Sumbangan Ilmuwan Muslim Terhadap Kemajuan Barat

Sumbangan Ilmuwan Muslim Terhadap Kemajuan Barat

Sebelum gemilang, Barat pernah mengalami masa gelap, para sarjana Kristen dan Eropa berbondong-bondong menemukan pengetahuan yang melimpah  dari ilmuwan orang Arab  dan Muslim

Hidayatullah.com | DALAM perjalanan sejarahnya, peradaban Barat (Western Civilization) pernah mengalami masa yang pahit yang mereka sebut dengan zaman kegelapan (the Dark Ages) atau disebut juga zaman pertengahan (the Medieval Ages).

Zaman kegelapan itu dimulai dari runtuhnya Imperium Romawi Barat pada tahun 476 M dan munculnya Gereja Kristen sebagai institusi dominan dalam masyarakat kristen Barat.

Dalam buku Seni Mendidik Islami karya Baqir Syafir al-Qarasyi (Jakarta, Pustaka Zahra, 2003) dijelaskan bahwa, dalam abad kegelapan Barat itu ilmuan Muslim seperti al-Biruni sudah menghidupkan metode eksperimen yang tak pernah di kenal oleh para pemikir besar Yunani.

Metode yang kemudian menjadi bangunan dasar sains modern ini, memang membawa Islam pada puncak  kegemilangan peradabannya. Maka tidaklah berlebihan untuk me­ngatakan bahwa sains modern yang dikembangkan oleh Barat saat ini berasal dari benih pemikiran Islam.

Sains modern, setidaknya metode eksperimental itu, merupakan kontribusi paling monumental dari peradaban Islam. Jadi, perkembangan ilmu di Barat saat ini adalah hutang dari Islam.

Dr Hamid Fahmy Zarkasyi dalam bukunya, Liberalisasi Pemikiran Islam, menyebutkan bahwa Barat bangkit setelah melalui periode penerjemahan (Translation Period), khususnya penerjemahan karya-karya Muslim dalam bidang sains dari bahasa Arab ke bahasa latin.

Augene Myeres dengan tegas menyimpulkan bahwa salah satu faktor terpenting kebangkitan Barat adalah penerjemahan karya-karya cendikiawan Muslim tersebut. Penerjemahan itu terus berlanjut sampai zaman Renaissance, sekitar abad ke 14. Pada zaman pertengahan itulah gereja mulai membangun kekuatan hegemoniknya.

Peradaban dan agama

Islam sebagai negara (kekhalifahan) telah bertempur dengan negara Byzantium atau kerajaan Romawi Timur di Syam, kemudian di Mesir dan seluruh Afrika Utara. Islam sempat melebar hingga ke Spanyol dan Prancis, tapi kemudian mengalami kekalahan sehingga peradaban Islam semakin surut.

Seiring pudarnya penguasaan umat Islam atas sains dan teknologi dan menanjaknya kemampuan sains Barat, lenyap pula kemampuan umat Islam untuk bertahan, sehingga kecenderungan menurunnya peran umat Islam di dunia tidak dapat dielakkan.  Sebaliknya bangsa Eropa, setelah belajar dari umat Islam, lima abad kemudian ber­hasil melanjutkan pengembangan sains di tengah ma­syarakat mereka.

Agama Kristen mulai mendapat kebebasan setelah –beratus tahun- mengalami penindasan dibawah imperium Romawi. Namun orang Barat seperti mengalami kematian karena hidupnya berada dibawah cengkraman gereja yang mengklaim sebagai institusi resmi wakil tuhan di muka bumi, melakukan hegemoni terhadap kehidupan masyarakat dan berbagai tindakan brutal yang sangat tidak manusiawi. (Dr. Adian Husaini, Hegemoni Kristen-Barat Dalam Studi Islam di Perguruan tinggi, Gema Insani press, 2006).

Kejahatan dan kekejaman institusi gereja ini kemudian dikenal sebagai “inquisisi”. Pada akhirnya gereja kehilangan kekuasannya, dan sekularisasi melanda dunia Barat.

Akibatnya gama dipisahkan dari politik, ekonomi dan sains. Selanjutnya dapat dilihat pertumbuhan sains dan teknologi yang pesat di Barat, disusul dengan penjajahan atas umat Islam.

Berawal dari perasaan trauma terhadap gereja itulah, umat Kristen mulai mempelajari dan mengadopsi peradaban Islam. Ibrahim Muhammad Salqini dalam Fiqh al-Islam: Ahkamus Shalat, mengatakan bahwa orang-orang Barat sebenarnya banyak belajar tentang kebersihan dan kesehatan dari orang-orang Islam di Andalusia. Hal itu terjadi karena problem agama Kristen berkaitan dengan hilangnya otentisitas teks Bibel dan makna yang terkandung di dalamnya.

Lee Phillips, Anggota Zubaida Foundation juga seorang mualaf, menceritakan pilihannya pada Islam mengatakan, “Menurut saya tidak terdapat banyak perbedaan antara agama Kristen dan Islam tersebut. Makanya saya tidak sulit mengikuti ajaran Islam,” katanya. Islam, kata Philips, mengajarkan orang untuk melakukan perbuatan baik, sering berdoa, selalu ingat Allah kapan pun dan dimanapun. Selain itu Islam juga mengajarkan untuk memberikan hal-hal yang kita sukai kepada orang lain. ”Hidup saya lebih kaya dan lebih damai dengan menjadi seorang Muslim,” tuturnya.

Sejarah pekembangan sains Barat

Dilihat dari sejarahnya, pada abad ke 6 sampai abad ke 13 Eropa masih dalam masa kegelapan (kemunduran), sedangkan Islam berada dalam masa keeemasan. Saat itu banyak orang Eropa seperti dari Prancis, Inggris, Italia dan lain-lain yang datang ke negeri Islam untuk belajar.

