Baca pembahasan sebelumnya 9 Aturan Penting dalam Berinvestasi
Syarat sah transaksi
Agar sebuah transaksi/muamalah harta dapat dilaksanakan secara sah dan memberi pengaruh yang tepat, maka harus memenuhi beberapa syarat terlebih dahulu. Syarat tersebut ada yang berkaitan dengan pihak-pihak pelaku dan ada yang berkaitan dengan objek transaksi.
Pertama: Yang berkaitan dengan pihak-pihak pelaku
Pelaku dalam kondisi yang sudah akil balig serta berkemampuan memilih. Transaksi yang dilakukan oleh anak kecil yang belum bisa menalar, orang gila, atau orang yang dipaksa adalah tidak sah.
Kedua: Yang berkaitan dengan objek transaksi
Objek transaksi tersebut harus legal, bermanfaat, bisa diserahterimakan, dan syarat yang paling utama adalah jika objek transaksi tersebut berupa materi, maka materi tersebut merupakan milik penuh salah satu pihak.
Asas kepemilikan atas sebuah harta adalah syarat utama boleh dan sahnya sebuah transaksi. Sebuah transaksi tidak sah, kecuali jika itu muncul dan timbul dari pemilik harta tersebut ataupun orang yang mewakilinya. Oleh karena itu, bagi seorang muslim sangatlah penting untuk mengetahui hakikat kepemilikan, macam-macamnya, cara memperolehnya yang diperbolehkan oleh syariat, batasan-batasan yang berlaku di dalamnya, dan perspektif Islam terhadapnya.
Hakikat kepemilikan
Secara bahasa, milik (kepemilikan) diartikan dengan, “penguasaan terhadap sesuatu dan wewenang di dalam mengatur, menggunakan, dan memanfaatkannya”.
Menurut istilah ahli fikih adalah sebagaimana yang disebutkan dalam kitab Al-Fiqhu Al-Islami karya Muhammad Salam Madkur, “Kepemilikan merupakan hubungan yang diakui syariat antara manusia dan sebuah harta, di mana manusia tersebut diberikan pengkhususan terhadap suatu harta sehingga orang lain tidak dapat bertindak dan memanfaatkannya. Dengan hubungan dan hak tersebut, si pemilik jika sudah memenuhi syarat bertransaksi, ia diperbolehkan untuk memperlakukan harta tersebut dengan berbagai macam cara yang diperbolehkan oleh syariat dan di dalam batas yang telah ditentukan oleh syariat.”
Dalam perundang-undangan kontemporer, kepemilikan diartikan sebagai, “Hak eksklusif untuk memanfaatkan dan mengeksploitasi sesuatu serta menggunakannya secara permanen, dan semua itu harus berada dalam koridor syariat.”
Macam-macam kepemilikan
Pertama: Dari segi sifat kepemilikan terhadap harta, ulama fikih membagi kepemilikan menjadi dua bentuk
Pertama: Kepemilikan sempurna
Yaitu, apabila materi dan manfaat harta dimiliki sepenuhnya oleh seseorang, sehingga seluruh hak yang terkait dengan harta tersebut di bawah penguasaannya. Dan inilah hukum asal di dalam kepemilikan harta.
Kepemilikan ini memiliki beberapa kekhususan,
Pertama: Pemilik berhak mengelola harta tersebut dengan segala macam bentuk pengelolaan dan transaksi, selama itu diperbolehkan oleh syariat. Mau dijual, disewakan, dipinjamkan, maka itu haknya si pemilik seluruhnya.
Kedua: Kepemilikan sempurna tidak dibatasi oleh waktu, maka haknya tersebut tidak akan selesai (habis), kecuali jika materi harta tersebut rusak atau berpindah tangan ke orang lain karena adanya transaksi sah dan sesuai syariat atau berpindah karena kematiannya kepada ahli warisnya.
