Serial Fikih Muamalah (Bag. 3): Sumber Harta dan Ajakan untuk Menginvestasikannya

Serial Fikih Muamalah (Bag. 3): Sumber Harta dan Ajakan untuk Menginvestasikannya

Baca pembahasan sebelumnya Serial Fikih Muamalah (Bag. 2): Keistimewaan Khusus Fikih Muamalah dalam Islam

Kita ketahui bersama, harta merupakan pondasi kehidupan dan sangat dibutuhkan di dalam memenuhi kebutuhan manusia. Seiring bertambahnya anggota keluarga dan berkembangnya zaman, kebutuhan manusia pun semakin bertambah, baik secara kuantitas maupun macamnya. Lalu, bagaimana cara seseorang untuk dapat memperoleh harta tersebut? Dan bagaimana cara mengembangkan harta tersebut dan memperbanyaknya?

Sumber harta kekayaan

Semua jenis harta, baik itu yang berasal dari tumbuhan, hewan, ataupun hasil bumi lainnya, sumber utamanya adalah alam semesta ciptaan Allah Ta’ala, di mana Allah simpan di dalamnya harta-harta berharga yang kemudian Allah hamparkan kepada manusia untuk memenuhi kebutuhan dan keperluan mereka semua. Allah Ta’ala berfirman,

 اَلَمْ تَرَوْا اَنَّ اللّٰهَ سَخَّرَ لَكُمْ مَّا فِى السَّمٰوٰتِ وَمَا فِى الْاَرْضِ وَاَسْبَغَ عَلَيْكُمْ نِعَمَهٗ ظَاهِرَةً وَّبَاطِنَةً ۗوَمِنَ النَّاسِ مَنْ يُّجَادِلُ فِى اللّٰهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَّلَا هُدًى وَّلَا كِتٰبٍ مُّنِيْرٍ

“Tidakkah kamu memperhatikan bahwa Allah telah menundukkan apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi untuk (kepentingan)mu dan menyempurnakan nikmat-Nya untukmu lahir dan batin. Tetapi di antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu atau petunjuk dan tanpa Kitab yang memberi penerangan.” (QS. Luqman: 20)

Di ayat yang lain, Allah Ta’ala berfirman,

وَهُوَ الَّذِيْ سَخَّرَ الْبَحْرَ لِتَأْكُلُوْا مِنْهُ لَحْمًا طَرِيًّا وَّتَسْتَخْرِجُوْا مِنْهُ حِلْيَةً تَلْبَسُوْنَهَاۚ وَتَرَى الْفُلْكَ مَوَاخِرَ فِيْهِ وَلِتَبْتَغُوْا مِنْ فَضْلِهٖ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ

“Dan Dialah yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat memakan daging yang segar (ikan) darinya, dan (dari lautan itu) kamu mengeluarkan perhiasan yang kamu pakai. Kamu (juga) melihat perahu berlayar padanya, dan agar kamu mencari sebagian karunia-Nya, dan agar kamu bersyukur.” (QS. An-Nahl: 14)

Dan semua itu merupakan sumber daya alam yang seimbang dengan jumlah penduduk bumi sepanjang zaman.

Berbeda halnya dengan ekonomi barat, di mana mereka memandang kekayaan sumber daya alam ini dengan pandangan yang pesimis dan skeptis, mewanti-mewanti, dan khawatir akan timbulnya permasalahan ekonomi akibat kelangkaan sumber-sumber daya dan ketidakcukupannya di dalam memenuhi kebutuhan manusia. Mereka beralasan dan berpegangan bahwa sumber-sumber daya yang ada jumlahnya tetap dan tidak bertambah sedangkan jumlah penduduk bumi jumlahnya meningkat tajam.

Sesungguhnya ekonomi Islam menyangkal pandangan skeptis dan pesimis para ekonom barat. Mereka juga tidak setuju akan adanya kelangkaan sumber daya, justru ekonomi Islam mengajak untuk optimis dalam perkara tersebut, meyakini bahwa sumber daya alam yang ada tidak terbatas dan akan terus bertambah. Hal ini sejalan dengan firman Allah Ta’ala,

وَالْاَرْضَ مَدَدْنٰهَا وَاَلْقَيْنَا فِيْهَا رَوَاسِيَ وَاَنْۢبَتْنَا فِيْهَا مِنْ كُلِّ شَيْءٍ مَّوْزُوْن  وَجَعَلْنَا لَكُمْ فِيْهَا مَعَايِشَ وَمَنْ لَّسْتُمْ لَهٗ بِرٰزِقِيْنَ  وَاِنْ مِّنْ شَيْءٍ اِلَّا عِنْدَنَا خَزَاۤىِٕنُهٗ وَمَا نُنَزِّلُهٗٓ اِلَّا بِقَدَرٍ مَّعْلُوْمٍ

