Namanya adalah Shafiyyah binti Huyai binti Akhthan bin Sa’yah. Shafiyyah adalah seorang wanita yang cerdas dan memiliki kedudukan yang terpandang dari kalangan Yahudi. Ayahnya Huyai adalah seorang pemuka Yahudi dari Bani Nadhir.
Sebelum masuk Islam, ia menikah dengan Salam bin Abi Al-Haqiq, kemudian setelah itu dia menikah dengan Kinanah bin Abi Al-Haqiq.Kinanah terbunuh pada waktu perang Khaibar, maka Shafiyyah termasuk wanita yang ditawan bersama wanita-wania lain. Bilal bin Rabah RA menggiring Shafiyyah dan putri pamannya. Mereka melewati tanah lapang yang penuh dengan jenazah orang Yahudi. Shafiyyah diam dan tenang dan tidak kelihatan sedih dan tidak pula meratap.
Kemudian keduanya dihadapkan kepada Rasulullah SAW. Rasulullah SAW pun akhirnya menawarkan kepada Shafiyyah sebagai salah satu pemuka kaum Bani Nadhir. Apakah ia memeluk Islam dan dinikahi Rasulullah SAW atau tetap dalam agamanya dan dibiarkan bebas.
Shafiyyah langsung mengiyakan ajakan Rasulullah untuk memeluk Islam. Pasalnya, saat masih memeluk Yahudi, Shafiyyah berhasrat untuk memeluk agama Islam.Maka Shafiyyah menjadi istri yang menguatkan dakwah Nabi SAW. Pernikahan mereka menjadi sebuah simbol takluknya kaum Yahudi atas kaum Muslimin. Shafiyyah pun diboyong ke Madinah dan ditempatkan di salah satu rumah sebagai istri Nabi SAW.
Shafiyyah adalah sosok yang penyabar. Stigma sebagai pemuka kaum Yahudi dan wanita asing masih begitu melekat pada dirinya. Istri Nabi SAW yang lain juga merasa cemburu. Hafsah bin Umar pernah tanpa sengaja menyeletuk soal Shafiyyah, “Perempuan anak Yahudi.”
Shafiyyah pun merasa sedih. Lalu Rasulullah SAW menemuinya sementara ia masih dalam keadaan menangis. “Apa yang engkau tangisi?”tanya Rasulullah SAW. Ia pun lantas menceritakan celetukan dari Hafsah yang spontan tersebut. Nabi SAW pun menenangkan Shafiyyah. “Engkau berada dalam lindungan Nabi SAW,” jawab Nabi SAW yang membuat hati Shafiyyah menjadi tenang.
Soal kejujuran, Rasulullah memberikan pengakuan yang mendalam. Ketika itu istri Rasulullah tengah berkumpul selama sakit keras yang menyebabkan wafat, Shafiyyah mengungkapkan keinginannya menemani Rasulullah seumur hidup.
“Aku berharap dirikulah yang selalu mendampingimu (hidup dan mati).” Pernyataan itu menuai reaksi dari istri yang lain. Mereka cemburu. Muka mereka cemberut. Sorotan mereka tajam mengarah ke Shafiyyah.
Kondisi ini dibaca oleh Rasulullah. “Berkumurlah kalian,” seru Rasulullah. Ini maksudnya agar mereka berhenti berbuat ghibah. Mereka heran, “Bersuci dari apa?” tanya mereka.
Rasulullah menjawab, “Dari muka masam kalian, Demi Allah, Shafiyyah jujur (dengan ucapannya itu).”Shafiyyah dikaruniai umur yang panjang. Ia hidup pada masa empat Khulafaur Rasyidin. Saat Umar bin Khattab RA memimpin kaum Muslimin, lagi-lagi fitnah mampir ke diri Shafiyyah. Stigma Yahudi masih begitu melekat pada dirinya.
Ia dituduh seorang budak jika masih mencintai Sabtu layaknya orang Yahudi memuliakan hari tersebut. Ia juga dikatakan mencintai orang-orang Yahudi lebih daripada orang Islam. Umar sebagai pemimpin langsung mengklarifikasi Shafiyyah yang sudah menjadi ummahatul Mukminin tersebut.
Shafiyyah membantah semua tuduhan tersebut. Sejak memeluk Islam, ia lebih memuliakan hari Jumat dibanding hari Sabtu. Soal berbuat baik kepada orang Yahudi, Shafiyyah mengatakan hanya masalah silaturahim sesama manusia.
Ia dikenal rajin beribadah, hingga ajal menjemputnya. Ia wafat pada tahun 50 H. Jasadnya dikebumikan di Baqi seperti istri Rasulullah SAW yang lain. Ia meninggalkan wasiat berupa uang seribu dinar untuk Aisyah binti Abu Bakar. Â ed: Hafidz Muftisany