Serial Fikih Muamalah (Bag. 3): Sumber Harta dan Ajakan untuk Menginvestasikannya

Baca pembahasan sebelumnya Serial Fikih Muamalah (Bag. 2): Keistimewaan Khusus Fikih Muamalah dalam Islam

Kita ketahui bersama, harta merupakan pondasi kehidupan dan sangat dibutuhkan di dalam memenuhi kebutuhan manusia. Seiring bertambahnya anggota keluarga dan berkembangnya zaman, kebutuhan manusia pun semakin bertambah, baik secara kuantitas maupun macamnya. Lalu, bagaimana cara seseorang untuk dapat memperoleh harta tersebut? Dan bagaimana cara mengembangkan harta tersebut dan memperbanyaknya?

Sumber harta kekayaan

Semua jenis harta, baik itu yang berasal dari tumbuhan, hewan, ataupun hasil bumi lainnya, sumber utamanya adalah alam semesta ciptaan Allah Ta’ala, di mana Allah simpan di dalamnya harta-harta berharga yang kemudian Allah hamparkan kepada manusia untuk memenuhi kebutuhan dan keperluan mereka semua. Allah Ta’ala berfirman,

 اَلَمْ تَرَوْا اَنَّ اللّٰهَ سَخَّرَ لَكُمْ مَّا فِى السَّمٰوٰتِ وَمَا فِى الْاَرْضِ وَاَسْبَغَ عَلَيْكُمْ نِعَمَهٗ ظَاهِرَةً وَّبَاطِنَةً ۗوَمِنَ النَّاسِ مَنْ يُّجَادِلُ فِى اللّٰهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَّلَا هُدًى وَّلَا كِتٰبٍ مُّنِيْرٍ

“Tidakkah kamu memperhatikan bahwa Allah telah menundukkan apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi untuk (kepentingan)mu dan menyempurnakan nikmat-Nya untukmu lahir dan batin. Tetapi di antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu atau petunjuk dan tanpa Kitab yang memberi penerangan.” (QS. Luqman: 20)

Di ayat yang lain, Allah Ta’ala berfirman,

وَهُوَ الَّذِيْ سَخَّرَ الْبَحْرَ لِتَأْكُلُوْا مِنْهُ لَحْمًا طَرِيًّا وَّتَسْتَخْرِجُوْا مِنْهُ حِلْيَةً تَلْبَسُوْنَهَاۚ وَتَرَى الْفُلْكَ مَوَاخِرَ فِيْهِ وَلِتَبْتَغُوْا مِنْ فَضْلِهٖ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ

“Dan Dialah yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat memakan daging yang segar (ikan) darinya, dan (dari lautan itu) kamu mengeluarkan perhiasan yang kamu pakai. Kamu (juga) melihat perahu berlayar padanya, dan agar kamu mencari sebagian karunia-Nya, dan agar kamu bersyukur.” (QS. An-Nahl: 14)

Dan semua itu merupakan sumber daya alam yang seimbang dengan jumlah penduduk bumi sepanjang zaman.

Berbeda halnya dengan ekonomi barat, di mana mereka memandang kekayaan sumber daya alam ini dengan pandangan yang pesimis dan skeptis, mewanti-mewanti, dan khawatir akan timbulnya permasalahan ekonomi akibat kelangkaan sumber-sumber daya dan ketidakcukupannya di dalam memenuhi kebutuhan manusia. Mereka beralasan dan berpegangan bahwa sumber-sumber daya yang ada jumlahnya tetap dan tidak bertambah sedangkan jumlah penduduk bumi jumlahnya meningkat tajam.