Melalui merekalah, pemikiran rasional, ilmiah, dan filosofis Islam dibawa ke Eropa, serta sains. Dalam sejarah, Renaissense Eropa terjadi setelah mereka belajar pada ilmuan-ilmuan Islam.

Namun sekarang kondisinya terbalik, sejak zaman itu Eropa bangkit hingga mengalami kemajuan sampai sekarang, sebaliknya umat Islam mengalami “kemunduran”.

Semenjak abad ke 15 bangsa-bangsa yang beragama Kristen menjajah dan menaklukkan kerajaan-kerajaan Islam. Akhirnya, pada tahun 1918 hampir seluruh umat Islam di dunia menjadi jajahan Kolonial Kristen.

Pada waktu itu seluruh kepulauan Indonesia dikuasai Belanda dan Malaysia dikuasai Inggris. Pada periode permulaan abad ke 20 itulah banyak sarjana-sarjana Barat yang mempelajari Islam.

Belanda memunculkan orientalis Snouck Hurgronje (1857-1936), Prancis memunculkan Louis Massignon (1958), Inggris memunculkan Hamilton Gibb (1960), Jerman memunculkan Joseph Schacht, dan Canada memberikan Cantwell Wilfred Smith, dan lain sebagainya.

Selain itu banyak lagi orang Barat yang belajar pada cendekiawan muslim seperti Herman Si Pincang (1013-1054); biarawan Reichenan di Swiss yang menulis buku matematika; Adeland of Bath (1090-1150), orang Inggris yang menyamar sebagai orang Islam dan mengikuti kuliah-kuliah di Cordoba (Qurtubah) menulis kompendium untuk sains ilmuwan Muslim; Gerando de Cremona (1114-1187) yang menyalin sekitar 90 karya ilmuwan Muslim ke dalam bahasa latin.

Sehubungan dengan ini Prof. Fuat Sezgin dari universitas Frankfurt, yang menulis buku Geschichte des Arabischen Schrifftums (20 jilid) menemukan bahwa tidak sedikit karya ilmuwan Muslim yang dibajak dengan jalan menyalinnya dalam bahasa latin dan kemudian dibubuhi nama penyalin itu sendiri sebagai ganti nama penulis aslinya.

Karen Amstrong dalam bukunya, Perang Suci: Dari Perang Salib Hingga Perang Teluk (Jakarta, Serambi) menjelaskan bahwa dalam bidang pengetahuan dan kesarjanaan, Eropa juga mulai mengadopsi sikap yang mengurangi rasa permusuhan terhadap dunia luar.

Selama paruh abad ke 12, para sarjana Kristen berbondong-bondong ke Spanyol dan Sisilia. Di sana mereka menemukan pengetahuan yang melimpah di antara orang-orang Arab dan Yahudi bekas wilayah-wilayah Islam.

Mereka mulai menerjemahkan berbagai teks dari bahasa Arab dan sekaligus menemukan karya-karya ilmiah Aristoteles, sebagaimana juga mereka menemukan ilmu-ilmu filosofis dan ilmiah di dunia Arab.

Karena itu dengan menerjemahkan teks-teks Arab, para sarjana Barat ini mengembalikan budaya yang telah hilang selama abad kegelapan di Eropa. Mereka menemukan bahwa mereka dapat banyak belajar dari para sarjana Arab seperti Abu Ali al-Husain Ibn Abdullah Ibnu Sina (w. 1037) dan rekan Muslim sezaman mereka dari Cordoba, abu al-Walid Muhammad Ibnu Ahmad ibn Rusyd. Nama-nama ini kemudian dipendekkan dan dibaratkan menjadi Avecienna dan Averroes yang menjadi orang bijak baru dan pemandu Barat yang sedang berjuang untuk maju.

Tidak hanya itu, masih banyak lagi ilmuan dan sarjana Islam yang menjadi inspirasi Barat untuk melakukan penelitian ilmiah. Misalnya Muhammad bin Musa al-Khawarizmi seorang tokoh matematika besar yang menemukan angka nol.

Bukunya, Hisab al-Jabar wal Muqabalah dan Kitab al-Jama’ wat-Thariq sangat mempengaruhi ahli ilmu Aljabar Leonardo Fibonacci dari Pisa di Italia. Bidang lain dalam matematika banyak ditemukan seperti istilah sinus, kosinus, tangen, kotangen atau ilmu astronomi seperti istilah azimut, zenith dan nadir.

Semua itu diciptakan oleh sarjana Muslim yang bernama al-Battani, yang di Barat disebut Albategni atau Albategnius. Sedangkan dalam ilmu kimia modern, dirintis oleh Jabir bin Hayyan al-Kufi (738-813) dan Abu Bakar Muhammad Ibnu Zakaria ar-Razi (865-925).

Dalam bidang filsafat ada Ibnu Rusyd (1126-1198) yang dihormati Barat dengan nama Averroes. Dalam bidang sosial, politik dan budaya ada Ibnu Khaldun (lahir 27 mei 1332) dan dalam bidang navigasi ada Ibnu Battutah (1304-1377) yang menjelajah dunia dari Rusia hingga Samudra Pasai, dan Ibnu Majid yang menemukan kompas modern.

Masih banyak lagi cendekiawan Muslim lainnya. Jadi, Banyak ilmuan Muslim yang menjadi sumber rujukan orang Barat sebelum terjadi kebangkitan ilmu pengetahuan.*/Lahmuddin SpdI, Peserta Program Kaderisasi Ulama (PKU) Angkatan VI- UNIDA-Gontor

HIDAYATULLAH