Abbad bin Bisyr Tetap Shalat walau Anak Panah Menghujani Tubuhnya

Oleh: Huda Aulia
Mahasiswa STEI SEBI Depok
hudaaulia48@gmail.com

DI keremangan malam, sepasukan sahabat Muhajirin dan Anshar berkumpul sekembali dari suatu misi suci dakwah dan jihad di suatu daerah. Mereka sedang melepas lelah, tetapi tak mengurangi semangat mereka dalam menanti titah sang Nabi.

“Malam ini,”pelan dan penuh kasih sayang sayang nabi berujar, “Aku ingin ada di antara kita yang berjaga malam agar tidak memberi kesempatan kepada orang jahat melaksanakan niatnya.’’

Sorot maata indahnya menyapu para sahabat yang keletihan pascaperjalanan panjang menguras tenaga. Berat memang perintah itu, menjaga mata agar tetap terbuka di saat kantuk dan penat menyerang.

Namun terngiang sabda ang pembawa berita dari langit, “Ada dua mata yang akan diaharamkan dari api neraka, yaitu mata yang menangis karena takut kepada allah swt, dan mata yang menahan kantuk ketika berjaga malam di jalan allah.”

Seolah berebut ingin dipilih dalam tugas mulia ini, semua membususngkan dada, meninggikan leher-leher mereka. Tak ada lagi keletihan itu dirasakannya. Senyum tersungging di bibir sang Nabi melihat para kekasih di jalan Allah menyambut tugas mahaberat ini.

Akhirnya terpilh satu orang dari kalangan Muhajirin dan satu orang dari kalangan Ansar untuk berjaga malam. Mereka ditempatkan di satu bukit yang memungkinkan bagi musuh untuk mengintai dan menyerah pada saat pasukan sedang lengah.

“Saudaraku,’’ Abbad bin Bisyr, sang Ansar, membuka pembicaraan, “biarlah aku dahulu yang berjaga sembari engkau beristirahat. Nanti setelah setengah malam berlalu, aku akan membangunkanmu untuk mengganntikanku. Sebab, apabila kita berdua berjaga sekarang, aku takut nanti kita berdua sama-sama kelelahan sehingga lengah dan musuh akan menyerang Rasulullah dan para sahabat yang lain. Apabila ada musuh datang hendaknya yang berjaga membangunkan kawannya yang sedang tidur.’’

Ammar bin Yasir, sang Muhajirin pun menyetujui usulan tersebut. Tak lama Abbad bin Bisyr segera mengambil wudhu dan memanfaatkan waktu berjaganya dengan melaksanakan shalat sunah. Maka di bawah temaramnya sinar rembulan, lirih mengalun ayat demi ayat ayat surah al-Kahfi dan lisan sang penjaga malam. Adapun Ammar terlelap dalam istirahat dan ketenangan yang dalam.

Abbad menikmati pertemuannya dengan Sang Khaliq dalam shalat yang panjang, seolah hanya ia seorang yang berada di hamparan bumi yang luas ini. Sementara itu, tak jauh dari tempat mereka berdua, seorang musuh mengintai dan menanti saat yang tepat untuk menyelinap dan menyerang rombongan yang sedang terlelap tidur. Satu demi satu bilah-bilah anak panah dipersiapkan. Dengan perlahan nyaris satu suara bidikannya Abbad yang sedang berdiri menghadap Allah.

Maka tatkala anak panah pertama menembus badan, seolah tak dirasakannya lesakan senjata yang menancap. Percikan darah membasahi baju Abbad. Adapun Abbad masih khusyuk dengan kesyahduan ayat-ayat Qur’an. Dicabutnya anak panah tersebut dan seolah tak terjadi apapun shalat tetap diteruskan,

Anak panah kedua pun melesat dan menancap pada sesosok tubuh yang mulia limbung dengan darah yang keluar dari luka akibat anak panah pertama. Begitu anak panah ketiga juga melesak, maka ia memutuskan menyegerakan sholat. Setelah mencabut anak panah, Abbad segera membangunkan Ammar.

“Astaghfirullah!” seru Ammar saat melihat Abbad sudah bersimbah darah yang mengalir dari tiga lubang anak panah di tubuhnya. “Mengapa engkau tidak membangunkanku dari tadi?”

“Tidak apa-apa, saudaraku,” tersenyum Abbad menanggapi.” Sebenarnya tadi aku sedang membaca surah al-Kahfi dalam shalat. Ketika anak panah pertama dan kedua menancap di tubuhku. Aku berniat akan meneruskan bacaanku sampai selesai walaupun nyawaku terlepas karenanya. Namun, ketika anak panah ketiga menyusul, terlintas dalam pikiranku bagaimana dengan keselamatan Rasulullah dan saudara-saudaraku, oleh karena itu aku menyelesaikan shalatku sebelum menamatkan bacaan surah al-Kahfi ku.”

Karena melihat ada orang lain yang terjaga, maka musuh pun memutuskan untuk menginggalkan tempat tersebut.

Itulah salah satu gambaran kecintaan para sahabat Rasulullah pada shalat di samping kesetiaan mereka pada sang Pembawa Risalah. Seandainya bukan karena keselamatan Rasulullah dan para sahabatnya, Abbad tak ragu untuk meneruskan shalatnya sampai menyelesaikan bacaannya walaupun nyawa yang menjadi taruhannya, kecintaan para sahabat pada shalat ini tidak terlepas dari suri tauladan yang diberikan Rasulullah kepada mereka. []

ISLAMPOS