Sesungguhnya ekonomi Islam menyangkal pandangan skeptis dan pesimis para ekonom barat. Mereka juga tidak setuju akan adanya kelangkaan sumber daya, justru ekonomi Islam mengajak untuk optimis dalam perkara tersebut, meyakini bahwa sumber daya alam yang ada tidak terbatas dan akan terus bertambah. Hal ini sejalan dengan firman Allah Ta’ala,

وَالْاَرْضَ مَدَدْنٰهَا وَاَلْقَيْنَا فِيْهَا رَوَاسِيَ وَاَنْۢبَتْنَا فِيْهَا مِنْ كُلِّ شَيْءٍ مَّوْزُوْن  وَجَعَلْنَا لَكُمْ فِيْهَا مَعَايِشَ وَمَنْ لَّسْتُمْ لَهٗ بِرٰزِقِيْنَ  وَاِنْ مِّنْ شَيْءٍ اِلَّا عِنْدَنَا خَزَاۤىِٕنُهٗ وَمَا نُنَزِّلُهٗٓ اِلَّا بِقَدَرٍ مَّعْلُوْمٍ

“Dan Kami telah menghamparkan bumi dan Kami pancangkan padanya gunung-gunung serta Kami tumbuhkan di sana segala sesuatu menurut ukuran. Dan Kami telah menjadikan padanya sumber-sumber kehidupan untuk keperluanmu, dan (Kami ciptakan pula) makhluk-makhluk yang bukan kamu pemberi rezekinya. Dan tidak ada sesuatu pun, melainkan pada sisi Kamilah khazanahnya. Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran tertentu.” (QS. Al-Hijr: 19-21)

Makna “khazain” adalah gudang rezeki dan perbendaharaan kekayaan, mencakup di dalamnya air hujan dan segala macam kenikmatan lainnya. Allah Ta’ala juga berfirman,

وَالسَّمَاۤءَ بَنَيْنٰهَا بِاَيْىدٍ وَّاِنَّا لَمُوْسِعُوْنَ

“Dan langit Kami bangun dengan kekuasaan (Kami), dan Kami benar-benar meluaskannya.” (QS. Az-Zariyat: 47)

Firman-Nya “lamuusi’uun” mengandung kemungkinan bahwa Dia akan meluaskan segala sesuatu. Di dalam Tafsir As-Sa’di rahimahullah disebutkan,

“Dan sesungguhnya Kami juga meluaskan untuk hamba-hamba Kami dengan rezeki yang mana Allah tidak meninggalkan satu binatang pun di dalam sarangnya, binatang yang berada di gelombang samudra dan yang berada di seluruh kawasan bumi, baik di daratan tinggi maupun rendah, melainkan rezeki yang mencukupinya pasti sampai padanya, kebaikan Allah yang mencukupinya sampai padanya.”

Perspektif Islam yang optimis ini membuahkan beberapa hal baik dalam ekonomi:

Pertama: Islam menjadikan usaha dan bekerja sebagai harga atas pencapaian seseorang terhadap bagiannya dari penghasilan. Perang bukanlah solusi dan jalan keluar untuk mendapatkan sumber daya dan kekayaan alam tersebut.

Kedua: Kedamaian dan ketentraman masyarakat sangatlah dijunjung dalam agama ini, sehingga Islam tidak dengan mudah mengusir dan merampas tempat tinggal dan hak seseorang dengan alasan sumber daya alam tidak bisa memenuhi kebutuhan seluruh masyarakat.

Ketiga: Islam memandang kemiskinan sebagai permasalahan yang dapat diselesaikan dan bukan sebagai penyakit yang tidak bisa diobati.

Perintah dan anjuran untuk menginvestasikan harta

Makna “menginvestasikan harta” adalah mencari cara agar mendapatkan keuntungan. Para ahli fikih terdahulu sudah menggunakan istilah ini di dalam kitab-kitab mereka. Di dalam kitab Tafsir Al-Kasyyaf saat menafsirkan ayat,

وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاۤءَ اَمْوَالَكُمُ الَّتِيْ جَعَلَ اللّٰهُ لَكُمْ قِيٰمًا

“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan.(QS. An-Nisa’: 5)

Disebutkan bahwa “Maksud as-sufahaa’ adalah orang-orang yang akan menghamburkan harta mereka, mempergunakannya pada cara-cara yang tidak sepatutnya. Tidak bisa memperbaikinya, menginvestasikannya, dan menggunakannya.”

