Dikisahkan bahwa ketika Lukman tidur siang, Allah memerintahkan sebagian malaikat, seraya berseru: Hai Lukman, maukah engkau dijadikan khalifah (penguasa) di muka bumi ini, yang memerintahkan dan mengadili manusia dengan benar?
Suara menjawab: Jika saya disuruh memilih oleh Allah, saya akan mengambil sehat dan tidak mau mengambil bala atau sakit. Namun, jika khalifah itu ditetapkan terhadap saya maka saya dengar dan taat. Karena saya yakin, jika Allah mendudukkan saya dalam posisi itu, pasti Allah akan menolong dan menjaga saya.
Mengapa, ya Lukman? tanya malaikat dengan suara yang tidak kelihatan rupanya. Lukman menjawab: Karena pemerintahan atau kekuasan adalah kedudukan yang paling berat dan paling keras, yang diselubungi dengan kezaliman dari setiap tempat dan penjuru. Jika beres dalam menjalankannya maka ia pantas meraih keselamatan, tapi jika salah maka salah (menyimpang) pula dalam meniti jalan menuju surga.
Barang siapa yang hina dan nista di dunia, tapi mulia dan terhormat di akhirat. Maka itu lebih baik daripada mulia di dunia tapi hina di akhirat. Dan barang siapa yang memilih dunia ketimbang akhirat maka dunia teramat remeh dan sungguh tak berarti, sementara akhirat tak bisa diraih. Malaikat takjub dan terpukau dengan indahnya kata-kata Lukman. Dalam tidurnya itu, Allah menganugerahinya hikmah. Begitu sadar dan terbangun, ujaran Lukman pun menjadi sarat dengan hikmah.
Nabi Daud juga tertolong oleh Lukman dengan tutur katanya yang penuh hikmah ini, sehingga ia pun berucap: Berbahagialah engkau hai Lukman, engkau telah diberikan hikmah dan dipalingkan darimu bala bencana. Sementara Daud dianugerahi khilafah (kekuasaan), lalu diuji dengan hukum dan fitnah.
Kata-kata hikmah Lukman tersebut menemukan justifikasinya pada era sekarang ini, ketika banyak pemimpin dan pemegang kekuasaan terseret ke dalam kesombongan dan perilaku zalim. Bukan hanya terhadap orang lain, tapi juga zalim terhadap dirinya sendirinya. Dengan menghalalkan segala macam cara dan bahkan menistakan agama.
Di level kekuasaan dan kepemimpinan yang paling bawah, di desa misalnya, sering dijumpai tokoh yang tadinya taat beragama dan berlatar belakang santri. Ketika masuk ke dalam lingkaran kekuasaan, tak tahan dengan godaan, akhirnya ambruk di tengah jalan. Nilai akhlak dan muruah tercerabut dari dirinya. Demikian pula, banyak pemimpin dan pemegang kekuasaan di dunia ini yang melakukan tindakan keji dan biadab, lantaran merasa dirinya berkuasa.
Begitulah pesona kekuasaan, wajar jika banyak guru spiritual emoh terhadap jabatan atau kekuasaan (riyasah) ini. Kendati begitu, masih banyak tokoh pemimpin dunia yang memoles bumi ini dengan nilai-nilai Ilahi, yang menebarkan kedamaian dan kenyamanan bagi penghuninya.
Mereka menyadari sepenuhnya, sebagaimana banyak amanat lainnya, kepemimpinan dan kekuasaan juga merupakan jembatan menuju Ilahi, yang rapor-nya kelak akan dijumpai di hadapan-Nya. Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya. (QS al-Insyiqaq [84]: 6).
Oleh: Makmum Nawawi