Jika Suami Tidak Pernah Shalat
Pertanyaan:
Suami sama sekali tidak pernah shalat wajib tapi dia adalah tipe suami yang baik dan bertanggung jawab walau memang temperamental. Apakah saya harus terus mempertahankan rumah tangga sedangkan pemimpinnya tidak pernah shalat? Saya sudah sangat lelah menasehatinya dengan berbagai cara tapi tetap saja susah.
Terimakasih atas penjelasannya
Dari: Nuyun
Jawaban:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah wa ba’du,
Sebelum mengupas tentang masalah yang Anda tanyakan, kita perlu memahami hukum meninggalkan shalat.
Ulama sepakat bahwa meninggalkan shalat karena mengingkari kewajibannya statusnya kafir. Karena berarti dia mengingkari hukum Allah dan ayat Alquran yang memerintahkan untuk mengerjakan shalat. Misalnya, ada orang beranggapan bahwa shalat itu tidak wajib, yang penting ingat Allah, itu sudah cukup.
Orang yang memiliki keyakinan semacam ini dihukumi murtad para ulama.
Sedangkan orang yang meninggalkan shalat, namun masih meyakini kewajibannya, diperselisihkan oleh ulama, apakah dihukumi murtad ataukah masih muslim.
Imam Abu Hanifah, Malik, dan asy-Syafii berpendapat, tidak kafir, namun orang fasik. Hanya saja mereka berbeda pendapat tentang hukumannya. Imam Malik dan asy-Syafii berpendapat, orang yang meninggalkan shalat hukumannya dibunuh. Sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat, dia dita’zir dan tidak dibunuh. Sementara itu, Imam Ahmad berpendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir dan keluar dari islam (Tarik ash-Shalah, hlm. 1).
Ulama yang berpendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat, statusnya murtad, berdalil dengan beberapa hadis, diantaranya,
Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إن بين الرجل وبين الشرك والكفر ترك الصلاة
“Sesungguhnya batas antara seorang muslim dengan kesyirikan atau kekafiran adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim)
Dari Buraidah bin Hashib radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
العهد الذي بيننا وبينهم الصلاة ، فمن تركها فقد كفر
“Perjanjian antara kami dan mereka adalah shalat. Siapa yang meninggalkan shalat maka dia kafir.” (HR. Ahmad, Abu Daud, Turmudzi, Nasai, dan Ibnu Majah).
Keterangan Abdullah bin Syaqiq, seorang tabiin,
كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَرَوْنَ شَيْئًا مِنَ الأَعْمَالِ تَرْكُهُ كُفْرٌ غَيْرَ الصَّلَاةِ
Para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak beranggapan ada satu amal yang jika ditinggalkan bisa menyebabkan kafir, selain shalat. (HR. Turmudzi dan dishahihkan al-Albani).
Keterangan di atas memberi peringatan keras bagi kita tentang bahaya meninggalkan shalat. Meskipun ulama berbeda pendapat tentang status kafir dan tidaknya, namun para ulama sepakat untuk memberikan ancaman yang sangat keras bagi orang yang meninggalkan shalat. Terlebih jika kita menguatkan pendapat yang menyatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah orang murtad.
Kemudian, terkait status suami yang tidak pernah shalat, ada 2 keadaan yang perlu diperhatikan,
Pertama, si calon suami sudah meninggalkan shalat sejak sebelum menikah
Imam Ibnu Utsaimin pernah ditanya seorang wanita yang menikah dengan lelaki yang tidak pernah melaksanakan shalat. Sebelumnya, Imam Ibnu Utsaimin termasuk ulama yang menilai kafir orang yang meninggalkan shalat.
Beliau menjawab,
Jika akadnya dilakukan ketika si lelaki sudah meninggalkan shalat maka akadnya tidak sah. Karena itu, dia wajib memisahkan diri darinya. Jika laki-laki ini masuk islam maka dia bisa memperbarui akad, dan jika tidak mau bertaubat, semoga Allah memberi ganti dengan lelaki yang lebih baik (Fatwa Islam, 4131)
Kedua, suami meninggalkan shalat setelah menikah atau setelah punya anak
Kasus semacam ini juga pernah ditanyakan kepada Imam Ibnu Utsaimin, dan beliau memberi jawaban:
Jika seorang wanita menikah dengan lelaki yang meninggalkan shalat, baik berjamaah maupun sendirian maka nikahnya tidak sah. Karena orang yang meninggalkan shalat adalah orang kafir. Sebagaimana disebutkan dalam dalil Alquran, hadis dan perkataan sahabat. Diantaranya adalah perkataan Abdullah bin Syaqiq, bahwa Para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak beranggapan ada satu amal yang jika ditinggalkan bisa menyebabkan kafir, selain shalat.
Sementara orang kafir, tidak halal untuk menikahi wanita muslimah. Berdasarkan firman Allah,
فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ لا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنّ
“Jika kamu telah mengetahui bahwa para wanita itu beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka (para wanita itu) tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka…” (QS. Al-Mumtahanah: 10)
Kemudian, jika si lelaki meninggalkan shalat setelah dia menikah maka nikahnya dibatalkan, kecuali jika si suami bertaubat dan kembali ke Islam. Sebagian ulama memberikan batasan sampai selesai masa iddah. Jika masa iddah selesai maka si laki-laki ini tidak boleh lagi rujuk ketika dia bertaubat, kecuali dengan akad yang baru.
Oleh karena itu, wajib bagi si wanita untuk memisahkan diri dari suaminya itu dan tidak berkumpul bersamanya, sampai suaminya bertaubat dan melaksanakan shalat, meskipun dia memiliki anak dari suami itu. Karena dalam kondisi ini, suami tidak memiliki hak pengasuhan anak (Fatwa Arkan Islam, hlm. 279).
Andaipun kita berpendapat bahwa meninggalkan shalat bukan termasuk kekafiran, istri tetap disyariatkan untuk memisahkan diri dari suaminya, sampai suaminya bertaubat. Al-Mardawi mengatakan;
إذا ترك الزوج حق الله فالمرأة في ذلك كالزوج فتتخلص منه بالخلع ونحوه
“Apabila suami meninggalkan hak Allah, maka istri dalam hal ini sebagaimana suami, dia disyariatkan memisahkan diri darinya dengan gugat cerai atau semacamnya.” (al-Inshaf, 13:321)
Hal ini, agar istri tidak dianggap merelakan sang suami melakukan pelanggaran syariat. Sebagaimana yang dinasihatkan Ibnu Allan,
وذلك لأن الرضا بالكفر الذي هو من جملة المعاصي كفر، وبالعصيان الناشيء عن غلبة الشهوة نقصان من الإيمان أيّ نقصان
“Karena ridha terhadap kekafiran yang merupakan salah satu bentuk maksiat, termasuk perbuatan kekafiran, demikian pula, ridha terhadap maksiat karena dorongan syahwat, termasuk kurangnya iman.” (Dalil al-Falihin Syarh Riyadhus Shalihin, 2:470).
Selanjutnya, perbanyaklah memohon hidayah kepada Allah. Semoga Allah membimbing anda dan suami anda untuk kembali ke jalan yang lurus.
Allahu a’lam.
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina KonsultasiSyariah.com)
Read more https://konsultasisyariah.com/15418-suami-tidak-pernah-shalat.html