Di antara bukti dan dalil yang menujukkan bahwa Islam telah mengajak dan menganjurkan investasi adalah:

Pertama: Islam mengajak dan menekankan umatnya untuk bekerja dan mencari penghasilan. Imam As-Syaibani rahimahullah di dalam kitabnya Al-Iktisaab mengatakan,

الكسب مباح على الإطلاق ، بل هو فرض عند الحاجة

“Mencari nafkah secara umum hukumnya adalah diperbolehkan, bahkan hukumnya menjadi wajib tatkala dibutuhkan.”

Lihatlah juga bagaimana Allah Ta’ala berfirman di dalam kitab-Nya,

فَاِذَا قُضِيَتِ الصَّلٰوةُ فَانْتَشِرُوْا فِى الْاَرْضِ وَابْتَغُوْا مِنْ فَضْلِ اللّٰهِ وَاذْكُرُوا اللّٰهَ كَثِيْرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ

“Apabila salat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di bumi; carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak agar kamu beruntung.” (QS. Al-Jumu’ah: 10)

Maksud ‘mencari karunia’ adalah bekerja dengan berdagang dan mencari rezeki halal.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah bersabda,

مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ وَإِنَّ نَبِيَّ اللَّهِ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلَام كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ

“Tidaklah ada seseorang yang memakan suatu makanan yang lebih baik dibanding makanan hasil dari pekerjaan tangannya sendiri. Dan dahulu Nabi Dawud ‘alaihis salam makan dari hasil pekerjaan tangannya sendiri.” (HR. Bukhari no. 2072)

Kedua: Islam mendukung dan menganggap penting fasilitas produksi umum yang dibutuhkan manusia, baik itu membuat ladang ataupun mendirikan pabrik-pabrik. Di dalam Islam membangun dan mendirikan pasar dihukumi fardhu kifayah, sehingga akan berdosa seluruh masyarakat jika tidak ada yang membuatnya. Hal ini ditegaskan oleh beberapa ulama, di antaranya adalah Imam Nawawi rahimahullah dalam kitab Al-Minhaj.

Hal ini juga sejalan dengan kaidah, “Segala  sesuatu  yang mana sebuah kewajiban tidak bisa sempurna, kecuali dengan melakukannya, maka sesuatu tersebut wajib dikerjakan.”

Dikuatkan juga oleh firman Allah Ta’ala,

وَاَعِدُّوْا لَهُمْ مَّا اسْتَطَعْتُمْ مِّنْ قُوَّةٍ

“Dan persiapkanlah dengan segala kemampuan untuk menghadapi mereka dengan kekuatan yang kamu miliki.” (QS. Al-Anfal: 60)

Ketiga: Islam mengajak para wali anak yatim untuk memaksimalkan dan menginvestasikan harta anak-anak tersebut dengan cara-cara yang sesuai syariat, baik digunakan untuk berdagang, membuat produk, ataupun diinvestasikan dalam pertanian. Allah Ta’ala berfirman,

وَيَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الْيَتٰمٰىۗ قُلْ اِصْلَاحٌ لَّهُمْ خَيْرٌ

“Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang anak-anak yatim. Katakanlah, ‘Memperbaiki keadaan mereka adalah baik!’” (QS. Al-Baqarah: 220)

Di dalam Tafsir Al-Wajiiz karya Syekh Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili disebutkan,

“Mengurus mereka dengan patut itu lebih baik daripada mengabaikannya. Dan mengembangkan harta itu lebih baik daripada menelantarkannya.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

اتجروا بأموال اليتامى لا تأكلها الزكاة

“Kembangkanlah harta anak-anak yatim, sehingga tidak termakan oleh zakat.” (HR. Ad-Daruquthni dan Baihaqi, beliau berkata, “Sanadnya sahih”)

