Kita tidak hanya perlu sujud fisik, tetapi juga sujud mata dan sujud hati agar Allah mendengar dan mengabulkan semua doa kita
SAAT ini adalah tahun ketiga kita menghadapi pandemi. Selain pandemi yang telah menguras waktu, tenaga, pikiran dan hilangnya banyak nyawa, sebelumnya kita juga pernah dihadapkan dangan musibah sambung menyambung, silih berganti.
Dari Timur ke Barat, dari pulau ke pulau dari samudera ke samudera. Awal tahun 2021 telah dibuka dengan musibah jatuhnya pesawat SJ 182, penerbangan Jakarta ke Pontianak.
Belum kering air mata, disambung bencana gempa di Sulawesi Barat (Majene dan Mamuju), banjir di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Barat. Disusul lagi gempa di Pangandaran. Di tengah kepanikan tersebut, mendapat kabar lagi meletusnya Gunung Semeru.
Masyaallah, Allah Akbar. Engkau Tuhan yang Maha Besar, dan jiwa kita semua ada di genggaman-Nya. Demikian dahsyat dan bertubi-tubi Tuhan mengguji kita, di tengah palung keterpurukan akibat pandemi Covids 19 yang belum ada tanda-tanda akan berhenti. Berlipat-lipat kepiluan mendera negeri ini. Semakin sendu tangis lara ibu pertiwi.
Ebit G. Ade mengingatkan kita ini bukanlah hukuman, melainkan sebuah isyarat agar kita mesti banyak berbenah. Kita semua, anak bangsa, harus me-reset sejenak kehidupan ini, guna bersujud kepada-Nya. Bukan hanya merendahkan kepala ke tanah, akan tetapi menyujudkan pikiran dan hati kita ke dasar yang paling rendah, yaitu “ketiadaan” (kefanaan).
Sujud sejatinya bukan hanya secara lahiriah, akan tetapi persujudan yang hakiki adalah persujudan kesadaran dari lubuk hati yang paling dalam. Meletakkan kening atau muka ke tanah atau tempat sujud adalah simbol empirisnya, namun jika hati, pikiran dan kesadaran tidak ikut serta, maka sujudnya tiada guna.
Maka, sujud yang sejati adalah menghadirkan kesadaran bahwa kita adalah hamba yang kecil, hina dan tak berdaya di hadapan Ke-Maha Besaran Tuhan YME. Sujud adalah manifestasi kerendahan dan penyerahan diri secara total manusia kepada Sang Penciptanya.
Yakinlah, ketika manusia hilang elan vital kesujudannya, maka menyeruaklah arogansi dan sifat dan tabiat merusak manusia.
Negeri ini lahir dari semangat persujudan para founding father dan founding mother kepada Tuhan YME. Atas berkat rahmat Tuhan YME, bukan dibentuk semena-mena atas usaha manusia. Makanya, negeri ini meletakkan pengakuannya atas eksistensi Tuhan di dalam “jantung” dasar konstitusinya, baik dalam Pancasila maupun UUD 1945. Denyut nadi bangsa Indonesia adalah Ketuhanan, sebagai lambang persujudan bangsa ini.
Oleh karenanya, bangsa ini hendaknya memahami bencana sebagai isyarat Tuhan kepada kita semua, apakah kita masih memelihara kesujudan tersebut. Barangkali selama ini, kita terlalu banyak mendongak, membusungkan dada, dan memandang rendah kepada sesama. Barangkali kita juga terlalu jumawa dengan segala kuasa yang kita punya. Atau kita mulai terlena dan lupa dari mana asal dan hendak kemana haluan hidup di dunia.
Berhentilah sejenak, bersujudlah kepada Tuhan YME dan teruslah bersujud. Sujudkan segala jiwa dan raga, sujudkan pikiran, jiwa dan segala kedigjayaan kita, ke tanah ke-Maha kasih sayang-Nya. Hirup dalam-dalam semesta kepasrahan, rendahkan diri dengan serendah-rendahnya derajat kemakhlukan kita. Menyelamlah ke dasar kekerdilan kita, agar kita menemukan kefanaan kita di hadapan Kebesaran-Nya.
Sujudkan telunjuk kekuasaan kita, sujudkan jari-jari pemetik pelatuk bedil, sujudkan palu-palu penekan hukum, sujudkan segala kuasa politik yang mengharu biru, sujudkan ke tanah Ke-Maha Besaran Tuhan. Agar tiada kesemena-menaan, agar tiada jumawa dan agar tegak hukum demi keadilan.
Sujudkan lisan-lisan kita dari perkataan kasar, kebencian penuh caci maki. Sujudkan mata-mata kita, yang selalu memandang rendah kepada saudara sebangsa. Sujudkan seluruh jiwa raga kita ke dasar pengampunan Tuhan yang pintu kemaafan tiada berbatas.
Lepaskan segala atribut dunia yang membuat berat hati kita tunduk bersujud. Pangkat, kedudukan, tahta, harta dan kuasa. Kembalilah ke “kebayian” kita, yang lemah, rapuh, dan tak berdaya tanpa sehelai benangpun terlahir ke dunia. Agar otentik sujud kita dihadapan kuasa-Nya.
Jujurlah mengakui berapa banyak garam kedzaliman yang kita taburkan di atas hati-hati yang luka. Berterus teranglah akan pengkhianatan atas amanah yang kita pikul. Atas lalai dan kealpaan, segala kemurahan dan karunia-Nya yang tak pernah kita syukuri.
Tanah yang subur, kekayaan alam yang berlimpah, di daratan, di lautan dan di angkasa, yang terus menerus kita eksploitasi tanpa menimbang secara bijaksana akan kelangsungannya bagi anak cucu kita kelak.
Jujurlah mengakui segala keangkuhan ini, kemudian bersujudlah menadah ampunanNya. Agar tanah tempat kita berdiri ini tidak kehilangan tuahnya.
Negeri ini tak akan menjadi kecil, jika penduduknya merendahkan kepala dan jiwanya kepada Ke-maha Besaran Tuhan. Tak kan hilang kedaulatannya, jika pemimpin mensujudkan kekuasaan dan otoritasnya kepada Ke-Maha Agungan Tuhan.
Tak kan hilang tuahnya, jika anak negerinya mensujudkan segala pikiran, sikap dan asanya kepada Ke-Maha Luasan karuni Tuhan YME.
Bencana, adalah isyarat kepada hati dan jiwa negeri ini, agar tetap menjadi mercusuar cahaya pencerahan dari Timur. Berbagai bencana yang menimpa akan menjadi “madrasah”, tempat mengasah jiwa kesabaran, jiwa kebersamaan dan jiwa senasib sepenanggungan antara sesama anak bangsa. Tuhan selalu memberikan optimisme bahwa dibalik segala “kegelapan” akan datang “terang benderang”.
Demi tuah ibu pertiwi, bersujudlah, baik dalam “kesendirian” maupun “keriuh rendahan” kita sebagai bangsa. Tuhan, hanya kepadaMu kami berlindung dan berserah diri. *
Eka Hendry Ar. Dosen IAIN Pontianak