Ketiga: Jika pemilik merusak atau menghilangkan hartanya sendiri, maka ia tidak wajib untuk menggantinya. Karena tidak ada faedah yang berarti dari jaminan dan penggantian yang dia lakukan.
Kedua: Kepemilikan tidak sempurna
Yaitu, apabila seseorang hanya menguasai materi harta tanpa manfaatnya, atau menguasai manfaat tanpa materi hartanya, sehingga tidak terkumpul pada dirinya kepemilikan materi harta dan manfaatnya. Kepemilikan ini terbagi menjadi dua:
Pertama: Kepemilikan materi harta tanpa hak pemanfaatan
Pada asalnya, jika seseorang memiliki materi harta, maka ia juga berhak atas manfaatnya. Hanya saja syariat mengizinkan beberapa keadaan di mana seseorang hanya memiliki hak materi harta, namun tidak berhak atas manfaatnya.
Contoh, si A memberikan wasiat berupa hak untuk menggunakan dan memanfaatkan rumahnya kepada si B selama 10 tahun. Ketika si A meninggal (ketika si B masih memanfaatkan rumahnya), wujud dan materi rumahnya berpindah ke pihak ahli waris tanpa ada hak atas pemanfaatannya. Adapun pemanfaatan dan penggunaannya diserahkan kepada si B sesuai dengan durasi yang sudah disebutkan oleh si A ketika ia memberikan wasiat. Sehingga pada keadaan seperti ini:
Pertama: Pemilik wujud dan materi rumah tidak boleh menggunakan rumah tersebut, karena hak pemanfaatannya telah berpindah kepada pihak B sampai jangka waktu yang telah ditentukan.
Kedua: Pihak pemilik wujud (pewaris) juga tidak boleh berbuat sesuatu yang merugikan dan membahayakan pemilik manfaat (pihak B), seperti menghancurkan rumah tersebut atau yang semisalnya.
Ketiga: Jika pemilik rumah berbuat sesuatu yang akhirnya merugikan pihak B (misalnya, menjual rumah tersebut), sehingga pihak B kehilangan hak milik kemanfaatannya, maka pemilik rumah (pihak A) wajib membayar ganti rugi sejumlah kerugian yang dialami oleh pihak B.
Keempat: Biaya yang harus dikeluarkan agar bisa memanfaatkan materi harta (rumah) dan pajak yang telah ditentukan, maka itu ditanggung dan dibebankan kepada pemilik hak manfaatnya (pihak B) dan bukan kepada pemilik hak materi rumahnya (pihak A).
Kedua: Kepemilikan manfaat tanpa materi harta
Hal ini bisa terjadi karena beberapa sebab, di antaranya adalah akad yang memindahkan kepemilikan manfaat tanpa wujud materi hartanya, contohnya adalah akad sewa, peminjaman, ataupun wasiat kemanfaatan. Sebab lainnya adalah wakaf, karena kemanfaatannya berpindah kepada tujuan wakafnya, hanya saja kepemilikan dan pengawasannya berpindah kepada Allah Ta’ala menurut pendapat yang lebih kuat.
Kepemilikan ini memiliki beberapa kekhususan:
Pertama: Bisa dibatasi periode, tempat, dan cara penggunaannya. Sebagai contoh, orang yang menyewakan mobilnya, maka ia boleh membatasi untuk si penyewa baik itu periodenya ataupun membatasi jarak tempuh yang diperbolehkan ketika menyewa mobil tersebut, atau membatasi jumlah penumpang yang diperbolehkan untuk naik ke mobil tersebut.
Kedua: Pihak yang mendapatkan kepemilikan manfaat (misalnya, penyewa mobil ), maka ia harus mengganti rugi jika ia merusak atau menyalahgunakan wujud materi barang yang disewanya, ataupun mengganti kekurangan pada wujud materi yang timbul akibat kecerobohannya.