Keempat: Islam sangat antusias agar seluruh harta yang ada terdistribusi dengan maksimal. Harta yang ada beredar pada peredarannya yang alami, tidak ditahan, tidak disia-siakan, dan tidak dibatasi pemanfaatannya hanya untuk kalangan tertentu saja. Lihatlah bagaimana Allah Ta’ala telah mengajarkan pengetahuan ini ribuan tahun sebelum gencarnya gerakan ekonomi dan peradaban barat. Allah Ta’ala berfirman,

مَّآ أَفَآءَ ٱللَّهُ عَلَىٰ رَسُولِهِۦ مِنْ أَهْلِ ٱلْقُرَىٰ فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِى ٱلْقُرْبَىٰ وَٱلْيَتَٰمَىٰ وَٱلْمَسَٰكِينِ وَٱبْنِ ٱلسَّبِيلِ كَىْ لَا يَكُونَ دُولَةًۢ بَيْنَ ٱلْأَغْنِيَآءِ مِنكُمْ ۚ وَمَآ ءَاتَىٰكُمُ ٱلرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَىٰكُمْ عَنْهُ فَٱنتَهُوا۟ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۖ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلْعِقَابِ

“Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota, maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya. (QS. Al-Hasyr: 7)

Muslim yang cerdas adalah mereka yang dapat mengelola keuangan dan hartanya dengan baik. Baik itu memanfaatkan dan menyalurkan dalam kebaikan, menabung, ataupun menginvestasikan agar bertambah dan berkembang. Hal ini bukanlah ke-bid’ah-an ataupun tasyabbuh dengan nonmuslim. Karena Islam telah terlebih dahulu mengajarkan prinsip-prinsip tersebut, jauh sebelum adanya perhatian negeri barat terhadap ilmu ekonomi.

Pada pembahasan selanjutnya, insya Allah akan membahas beberapa aturan dasar dalam berinvestasi yang telah diajarkan oleh syariat Islam. Wallahu A’lam Bisshowaab.

[Bersambung]

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/76223-serial-fikih-muamalah-bag-3.html

Serial Fikih Muamalah (Bag. 2): Keistimewaan Khusus Fikih Muamalah dalam Islam

Baca pembahasan sebelumnya Serial Fikih Muamalah (Bag. 1): Mengenal Perspektif Islam terhadap Fikih Muamalah

Pertama: Hukum asal transaksi adalah boleh, baik itu akadnya maupun syarat-syaratnya

Dalam masalah ibadah, hukum asalnya adalah terlarang dan haram sampai terdapat dalil dari Allah Ta’ala yang membolehkannya. Hal ini bertujuan agar jangan sampai ada seseorang yang membuat sebuah perkara baru (bid’ah) dalam perkara agama, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengatakan,

مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam urusan kami ini (urusan agama) yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718)

Berbeda halnya dalam masalah muamalah (transaksi), hukum asalnya adalah boleh dan tidak ada yang terlarang, kecuali jika memang ada larangannya dari dalil yang sahih dan jelas. Jika tidak ada dalil pelarangannya, maka boleh untuk dilakukan dan dipraktikkan. Allah Ta’ala berfirman,

اللَّهُ الَّذِي سَخَّرَ لَكُمُ الْبَحْرَ لِتَجْرِيَ الْفُلْكُ فِيهِ بِأَمْرِهِ وَلِتَبْتَغُوا مِنْ فَضْلِهِ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ * وَسَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا مِنْهُ ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

“Allahlah yang menundukkan lautan untukmu supaya kapal-kapal dapat berlayar padanya dengan seizin-Nya dan supaya kamu dapat mencari karunia-Nya dan mudah-mudahan kamu bersyukur. Dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berpikir.” (QS. Al-Jasiyah: 12-13)

Di ayat yang lain, Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ أَرَءَيْتُم مَّآ أَنزَلَ ٱللَّهُ لَكُم مِّن رِّزْقٍ فَجَعَلْتُم مِّنْهُ حَرَامًا وَحَلَٰلًا قُلْ ءَآللَّهُ أَذِنَ لَكُمْ ۖ أَمْ عَلَى ٱللَّهِ تَفْتَرُونَ

