Siti Raham Takdir Cinta Buya Hamka

Siti Raham Takdir Cinta Buya Hamka

Banyak gadis pilihan Buya Hamka, ada Kulsum, Maryam, dan wanita Hijaz di rumah Syeikhnya di Makkah yang mendesaknya untuk menikah, tapi mengapa pilihannya jatuh Siti Raham?

PERNIKAHAN Haji Abdulmalik bin Abdulkarim Amrullah (HAMKA) dengan Siti Raham berlangsung pada tanggal 5 April 1929, di usia keduanya masih muda belia.

Hamka saat itu berusia 21 tahun dan istri berumur 15 tahun. Seiring dengan berjalannya waktu, kehidupan rumah tangga yang pada awalnya melalui proses perjodohan atas inisiatif ayahnya, Syaikh Abdulkarim Amrullah, pada tahun 1928.

Hamka menyadari bahwa ternyata Siti Raham adalah takdir cinta sejatinya, sehingga tidak ada niat untuk menduakannya.

Padahal sebelumnya,  seperti diungkap Hamka dalam biografinya “Kenang-Kenangan Hidup” jilid I, saat di Padang Panjang dan ketika berlayar dalam perjalanan menuju Makkah pada bulan Pebruari 1927, kemudian bermukim di sana sekian bulan lamannya, kembali pulang ke tanah air dan menetap di Medan, telah ada wanita lain yang pernah hadir di hatinya.

Adalah gadis bernama Kulsum, dara Cianjur berusia 17 tahun yang berangkat haji bersama kedua orang tuanya. Ia terpesona kepada Hamka karena dikenal rajin mengumandang adzan setiap masuk waktu shalat dan suaranya yang merdu ketika membaca Al-Quran di atas kapal Karimata yang membawa mereka ke tanah suci.

Kulsum bahkan memanggil Hamka dengan sebutan “Ajengan”.  Ajengan adalah panggilan untuk orang terkemuka, terutama guru agama Islam.  

Pada tahun 1928, ketika pulang dari Medan bersama kakak iparnya Ahmad Rasyid Sutan Mansur dan baru sehari sampai di Maninjau, hari itu hari Jumat, setelah shalat Maghrib, adik ayahnya yang bernama Haji Yusuf  Amrullah mengajaknya bercakap empat mata di sudut Surau.

“Malik, obatlah hati Buya-mu, beliau sudah mulai tua. Engkau telah dipertunangkan dengan anak perempuan Endah Sutan, namanya Siti Raham!”.

Pikirannya melayang ke Kulsum. Terbayang pula Maryam, wanita Hijaz di rumah Syeikhnya di Makkah yang mendesaknya untuk menikah.

Melintas pula di ingatannya seorang gadis yang sama-sama berasal dari Maninjau dan telah lama menetap di Medan. Pada saat akan pulang ke Maninjau, gadis tersebut bertanya: “Jika Tuan Haji pulang, tentu tidak ada niatan akan balik ke Medan lagi, ya?.”     

“Ah, tentu saja kembali”, jawabnya.

“Jangan mendorong-dorongkan mulut, Tuan Haji, kampung kita “kramat”, balas wanita tersebut. 

“Kembali jugalah ke Medan, Haji, sebab ada orang yang menunggumu”, pesan kakak gadis itu.

***

Buya Hamka menuturkan cuplikan dialog dengan ayahnya pada tahun 1943 di Tanah Abang, Jakarta, setelah sebelumnya ayah Buya Hamka ini dibuang ke Sukabumi oleh pemerintah Belanda karena dianggap mengganggu stabilitas misi kolonialnya di Minangkabau :

“Pada suatu hari, ketika kami duduk bercengkerama bersama-sama, beliau bersenda-gurau, seraya berkata: “Engkau sudah seperti batu terbenam ke bencah, tidak timbul lagi. Isteri hanya satu. Apalah agaknya “ramuan” yang dimakankan isterimu kepadamu, sehingga engkau tidak berani beristeri seorang lagi?”.

Dengan gaya berkelakar Buya Hamka menjawab secara serius: “Ini  bukanlah soal ramuan atau soal pekasih (guna-guna). Soalnya ialah soal Abuya sendiri. Abuyalah dahulu yang mencarikan dan menetapkan dia menjadi isteriku. Rupanya Abuyalah yang memilih gadis yang ananda tidak sanggup menduakannya dengan yang lain.”

Kutipan dialog di atas diabadikan Buya Hamka dalam rubrik “Dari Hati ke Hati” di Majalah Panji Masyarakat edisi 95/1972 yang berjudul “Hj. Siti Raham: Dia adalah Obat Hati Ayahku.”

Begitulah penulis roman “Tenggelamnya Kapal Van der Wijk” ini menemukan kedamaian dan ketentraman hidup bersama Siti Raham yang dalam pergaulan hidup berumah tangga sampai wafatnya panggilan romantis Siti Raham untuk Buya Hamka adalah Engku Haji.

Buya Hamka mengenang pada saat beliau akan ditahan oleh rezim Orde Lama dan ketika akan berpisah untuk selamanya dengan wanita tangguh yang telah melahirkan 12 orang anak ini:

“Di waktu aku ditangkap dan ditahan (27 Januari 1964), dia meratap: “Bawo den Angku Haji, jan den ditinggalkan”. (Bawa saya serta Engku Haji, jangan saya ditinggalkan).”

“Bahkan 5 menit sebelum Siti Raham menghembuskan nafasnya yang penghabisan, dipegangnya tanganku dengan tangannya yang mulai kaku: “Beri maaf saya Engku Haji!….”.

Setelah merasakan bahwa saat ajalnya telah dekat, Siti Raham berucap: “Kalau saya meninggal lebih dahulu, apakah di akhirat kita kan bertemu kembali, Engku Haji?”.

Buya Hamka menjawab: “Aku akan berusaha supaya kita bertemu hendaknya di akhirat kelak!”.

“Mengapa begitu?”, tanyanya.

“Ada tersebut di dalam Sabda Nabi kita Muhammad ﷺ bahwa jika seorang perempuan meninggal dunia, sedang suaminya ridha kepada kesetiaannya dikala hidupnya, perempuan itu akan masuk Surga. Sebab itu, menurut hadits itu Ummi akan masuk Surga. Dan aku, kalau kau tinggalkan menyimpang dari jalan yang digariskan Tuhan, niscaya masuk Neraka. Sebab itulah jika aku engkau tinggalkan akan selalu berusaha sampai panggilan datang pula, agar tetap dalam iman dan istiqamah, agar kita dapat bertemu kembali,” jelas Buya Hamka.   

“Benar begitu…!”

“Benar……!”, jawab Buya Hamka.

Dan di menit-menit terakhir, pada saat pegangan tangannya dirasakan mulai melemah oleh Buya Hamka, ia meminta maaf: “…Angku Haji,……beri maaf saya.”    

“Janganlah disimpangkan ingatan kepada Engku Haji, luruskan ingatan kepada ALLAH !”, seru Buya Hamka kepada kekasih hati dan belahan jiwanya itu.

“…Allah…!”, ucapnya lirih.  

Tidak berselang lama, sampailah waktunya berpisah dengan Engku Hajinya untuk selama-lamanya pada hari Sabtu, 1 Januari 1972, jam 8.45 pagi, di kamar 6 Paviliun Cenderawasih Rumah Sakit Umum Dr. Ciptomangunkusumo, Jakarta.*/Roni Candra, Pegiat Pendidikan dan Sosial Kemanusiaan Yayasan Swadaya Ummah Pekanbaru  

HIDAYATULLAH