantren, cerita tersebut serta cerita-cerita lainnya, disampaikan secara istikamah atau berkesinambungan. Selain kisah kijang, Kiai Ghoffar coba menerangkan kisah-kisah lain yang selama ini ‘terabadikan’ dalam setiap pengajian kitab dilangsungkan.
“Kisah-kisah para sufi, penting untuk selalu diketengahkan dalam kehidupan pesantren. Sebab, adakalanya para santri justru lebih menghayati cerita yang mengandung hikmah dibanding penjelasan kitab yang disampaikan secara menoton,” ujar Pengasuh Pesantren Riyadus Sholihin, Desa Laden, Kecamatan/Kabupaten Pamekasan tersebut.
Mengenai ketawakalan kisah kijang, hikmah yang bisa dipetik menurut Kiai Ghoffar terbilang banyak. Salah satunya ialah totalitas penghambaan manusia kepada Tuhannya. Kehidupan dunia, kerapkali membuat manusia lupa kepada Allah.
“Manusia juga sering abai terhadap karunia yang Allah berikan. Sebut saja dalam kisah tadi. Seandainya si Malik berpikir dan mensyukuri pemberian Allah berupa air di daerah gurun, pasti dia akan sangat bersyukur. Mengingat, di gurun pasir sangat sulit mendapatkan pasir,” tekannya.
Ditanya kebenaran kisah tersebut, Kiai Ghoffar menyatakan agar kita tidak melihat alur cerita semata. Terlepas dari benar tidaknya, ujar Kiai Ghoffar, hikmah rasa syukur dan tawakal kepada Allah merupakan segala-galanya.
“Ulama-ulama terdahulu, dalam menyampaikan hikmah atau nilai-nilai yang terkandung dalam Islam, tak sedikit yang mengemasnya dalam bentuk kisah atau cerita. Dan dakwah dengan pola seperti itu mudah diserap dan bisa mewarnai kehidupan kita, ketimbang dakwah maupun nahi mungkar yang dilakukan dengan cara paksaan atau dengan cara mungkar saja” tukasnya. (Hairul Anam)
Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Pamekasan KH Abdul Ghoffar, suatu waktu berbincang dengan NU Online seputar seekor kijang yang memiliki ketawakalan tinggi. Cerita ini berpangkal dari kisah seorang musafir bernama Malik bin Dinar.
<>
Ketika Malik melintasi sebuah gurun dalam perjalanan menuju Makkah untuk menunaikan ibadah haji, Kiai Ghoffar memulai kisahnya, dia melihat seekor burung gagak terbang sambil menggigit sepotong roti. Malik berpikir, tentu ada hal yang aneh di balik kejadian yang dilihatnya tersebut.
Lalu burung itu diikutinya hingga akhirnya masuk sebuah gua. Malik mengikutinya dari belakang. Sekonyong-konyong tampak seorang lelaki tergeletak di tanah, sedangkan kedua tangan dan kakinya terikat erat.
Pada saat itu, si burung gagak sedang menyuapi seorang lelaki tadi, sepotong demi sepotong, hingga semua roti tersebut habis dimakan oleh lelaki tersebut. Setelah itu, burung gagak terbang keluar dan tidak kembali lagi.
Malik bertanya kepada orang yang disuapi burung gagak tadi: “Dari manakah tuan?” Orang itu menjawab, “Saya adalah salah seorang haji. Penyamun telah merampas semua harta benda saya, lalu mengikat saya dan melemparkan saya di tempat ini. Aku telah bersabar menahan lapar selama lima hari.
Kemudian setelah itu aku berdoa, ‘Wahai Tuhan yang telah berfirman dalam Kitab-nya, ‘Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya?’. Akulahorang yang kesulitan itu, maka kasihanilah aku!”
“Kemudian Allah mengutus burung gagak tadi. Setiap hari ia datang member makan dan minum kepadaku,” ungkapnya.
Setelah ikatannya dibuka oleh Malik, maka keduanya pun melanjutkan perjalanan bersama-sama. Di tengah jalan mereka kehausan, padahal keduanya tidak membawa air sedikit pun.
“Lalu keduanya mencari-cari air di gurun itu. Bersamaan dengan itu, tampak oleh keduanya sebuah sumur dikerumuni beberapa ekor kijang. Melihat keduanya, kijang-kijang itu berlompatan lari,” terang Kiai Ghoffar.
Dilanjutkan Kiai Ghoffar, tatkala keduanya hendak mengambil air dalam sumur, tiba-tiba airnya menyusut sampai ke dasarnya. Kemudian keduanya menimba dan minum bersama.
“Setelah puas minum, Malik berucap: ‘Wahai Tuhanku, kijang-kijang itu sama sekali tidak pernah ruku’ dan sujud, namun Engkau beri air di permukaan sumur dengan mudah, sedang kami harus menimba seratus hasta, baru dapat mengeluarkan air dari sumur tadi!”
Maka terdengar jawaban,” Hai Malik, kijang-kijang itu bertawakkal kepadaku, sehingga Aku beri mereka minum. Sedangkan engkau, bertawakal kepada tambang dan timbamu!”
Menurut Kiai Ghoffar, kisah tersebut berpangkal pada pola hidup para sufi tempo dulu. Di dunia pesantren, cerita tersebut serta cerita-cerita lainnya, disampaikan secara istikamah atau berkesinambungan. Selain kisah kijang, Kiai Ghoffar coba menerangkan kisah-kisah lain yang selama ini ‘terabadikan’ dalam setiap pengajian kitab dilangsungkan.
“Kisah-kisah para sufi, penting untuk selalu diketengahkan dalam kehidupan pesantren. Sebab, adakalanya para santri justru lebih menghayati cerita yang mengandung hikmah dibanding penjelasan kitab yang disampaikan secara menoton,” ujar Pengasuh Pesantren Riyadus Sholihin, Desa Laden, Kecamatan/Kabupaten Pamekasan tersebut.
Mengenai ketawakalan kisah kijang, hikmah yang bisa dipetik menurut Kiai Ghoffar terbilang banyak. Salah satunya ialah totalitas penghambaan manusia kepada Tuhannya. Kehidupan dunia, kerapkali membuat manusia lupa kepada Allah.
“Manusia juga sering abai terhadap karunia yang Allah berikan. Sebut saja dalam kisah tadi. Seandainya si Malik berpikir dan mensyukuri pemberian Allah berupa air di daerah gurun, pasti dia akan sangat bersyukur. Mengingat, di gurun pasir sangat sulit mendapatkan pasir,” tekannya.
Ditanya kebenaran kisah tersebut, Kiai Ghoffar menyatakan agar kita tidak melihat alur cerita semata. Terlepas dari benar tidaknya, ujar Kiai Ghoffar, hikmah rasa syukur dan tawakal kepada Allah merupakan segala-galanya.
“Ulama-ulama terdahulu, dalam menyampaikan hikmah atau nilai-nilai yang terkandung dalam Islam, tak sedikit yang mengemasnya dalam bentuk kisah atau cerita. Dan dakwah dengan pola seperti itu mudah diserap dan bisa mewarnai kehidupan kita, ketimbang dakwah maupun nahi mungkar yang dilakukan dengan cara paksaan atau dengan cara mungkar saja” tukasnya. (Hairul Anam)