“Katakanlah, ‘Terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal.’ Katakanlah, ‘Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?’” (QS. Yunus: 59)

Ayat ini turun berkenaan dengan kaum musyrikin yang telah mengharamkan apa-apa yang Allah Ta’ala halalkan dari berbagai jenis makanan dan berbagai bentuk transaksi hanya karena hal-hal tersebut bertabrakan dengan adat serta kebiasaan yang diwariskan oleh nenek moyang mereka.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِيْنَ إِلاَّ صُلْحًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا وَالْمُسْلِمُوْنَ عَلَى شُرُوْطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا

“Berdamai dengan sesama muslimin itu diperbolehkan, kecuali perdamaian yang menghalalkan suatu yang haram atau mengharamkan suatu yang halal. Dan kaum muslimin harus memenuhi syarat-syarat yang telah mereka sepakati, kecuali syarat yang mengharamkan suatu yang halal atau menghalalkan suatu yang haram.” (HR. Tirmidzi no. 1352 dan Ibnu Majah no. 2353)

Hadis ini merupakan pondasi dalam perkara syarat-syarat, yang menunjukkan bahwa hukum asalnya adalah diperbolehkan dan tidak ada yang dilarang, kecuali jika di dalamnya terdapat suatu hal yang menyelisihi syariat.

Dari sini dapat dipahami bahwa ucapan ‘Mana dalil yang membolehkan bentuk transaksi ini?’; atau ucapan ‘Mana dalil yang menunjukkan bolehnya persyaratan ini?’ merupakan sebuah ucapan yang tidak diperbolehkan. Justru yang seharusnya ditanyakan adalah ‘Mana dalil yang melarang transaksi ini?’ Keistimewaan ini membuka pintu terhadap banyaknya bentuk transaksi baru di zaman sekarang yang belum pernah disebutkan, baik di Al-Qur’an maupun As-Sunnah.

Barulah kemudian tugas seorang fakih meneliti bentuk transaksi yang baru tersebut, meminta pendapat kepada ahli ekonomi yang mumpuni, agar ia bisa mendeskripsikan dengan tepat bentuk transaksi yang sedang ia teliti tersebut. Karena menghukumi sesuatu itu bisa tercapai setelah adanya proses identifikasi dan deskripsi yang tepat dan benar.

Kedua: Transaksi (muamalah) dibangun atas dasar sebuah alasan dan kemaslahatan

Jika dalam perkara ibadah seringkali tidak dapat dinalar oleh akal dan tidak memiliki sebab (alasan) khusus, namun seorang muslim wajib untuk menaatinya (seperti jumlah rakaat salat, syariat mencium hajar aswad dan lain sebagainya). Berbeda halnya dalam perkara muamalah (transaksi), sebagian besarnya dapat dinalar dan tentunya memiliki sebab dan alasan yang mendasari bolehnya transaksi tersebut. Asy-Syatibi Rahimahullah mengatakan,

الْأَصْلُ فِي الْعِبَادَاتِ بِالنِّسْبَةِ إِلَى المكلَّف التَّعَبُّدُ دُونَ الِالْتِفَاتِ إِلَى الْمَعَانِي، وَأَصْلُ الْعَادَاتِ الِالْتِفَاتُ إِلَى الْمَعَانِي

“Konsep dasar dalam fikih ibadah jika dinisbatkan kepada seorang mukallaf (yang dibebani kewajiban syariat) adalah penghambaan mutlak bukan menoleh kepada substansi, sementara dalam fikih muamalah prinsipnya adalah melihat isi dan substansi.” (Al-Muwafaqat, karya As-Syaatibi, 2: 300)

Di antara dalil yang menunjukkan perhatian muamalah terhadap sebuah sebab dan kemaslahatan adalah firman Allah Ta’ala,

إِنَّمَا يُرِيدُ ٱلشَّيْطَٰنُ أَن يُوقِعَ بَيْنَكُمُ ٱلْعَدَٰوَةَ وَٱلْبَغْضَآءَ فِى ٱلْخَمْرِ وَٱلْمَيْسِرِ

“Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu.” (QS. Al-Maidah: 91)

Oleh karenanya, Islam melarang segala macam transaksi yang mengandung perjudian, sebab hal tersebut akan menimbulkan permusuhan dan kebencian.