Ketiga: Menurut jumhur ulama, sebagian kepemilikan manfaat (contohnya sewa menyewa) bisa diwariskan ketika pihak penyewa meninggal dunia. Hal ini berbeda dengan ulama hanafiyah yang mengatakan bahwa kepemilikan manfaat tidak bisa diwariskan, karena menurut kaidah mereka, yang bisa diwariskan adalah harta riil dan yang berwujud ketika ia meninggal dunia.
Kedua: Dari segi pemiliknya, kepemilikan terbagi menjadi dua
Pertama: Kepemilikan khusus (pribadi)
Yaitu apabila kepemilikan tersebut menjadi hak pribadi perseorangan (pribadi) atau hak pribadi bersama sekumpulan orang tertentu. Berikut ini penjelasannya:
Kepemilikan pribadi perseorangan adalah kepemilikan khusus untuk satu individu, sehingga ia berhak atas materi harta dan manfaatnya. Misalnya, kepemilikan rumah, mobil, pabrik, sawah, dan yang semisalnya.
Kepemilikan pribadi bersama adalah kepemilikan bersama antara dua individu atau lebih, karena adanya salah satu sebab kepemilikan. Seperti pembelian, pemberian, wasiat, warisan, atau karena akad perserikatan (kongsi).
Konsekuensi dari kepemilikan ini adalah:
Setiap bagian dari materi harta tidak bisa menjadi hak khusus untuk salah satu dari mereka dan hak kepemilikannya menjadi milik bersama.
Bisa jadi, kepemilikan ini menjadi kepemilikan perseorangan dengan cara dibagi, sehingga hilang hak kepemilikan bersama dari harta tersebut. Kepemilikan setiap individu ada pada bagiannya masing.
Kedua: Kepemilikan umum (kolektif)
Yaitu kepemilikan yang pemiliknya adalah hak khalayak umat. Harta tersebut dikhususkan untuk kemaslahatan dan kemanfaatan seluruh umat, tidak bisa dijadikan milik pribadi perseorangan atau orang-orang tertentu. Baik itu tanah, bangunan, uang tunai ataupun yang selainnya, seperti properti baitul mal atau tanah yang diwakafkan untuk tujuan kebaikan.
Tidak dapat dipungkiri, kepemilikan khusus bisa berubah menjadi kepemilikan umum. Seperti seseorang yang mewakafkan apartemennya untuk kebaikan, atau tanah seseorang yang diambil paksa oleh pemerintah demi kemaslahatan khalayak umum, baik itu untuk membangun jalan, perluasan masjid, atau kuburan. Sebagaimana juga kepemilikan umum dapat berubah menjadi kepemilikan khusus jika kepentingan umat membutuhkan privatisasi beberapa properti umum atau mengganti beberapa objek wakaf dengan objek kepemilikan individu (misalnya, harta wakaf yang nilai pemeliharaannya melebihi nilai harta tersebut, maka boleh dijual).
Kesimpulan
Dari pemaparan di atas dapat kita simpulkan beberapa pon berikut ini:
Pertama: Kepemilikan adalah salah satu syarat utama sahnya sebuah transaksi.
Kedua: Kepemilikan ada beberapa macam, bahkan hak pemanfaatan sebuah materi (misalnya, sewa) adalah salah satu macam kepemilikan.
Ketiga: Bisa jadi sebuah materi harta dimiliki oleh beberapa individu, sehingga tidak bisa semena-semena di dalam mengelola dan memanfaatkannya, kecuali atas izin seluruh pemiliknya.
Pada pembahasan selanjutnya insya Allah kita akan mengenal beberapa cara yang diperbolehkan syariat untuk mendapatkan kepemilikan, aturan yang berlaku di dalamnya dan bagaimana perspektif Islam terhadap kepemilikan. Wallahu A’lam Bisshowaab.
[Bersambung]
***
Penulis: Muhammad Idris, Lc.
© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/76892-serial-fikih-muamalah-bag-5.html