Sambungan artikel KEDUA
Oleh: Ali Akbar bin Aqil
Kesembilan, orang yang menangisi kesalahan yang dilakukannya
Siapakah manusia yang bebas dari kesalahan? Tidak satu orang pun yang lepas dari jerat-jerat kesalahan dan kekhilafan. Disengaja atau tidak, manusia pasti pernah berbuat kesalahan. Manusia tempatnya salah dan lupa. Dua sifat ini selalu berada pada diri manusia. Tinggal bagaimana seseorang berhati-hati agar tidak jatuh dalam kesalahan dan segera bertaubat sembari menangisi kesalahan yang sudah ia lakukan.
Seorang ulama, Syaqiq Al-Balakhi pernah berkata, “Tanda taubat adalah menangisi perbuatan dosa di masa lalu, takut terjatuh ke dalam perbuatan dosa, meninggalkan teman-teman yang buruk, dan selalu membersamai orang-orang shalih.”
Menangisi kesalahan termasuk tanda kebahagiaan. Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda, “Berbahagialah orang yang menangisi kesalahannya.” (HR. Thabrani).
Kesepuluh, orang yang sibuk dengan sib sendiri
‘Aib adalah bentuk masdar dari kata kerja `Aaba, Ya`iibu, `Aib artinya cacat, cela, rusak, buruk, salah, dan lemah. Sayidina Umar bin Khattab RA pernah berdoa, “Semoga Allah merahmati orang yang menunjukkan aib-aibku kepadaku.” Ketika Salman mengunjunginya, beliau berkata, “Coba sebutkan perilakuku yang tidak kausukai.” Salman menolak dengan halus, namun beliau terus mendesak. Akhirnya Salman berkata, “Kudengar kaumakan dengan dua lauk, dan memiliki dua pakaian, satu kaukenakan di siang hari dan satu lagi kaukenakan di malam hari.”
“Selain itu, adakah hal lain yang tidak kausukai?,” Tanya sahabat Umar lebih lanjut. “Tidak.”
“Sesunguhnya dua perbuatan yang kausebutkan tadi telah kutinggalkan, ucap beliau.”
Di waktu lain, beliau juga pernah bertanya kepada Hudzaifah, Engkau adalah Shahibus Sirri (orang yang mengetahui berbagai rahasia) Rasulullah saw yang dapat mengenali orang munafik. Apakah kaumelihat tanda-tanda kemunafikan pada diriku?
Kisah Sayidina Umar menjadi pelajaran berharga tentang sikap seorang arif dan bijaksana dalam mengenali serta menyadari kekurangan pada diri sendiri. Sebuah sikap yang menggambarkan betapa beliau sibuk dengan kecacatan dan kelemahan diri, tanpa melihat kecacatan dan cela pada diri orang lain.
Sikap ini harus menjadi alur kehidupan kita sehari-hari. Jangan sampai kita menjadi seperti bunyi peribahasa, Kuman di seberang lautan, tampak. Sementara gajah di pelupuk mata tidak tampak.
Contoh nyata dari sikap sibuk dengan aib sendiri, antara lain, meninggalkan tayangan infotaiment yang mengumbar aib orang lain, terkait perselingkuhan, perceraian, pengkhianatan dan sebagainya.
Siapa yang sibuk dengan aibnya sendiri dan tidak melihat aib pada diri orang lain adalah sikap orang yang bahagia. “Berbahagialah orang yang disibukkan oleh aib sendiri daripada menyibukkan diri dengan aib orang lain,” sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassallam yang diriwayatkan oleh Dailami.
Kesebelas, orang yang rendah hati
Sikap rendah hati adalah lawan sikap takabbur (sombong). Sombong merupakan sikap tercela, sementara rendah hati adalah sikap terpuji. Rendah hati yang dalam bahasa arab disebut tawadhu` menjadi hiasan para salafus shalih. Mereka bersikap baik kepada siapa saja, baik kepada orang kaya atau miskin.
Sikap tawadhu` itu tercermin, salah satunya pada diri Sayidina Hasan putra Ali bin Abi Thalib. Suatu saat beliau menaiki kuda lalu melewati sekelompok orang miskin yang akan makan. Beliau diundang tiba-tiba. Diajak untuk makan bersama yang tentunya dengan sangat sederhana. Tanpa banyak pikir lagi, Sayidina Hasan langsung memenuhi undangan mereka tanpa memandang status sosialnya.
Usai makan, beliau mengundang orang-orang miskin datang ke rumahnya pada keesokan hari.
Keesokan harinya, beliau menjamu orang-orang miskin ini dengan jamuan yang sangat lezat sebagai bentuk penghormatan kepada mereka.
Setali tiga uang, Umar bin Abdul Aziz yang kala itu telah menjadi Amirul Mukminin pernah suatu malam didatangi seorang tamu. Saat itu beliau sedang menulis sesuatu. Lampu minyak yang beliau gunakan sebagai penerang nyaris meredup. Si tamu berkata, “Izinkan saya untuk memperbaikinya.”
Umar berkata, “Tidaklah termasuk dari kemuliaan seseorang jika ia membiarkan tamunya bekerja membantu.” “Kalau begitu, saya panggilkan pembantu saja.” Jawab Umar, “Jangan engkau bangunkan. Ia sedang tidur setelah lama tidak beristirahat.”
Kata tamu, “Berarti, engkau sendiri yang akan mengerjakannya, wahai Amirul Mukminin?” Umar mengatakan, “Ketika aku keluar rumah, aku adalah Umar. Ketika aku kembali ke rumah, aku juga tetap Umar seperti ini. Tidak ada sesuatu pun yang berkurang dari diriku. Sebaik-baik manusia adalah manusia yang bersikap rendah diri di hadapan Allah.”
Berbahagialah orang yang bersikap rendah hati. Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda,“Berbahagialah orang yang rendah hati bukan karena kekurangan..” (HR. Bukhari).
Itulah golongan orang-orang yang beruntung. Mereka terdiri dari berbagai kalangan sesuai amal perbuatannya. Bahagia atau tidak, beruntung atau tidak, tidak diukur dari harta, tahta, dan jabatan serta seabrek aksesoris materi yang nisbi. Orang-orang yang bahagia, pada intinya, orang-orang yang dekat kepada Allah Subhanahu Wata’ala.*
Penulis adalah wakil Ketua MIUMI Malang Raya