Konsekuensi ketergantungan hukum-hukum muamalah dengan kemaslahatan yang ingin dicapai mengharuskan perubahan hukum jika kemaslahatannya berubah, atau ketika muamalah (transaksi) tersebut sudah tidak sejalan dengan visi syariat. Al-‘Izz bin Abdi As-Salam dalam kitabnya Qawaid Al-Ahkam fii Mashaalih Al-Anaam menetapkan sebuah kaidah,

كُلُّ تَصَرُّفٍ تَقَاعَدَ عَنْ تَحْصِيلِ مَقْصُوده فَهُوَ بَاطِلٌ

“Setiap transaksi yang tidak bisa mencapai tujuannya, maka dianggap batal dan tidak sah.”

Di antara contohnya, dahulu kala para sahabat meminta kepada nabi untuk menentukan harga barang dagangan mereka ketika terjadi lonjakan harga, namun Nabi menolak permintaan mereka dan bersabda,

إنَّ اللَّهَ هوَ المسعِّرُ القابضُ الباسطُ الرَّازقُ ، وإنِّي لأرجو أن ألقَى اللَّهَ وليسَ أحدٌ منكُم يطالبُني بمَظلمةٍ في دمٍ ولا مالٍ

“Sesungguhnya Allahlah yang (berhak) menetapkan harga dan menahannya, melapangkan dan memberi rezeki. Sungguh aku berharap bertemu dengan Allah dalam keadaan tidak ada seorang pun di antara kalian menuntutku karena sebuah kezaliman (yang aku lakukan) dalam perkara nyawa dan harta kalian.” (HR. Abu Dawud no. 3451 dan Tirmidzi no. 1314)

Namun, di zaman tabi’in kita dapati sebagian dari ahli fikih ada yang berpendapat akan bolehnya ‘penentuan harga dari pemerintah’ setelah melihat kemaslahatan dan tujuan yang baik dari perbuatan tersebut.

Ketiga: Mayoritas hukum muamalah dibangun atas dasar suatu kebiasaan dan adat

Di antara contohnya:

Pertama: Penulisan harga sebuah barang atau biaya sebuah barang sewaan merupakan pengganti ucapan (akad) yang seharusnya keluar dari penjual dan pembeli. Jika memang kebiasaan di sebuah daerah seperti itu, maka kedua belah pihak sah transaksinya tanpa mengucapkan, ‘Aku menjual’ dan ‘Aku membeli’.

Kedua: Banyaknya jenis transaksi yang diperbolehkan karena melihat adanya kebiasaan dan sebuah adat. Seperti jual beli dengan pembayaran di depan (payment in advance) dan juga jual beli dengan sistem pemesanan pembuatan barang khusus sesuai kriteria pemesan (istishnaa’).

Ketiga: Kriteria cacat pada suatu barang dagangan yang menjadikan batalnya sebuah akad jual beli takarannya menyesuaikan adat yang ada.

Keempat: Muamalah (transaksi) dalam Islam menggabungkan antara prinsip ibadah dan prinsip pelaksanaan hukum

Semua jenis transaksi yang kita lakukan (jika sesuai dengan aturan syariat), maka itu bernilai ibadah kepada Allah Ta’ala. Mengapa? Karena berpegang teguh terhadap prinsip-prinsip pemanfaatan harta termasuk salah satu tuntutan keimanan dan ketauhidan kita kepada Allah, di mana kita hanya menjadikan ajaran Allah dan Rasul-Nya sebagai patokan dan landasan hukum atas semua hal yang dilakukan.