“Dan Kami telah menghamparkan bumi dan Kami pancangkan padanya gunung-gunung serta Kami tumbuhkan di sana segala sesuatu menurut ukuran. Dan Kami telah menjadikan padanya sumber-sumber kehidupan untuk keperluanmu, dan (Kami ciptakan pula) makhluk-makhluk yang bukan kamu pemberi rezekinya. Dan tidak ada sesuatu pun, melainkan pada sisi Kamilah khazanahnya. Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran tertentu.” (QS. Al-Hijr: 19-21)

Makna “khazain” adalah gudang rezeki dan perbendaharaan kekayaan, mencakup di dalamnya air hujan dan segala macam kenikmatan lainnya. Allah Ta’ala juga berfirman,

وَالسَّمَاۤءَ بَنَيْنٰهَا بِاَيْىدٍ وَّاِنَّا لَمُوْسِعُوْنَ

“Dan langit Kami bangun dengan kekuasaan (Kami), dan Kami benar-benar meluaskannya.” (QS. Az-Zariyat: 47)

Firman-Nya “lamuusi’uun” mengandung kemungkinan bahwa Dia akan meluaskan segala sesuatu. Di dalam Tafsir As-Sa’di rahimahullah disebutkan,

“Dan sesungguhnya Kami juga meluaskan untuk hamba-hamba Kami dengan rezeki yang mana Allah tidak meninggalkan satu binatang pun di dalam sarangnya, binatang yang berada di gelombang samudra dan yang berada di seluruh kawasan bumi, baik di daratan tinggi maupun rendah, melainkan rezeki yang mencukupinya pasti sampai padanya, kebaikan Allah yang mencukupinya sampai padanya.”

Perspektif Islam yang optimis ini membuahkan beberapa hal baik dalam ekonomi:

Pertama: Islam menjadikan usaha dan bekerja sebagai harga atas pencapaian seseorang terhadap bagiannya dari penghasilan. Perang bukanlah solusi dan jalan keluar untuk mendapatkan sumber daya dan kekayaan alam tersebut.

Kedua: Kedamaian dan ketentraman masyarakat sangatlah dijunjung dalam agama ini, sehingga Islam tidak dengan mudah mengusir dan merampas tempat tinggal dan hak seseorang dengan alasan sumber daya alam tidak bisa memenuhi kebutuhan seluruh masyarakat.

Ketiga: Islam memandang kemiskinan sebagai permasalahan yang dapat diselesaikan dan bukan sebagai penyakit yang tidak bisa diobati.

Perintah dan anjuran untuk menginvestasikan harta

Makna “menginvestasikan harta” adalah mencari cara agar mendapatkan keuntungan. Para ahli fikih terdahulu sudah menggunakan istilah ini di dalam kitab-kitab mereka. Di dalam kitab Tafsir Al-Kasyyaf saat menafsirkan ayat,

وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاۤءَ اَمْوَالَكُمُ الَّتِيْ جَعَلَ اللّٰهُ لَكُمْ قِيٰمًا

“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan.(QS. An-Nisa’: 5)

Disebutkan bahwa “Maksud as-sufahaa’ adalah orang-orang yang akan menghamburkan harta mereka, mempergunakannya pada cara-cara yang tidak sepatutnya. Tidak bisa memperbaikinya, menginvestasikannya, dan menggunakannya.”

Di antara bukti dan dalil yang menujukkan bahwa Islam telah mengajak dan menganjurkan investasi adalah:

Pertama: Islam mengajak dan menekankan umatnya untuk bekerja dan mencari penghasilan. Imam As-Syaibani rahimahullah di dalam kitabnya Al-Iktisaab mengatakan,

الكسب مباح على الإطلاق ، بل هو فرض عند الحاجة

“Mencari nafkah secara umum hukumnya adalah diperbolehkan, bahkan hukumnya menjadi wajib tatkala dibutuhkan.”

