Shalat di Masjid Dekat Ataukah di Masjid Jauh

Ada pilihan, ada masjid dekat namun imamnya kurang bagus. Ada masjid yang jauh, imamnya bagus, selain itu punya manfaat lain jika shalat di sana (karena lebih nyunnah katanya), mana yang harus dipilih?

Ada pertanyaan yang pernah diajukan pada Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah,

“Bolehkah seseorang memilih shalat Jumat dengan meninggalkan masjid di daerahnya dan memilih masjid yang jauh jaraknya? Hal ini dikarenakan khatib di tempatnya khutbahnya terlalu panjang.”

Syaikh Ibnu Utsaimin menjawab,

Lebih baik baginya shalat di masjid kampungnya supaya saling mengenal dan menjalin kasih dengan orang-orang sekitarnya. Begitu pula kalau shalat di masjid kampungnya bisa untuk menyemangati lainnya.

Namun jika ia pergi ke masjid lain dengan pertimbangan maslahat diniyyah yaitu mudah mendapatkan ilmu, khutbahnya lebih mudah diresapi, ilmu yang diperoleh lebih banyak, maka dengan pertimbangan seperti ini tidaklah masalah. Dahulu sahabat memilih shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di masjid beliau untuk mendapatkan keutamaan bermakmum di belakang nabi, juga untuk mendapatkan shalat di masjid nabi (Masjid Nabawi). Lalu setelah shalat bersama nabi, mereka shalat kembali di kampung mereka seperti yang dilakukan oleh Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan Nabi itu mengetahui dan tidak mengingkarinya. (Fatawa Islamiyyah dinukil dari Fatawa Al-Islam Sual wa Jawab, no. 143905)

 

Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafizahullah juga menyatakan bahwa lebih utama melaksanakan shalat (Jum’at) di masjid kampung kecuali ada maslahat jika harus memilih masjid lain. Dijelaksan di fatwa beliau no. 143905.

 

Tentang hadits yang dimaksudkan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin adalah hadits berikut dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan,

أَنَّ مُعَاذَ بْنَ جَبَلٍ – رضى الله عنه – كَانَ يُصَلِّى مَعَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – ثُمَّ يَأْتِى قَوْمَهُ فَيُصَلِّى بِهِمُ الصَّلاَةَ ، فَقَرَأَ بِهِمُ الْبَقَرَةَ – قَالَ – فَتَجَوَّزَ رَجُلٌ فَصَلَّى صَلاَةً خَفِيفَةً ، فَبَلَغَ ذَلِكَ مُعَاذًا فَقَالَ إِنَّهُ مُنَافِقٌ . فَبَلَغَ ذَلِكَ الرَّجُلَ ، فَأَتَى النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا قَوْمٌ نَعْمَلُ بِأَيْدِينَا ، وَنَسْقِى بِنَوَاضِحِنَا ، وَإِنَّ مُعَاذًا صَلَّى بِنَا الْبَارِحَةَ ، فَقَرَأَ الْبَقَرَةَ فَتَجَوَّزْتُ ، فَزَعَمَ أَنِّى مُنَافِقٌ . فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « يَا مُعَاذُ أَفَتَّانٌ أَنْتَ – ثَلاَثًا – اقْرَأْ ( وَالشَّمْسِ وَضُحَاهَا ) وَ ( سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى ) وَنَحْوَهَا »

Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu pernah shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian ia mendatangi kaumnya untuk melaksanakan shalat lagi. Ketika itu Mu’adz membacakan surat Al-Baqarah. Lantas ada seseorang yang keluar dan ia melakukan shalat sendirian dengan ringkas. Hal tersebut sampai pada telinga Mu’adz dan Mu’adz menyebut orang tersebut munafik. Sebutan Mu’adz tadi sampai pada orang yang digelari, hingga akhirnya ia mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Wahai Rasulullah kami adalah kaum yang bekerja dengan tangan-tangan kami di samping menggembala ternak. Saat itu Mu’adz shalat mengimami kami semalam itu membaca surat Al-Baqarah. Maka Aku memutus shalatku, lalu dia menuduh saya munafik.” Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa aallam bersabda, “Wahai Mu’adz, apakah kamu akan tukang pembuat fitnah (memicu orang enggan shalat)?” hingga 3 kali, “Baiknya engkau membaca surat Asy-Syamsy dan Al-A’la atau yang semisalnya.” (HR. Bukhari, no. 6106 dan Muslim, no. 465)

Dalam riwayat Muslim disebutkan bahwa yang dimaksud adalah shalat Isya. Jabir radhiyallahu ‘anhu berkata,

صَلَّى مُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ الأَنْصَارِىُّ لأَصْحَابِهِ الْعِشَاءَ فَطَوَّلَ عَلَيْهِمْ فَانْصَرَفَ رَجُلٌ مِنَّا فَصَلَّى فَأُخْبِرَ مُعَاذٌ عَنْهُ فَقَالَ إِنَّهُ مُنَافِقٌ. فَلَمَّا بَلَغَ ذَلِكَ الرَّجُلَ دَخَلَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَأَخْبَرَهُ مَا قَالَ مُعَاذٌ فَقَالَ لَهُ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « أَتُرِيدُ أَنْ تَكُونَ فَتَّانًا يَا مُعَاذُ إِذَا أَمَمْتَ النَّاسَ فَاقْرَأْ بِالشَّمْسِ وَضُحَاهَا. وَسَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى. وَاقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ. وَاللَّيْلِ إِذَا يَغْشَى »

“Mu’adz bin Jabal Al-Anshari pernah memimpin shalat Isya. Ia pun memperpanjang bacaannya. Lantas ada seseorang di antara kami yang sengaja keluar dari jama’ah. Ia pun shalat sendirian. Mu’adz pun dikabarkan tentang keadaan orang tersebut. Mu’adz pun menyebutnya sebagai seorang munafik. Orang itu pun mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengabarkan pada beliau apa yang dikatakan oleh Mu’adz padanya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas menasehati Mu’adz, “Apakah engkau ingin membuat orang lari dari agama, wahai Mu’adz? Jika engkau mengimami orang-orang, bacalah surat Asy-Syams, Adh-Dhuha, Al-A’laa, Al-‘Alaq, atau Al-Lail.” (HR. Muslim, no. 465)

Dalam riwayat lain dari Ibnu Abi Syaibah (3625) disebutkan bahwa yang dilaksanakan oleh Mu’adz adalah shalat Maghrib. Lihat Fatawa Al-Islam Sual wa Jawab, no. 184724.

Saran kami, tetap memilih masjid terdekat lebih utama dibanding memilih masjid jauh yang nyunnah. Dakwah pada orang terdekat akan lebih tersampaikan kalau kita bisa bergaul dengan baik. Silakan buktikan!

Semoga jadi ilmu yang bermanfaat. Wallahu waliyyut taufiq.

Disusun di DS Panggang, saat Allah menurunkan anugerah hujan sebelum Maghrib, 26 Rabi’uts Tsani 1438 H

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Sumber : https://rumaysho.com/15279-shalat-di-masjid-dekat-ataukah-di-masjid-jauh-yang-nyunnah.html