Sebaliknya, tidak berhukum dengan hukum yang telah Allah Ta’ala turunkan atau bahkan bertentangan dengannya, maka jelas ini merupakan pintu kerusakan, kezaliman, dan kefasikan. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ

“Barangsiapa tidak memutuskan perkara berdasarkan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim”. (QS. Al-Ma’idah: 45)

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْفَٰسِقُونَ

“Barangsiapa tidak memutuskan perkara berdasarkan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik”. (QS. Al-Ma’idah: 47)

Adapun maksud dari ‘prinsip pelaksanaan hukum’ adalah ketika seorang muslim dihadapkan pada situasi di mana ia harus menolak dan tidak menyetujui sebuah akad karena mengandung kebatilan, maka ia tidak perlu menunggu keputusan otoritas pengadilan untuk membatalkan transaksi tersebut. Yang harus ia lakukan adalah bergegas membatalkan akad karena kesadaran dirinya. Sikap dan prinsip ‘pelaksanaan hukum’ inilah yang mencerminkan perasaan selalu diawasi oleh Allah Ta’ala (muraqabah).

Kelima: Muamalah Islam lebih mengedepankan kepentingan orang banyak

Layaknya bahasan-bahasan fikih Islam yang lain, muamalah bertujuan demi kemaslahatan individu dan komunitas orang banyak secara bersamaan, imbang antara keduanya tanpa saling bertabrakan antara satu kemaslahatan dengan yang lainnya. Muamalah tidak hanya bertujuan untuk membangun masyarakat (kelompok) yang baik. Lebih dari itu, muamalah memiliki tujuan untuk membahagiakan seorang individu maupun kelompok, baik di dunia maupun di akhirat. Allah Ta’ala berfirman,

مَّن كَانَ يُرِيدُ ثَوَابَ الدُّنْيَا فَعِندَ اللَّهِ ثَوَابُ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ ۚ

“Barangsiapa yang menghendaki pahala di dunia saja (maka ia merugi), karena di sisi Allah ada pahala dunia dan akhirat.” (QS. An-Nisa: 134)

Berbeda halnya dengan hukum dan undang-undang ekonomi masa kini, entah lebih mementingkan kemaslahatan orang banyak dan menjatuhkan hak-hak individu serta mengesampingkannya, ataupun sebaliknya. Ada undang-undang yang memberikan kebebasan penuh bagi individu, demi meraih manfaat yang tinggi bagi dirinya sendiri tanpa mempertimbangkan kemanfaatannya untuk orang banyak.

Di dalam syariat Islam, saat tidak memungkinkan untuk menggabungkan antara kepentingan individu dan kepentingan orang banyak, maka yang lebih didahulukan adalah kepentingan orang banyak. Para ulama telah menyusun beberapa kaidah terkait hal tersebut, di antaranya,

يتحمل الضرر الخاص لدفع الضرر العام

“Bahaya yang bersifat khusus dan individual ditanggung (diambil dan dihadapi) untuk menolak bahaya yang bersifat umum dan meluas.” (Al-Asybah wa An-Nadhaa’ir karya Ibnu Nujaim, hal. 87)

تصرف الإنسان في خالص حقه إنما يصح إذا لم يتضرر به غيره

“Pemanfaatan seseorang atas hak individunya dipandang sah manakala tidak menimbulkan kerugian bagi pihak lain.” (Al-Qawaid Al-Kulliyah karya Muhammad Syubair, hal. 181)

إذا تعارضت مفسدتان روعي أعظمها ضررا بارتكاب أخفهما

Jika dihadapkan pada dua mafsadat, maka mafsadat yang lebih besar harus dihindari dengan cara mengambil  mafsadat yang lebih ringan. (Al-Asybah wa An-Nadhaa’ir karya Imam As-Suyuti, hal. 87)

Wallahu A’lam Bisshowaab.

[Bersambung]

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

Artikel: www.muslim.or.id

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/75752-serial-fikih-muamalah-bag-2.html