Lihatlah juga bagaimana Allah Ta’ala berfirman di dalam kitab-Nya,

فَاِذَا قُضِيَتِ الصَّلٰوةُ فَانْتَشِرُوْا فِى الْاَرْضِ وَابْتَغُوْا مِنْ فَضْلِ اللّٰهِ وَاذْكُرُوا اللّٰهَ كَثِيْرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ

“Apabila salat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di bumi; carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak agar kamu beruntung.” (QS. Al-Jumu’ah: 10)

Maksud ‘mencari karunia’ adalah bekerja dengan berdagang dan mencari rezeki halal.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah bersabda,

مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ وَإِنَّ نَبِيَّ اللَّهِ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلَام كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ

“Tidaklah ada seseorang yang memakan suatu makanan yang lebih baik dibanding makanan hasil dari pekerjaan tangannya sendiri. Dan dahulu Nabi Dawud ‘alaihis salam makan dari hasil pekerjaan tangannya sendiri.” (HR. Bukhari no. 2072)

Kedua: Islam mendukung dan menganggap penting fasilitas produksi umum yang dibutuhkan manusia, baik itu membuat ladang ataupun mendirikan pabrik-pabrik. Di dalam Islam membangun dan mendirikan pasar dihukumi fardhu kifayah, sehingga akan berdosa seluruh masyarakat jika tidak ada yang membuatnya. Hal ini ditegaskan oleh beberapa ulama, di antaranya adalah Imam Nawawi rahimahullah dalam kitab Al-Minhaj.

Hal ini juga sejalan dengan kaidah, “Segala  sesuatu  yang mana sebuah kewajiban tidak bisa sempurna, kecuali dengan melakukannya, maka sesuatu tersebut wajib dikerjakan.”

Dikuatkan juga oleh firman Allah Ta’ala,

وَاَعِدُّوْا لَهُمْ مَّا اسْتَطَعْتُمْ مِّنْ قُوَّةٍ

“Dan persiapkanlah dengan segala kemampuan untuk menghadapi mereka dengan kekuatan yang kamu miliki.” (QS. Al-Anfal: 60)

Ketiga: Islam mengajak para wali anak yatim untuk memaksimalkan dan menginvestasikan harta anak-anak tersebut dengan cara-cara yang sesuai syariat, baik digunakan untuk berdagang, membuat produk, ataupun diinvestasikan dalam pertanian. Allah Ta’ala berfirman,

وَيَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الْيَتٰمٰىۗ قُلْ اِصْلَاحٌ لَّهُمْ خَيْرٌ

“Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang anak-anak yatim. Katakanlah, ‘Memperbaiki keadaan mereka adalah baik!’” (QS. Al-Baqarah: 220)

Di dalam Tafsir Al-Wajiiz karya Syekh Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili disebutkan,

“Mengurus mereka dengan patut itu lebih baik daripada mengabaikannya. Dan mengembangkan harta itu lebih baik daripada menelantarkannya.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

اتجروا بأموال اليتامى لا تأكلها الزكاة

“Kembangkanlah harta anak-anak yatim, sehingga tidak termakan oleh zakat.” (HR. Ad-Daruquthni dan Baihaqi, beliau berkata, “Sanadnya sahih”)

Keempat: Islam sangat antusias agar seluruh harta yang ada terdistribusi dengan maksimal. Harta yang ada beredar pada peredarannya yang alami, tidak ditahan, tidak disia-siakan, dan tidak dibatasi pemanfaatannya hanya untuk kalangan tertentu saja. Lihatlah bagaimana Allah Ta’ala telah mengajarkan pengetahuan ini ribuan tahun sebelum gencarnya gerakan ekonomi dan peradaban barat. Allah Ta’ala berfirman,

مَّآ أَفَآءَ ٱللَّهُ عَلَىٰ رَسُولِهِۦ مِنْ أَهْلِ ٱلْقُرَىٰ فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِى ٱلْقُرْبَىٰ وَٱلْيَتَٰمَىٰ وَٱلْمَسَٰكِينِ وَٱبْنِ ٱلسَّبِيلِ كَىْ لَا يَكُونَ دُولَةًۢ بَيْنَ ٱلْأَغْنِيَآءِ مِنكُمْ ۚ وَمَآ ءَاتَىٰكُمُ ٱلرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَىٰكُمْ عَنْهُ فَٱنتَهُوا۟ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۖ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلْعِقَابِ

“Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota, maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya. (QS. Al-Hasyr: 7)

Muslim yang cerdas adalah mereka yang dapat mengelola keuangan dan hartanya dengan baik. Baik itu memanfaatkan dan menyalurkan dalam kebaikan, menabung, ataupun menginvestasikan agar bertambah dan berkembang. Hal ini bukanlah ke-bid’ah-an ataupun tasyabbuh dengan nonmuslim. Karena Islam telah terlebih dahulu mengajarkan prinsip-prinsip tersebut, jauh sebelum adanya perhatian negeri barat terhadap ilmu ekonomi.

Pada pembahasan selanjutnya, insya Allah akan membahas beberapa aturan dasar dalam berinvestasi yang telah diajarkan oleh syariat Islam. Wallahu A’lam Bisshowaab.

[Bersambung]

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/76223-serial-fikih-muamalah-bag-3.html