Pada artikel sebelumnya yang menjelaskan ayat 10-11 telah disebutkan bahwa golongan orang ketiga adalah mereka yang lebih dahulu. Telah diterangkan pula beberapa penafsiran mengenai apa yang dimaksud dengan golongan yang lebih dahulu (al-sabiqun al-saabiquun) itu.
Sebagian mufasir menerangkan bahwa mereka adalah yang lebih dulu masuk Islam, sebagian yang lain menafsirkan mereka adalah mereka yang selalu terdepan dalam kebaikan. Dalam artikel ini akan dijelaskan mengenai kenikmatan surga yang akan diraih kelompok tersebut. Allah Swt berfirman:
فِي جَنَّاتِ النَّعِيمِ
Berada dalam surga kenikmatan
Tidak ada riwayat yang disuguhkan al-Thabari ketika menafsirkan ayat di atas. Menurutnya ayat ini menunjukkan keterangan bahwa orang-orang yang lebih dahulu sebagaimana diulas pada ayat 10 berada dalam kenikmatan surga yang kekal abadi (al-daa‘im).
Imam al-Qusyairi dalam Lathaaif al-Isyaraat menjelaskan kaitan ayat 12 ini dengan ayat 11 (ulaa‘ika al-muqarrabuun). Menurut al-Qusyairi orang-orang terdahulu (al-saabiquun al-saabiquun) didekatkan sebagaimana diterangkan ayat 12, pada hakikatnya didekatkan karena mereka mulia bukan karena mereka berjarak (min haitsu al-karaamah laa min haitsu al-musaafat). Kelompok ketiga ini secara fisik saling berdekatan dalam surga dan hatinya tetap dekat kepada Allah Swt (al-Haq). Kedekatan hati kepada Allah Swt karena mereka ma’rifat dan kedekatan ruh mereka karena mereka syahadah (bersaksi).
Menurut Fakhruddin al-Razi terdapat perbedaan penggunaan lafaz antara ayat 12 ini dengan ayat 89 surat al-Waqi’ah (farawhun wa rayhaanun wa jannatu na’iim). Ayat 12 ini menggunakan alif lam sedangkan ayat terkahir tidak menggunakannya. Ar-Razi berpendapat perbedaan ini bila dilihat dari aspek maknanya maka dapat dipahami bahwa orang-orang terdahulu dianggap lebih spesifik, kedudukannya lebih khusus yang masuk dalam kategori orang-orang bertakwa. Sedangkan orang-orang bertakwa (al-muttaqiin) memiliki kualitas pembalasan surga yang berbeda-beda sesuai dengan amal dan ketakwaaannya ketika di dunia. Menurut penafsiran al-Razi, orang-orang yang paling dahulu inilah yang memiliki derajat yang tertinggi dalam kenikmatan surga.
Dalam buku Al-Qur’an dan Tafsirnya terbitan Kementerian Agama RI tahun 2010, dijelaskan bahwa ayat ini bercerita tentang nikmat yang akan diberikan kepada orang-orang yang paling dahulu beriman. Mereka adalah ahli surga yang akan mendapatkan nikmat yang tidak pernah terlihat oleh mata, terdengar oleh telinga, maupun terpikirkan oleh siapa pun. Sesuai dengan sabda Nabi Saw:
في الجنة ما لا عين رأت ولا أذن سمعت ولا خطر على قلب بشر
Di dalam surga terdapat nikmat dan kesenangan yang tidak pernah dilihat oleh mata dan dinger oleh telinga serta tidak pernah terlintas di hati manusia (Riwayat al-Bazzar dari Abi Sa’id).
Kata al-Na’im (an-Na’iim) menurut penjelasan Quraish Shihab secara keumuman diterjemahkan dengan nikmat. Akan tetapi kata ini juga seringkali digunakan untuk mendeskripsikan makna kehalusan dan kelembutan. Sebagian mufassir, jelas Quraish, memaknai kata na’im yang ada dalam al-Qur’an dengan arti segala bentuk nikmat akhirat/ukhrawi bukan nikmat duniawi.
Para mufassir juga memahami kata ni’mat, seakar kata dengan na’im, dengan pengertian agama. Hal ini sebagaimana tertera dalam Q.S al-Baqarah ayat 211, Ali Imran ayat 103, dan al-Maidah ayat 3. Sedangkan al-Thabataba’i berpendapat, seperti dikutip Quraish, bahwa kata ini berarti bahwa orang-orang yang mendapatkannya berada dalam lingkungan pemeliharaan Allah Swt atau dikenal dengan istilah wilayat Allah. Wallahu A’lam.