Nasihat Abu Darda’: Bencilah Perbuatan Dosa, Jangan Benci Pelakunya

Uwaimir bin Amir bin Malik bin Zaid bin Qaish Al Anshari atau yang lebih dikenal dengan pangilan Abu Darda’ ra adalah salah seorang sahabat Rasululah yang bijak dan cerdik.

Sebagaimana ungkapan dari Abu Nu’aim Al-Ashfahani: “Abu Darda’ adalah seorang sahabat Rasulullah yang bijak dan cerdik, nasehatnya berlimpah, hikmah dan ilmunya menjadi obat bagi orang-orang yang terjangkiti berbagai penyakit. Apabila ia berbicara, maka ia berani, dia orang yang menolak kebanggaan dunia, dan dia orang yang mengumpulkan tingkatan-tingkatan akhirat.”

Sesuai dengan apa yang dikatan oleh Abu Nua’aim Al Ashfahani diatas, bahwasannya Abu Darda’ adalah seorang yang bijak dalam berbicara terlihat ketika Abu Darda’ suatu kali menasehati sekelompok orang  yang mencaci orang lain lantaran orang  lain tersebut telah melakukan suatu dosa.

Dikisahkan dalam kitab Hilyatu al-Awliyaa’ karangan Abu Nu’aim Al Ashfahani, diceritakan bahwa suatu hari Abu Darda’ melewati seseorang yang telah berbuat suatu dosa, lalu orang-orang mencacinya. Melihat kenyataan seperti itu, Abu Darda’ bertanya “Menurut kalian, seandainya kalian mendapatinya berada dalam sumur, tidakkah kalian mengeluarkannya?” Mereka menjawab “Ya”.

Kemudian Abu Darda’ berkata “Kalau begitu janganlah kalian mencaci saudaramu, dan pujilah Allah yang telah menjagamu dari berbuat maksiat”. Mereka bertanya “Apakah engkau tidak membencinya?” Abu Darda menjawab “Aku hanya membenci perbuatannya. Apabila ia telah meninggalkan perbuatan tersebut, maka ia adalah saudaraku”. Kemudian abu Darda’ berkata “Berdoalah kepada Allah dimasa senangmu, semoga Allah memperkenankan doamu dimasa susah mu.”

Dari nasehat Abu Darda’ tersebut dapat kita ambil pelajaran yang sangat berharga bahwasannya kita dilarang membenci atau mencaci seseorang lantaran orang itu telah melakukan suatu perbuatan dosa. Tetapi bencilah perbuatan dosanya itu sendiri karena sejatinya kita bukanlah orang yang Ma’shum “terpelihara dari dosa” seperti para nabi-nabinya Allah. Maka bisa jadi kita sendiri yang melakukan perbuatan dosa tersebut.

Maka langkah yang tepat dan yang lebih baik kita lakukan adalah dengan memuji Allah Subhanahu wa Ta’ala karena telah menjaga kita dari perbuatan dosa yang telah dilakukan orang lain tersebut, malah bukan mencaci pelakunya. Wallahu Ta’ala A’lam…

BINCANG SYARIAH

Abu Darda Menyesal Terlambat Menjadi Muslim

Setelah menjadi Muslim, gaya hidup Abu Darda berubah total

Namanya Uwaimir bin Malik al-Khazraji, lebih dikenal dengan panggilan Abu Darda. Sebelum Islam, Abu Darda berteman akrab dengan Abdullah bin Rawahah. Setelah Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah, dua orang teman akrab tersebut berbeda jalan.

Abdullah bin Rawahah segera menjadi Muslim sementara Abu Darda tetap dengan kemusyrikannya. Setiap hari dia menyembah berhala yang diletakkan di salah satu kamar rumahnya. Tiap hari pula berhala itu dibersihkan dan diberi wewangian.

Kesadarannya baru muncul tatkala pada suatu hari dia menemukan berhalanya itu hancur berkeping-keping karena dikapak oleh teman akrabnya sendiri, Abdullah bin Rawahah, secara diam-diam. Semula dia sangat marah, tetapi di ujung marahnya, kesadarannya muncul.

“Seandainya berhala itu benar Tuhan, tentu dia sanggup membela dirinya sendiri.” Ditemani Abdullah bin Rawahah, Abu Darda segera menemui Nabi dan masuk Islam. Tetapi, dia sangat menyesal terlambat menjadi Muslim.

Temannya tidak hanya lebih dahulu masuk Islam, tapi juga sudah ikut berjuang dalam Perang Badar. Untuk mengejar ketertinggalannya itu, Abu Darda mengurangi aktivitas dagangnya agar lebih banyak waktu menghafal Alquran dan beribadah sepuasnya.

Gaya hidup Abu Darda berubah total, sekarang dia memilih hidup zuhud. Tatkala suatu kali tamu-tamunya bertanya ke mana perginya kekayaannya selama ini, Abu Darda menjawab, “Kami mempunyai rumah di kampung sana. Setiap kali memperoleh harta, langsung kami kirim ke sana. Jalan ke rumah kami yang baru itu sulit dan mendaki sehingga kami sengaja meringankan beban kami supaya mudah dibawa.”

Pada masa Khalifah Umar bin Khatab, Abu Darda pernah ditawari jabatan yang tinggi di Syam, tapi dia tanpa ragu menolaknya. Tatkala Umar marah, Abu Darda menyatakan bersedia bertugas ke Syam bukan sebagai pejabat tinggi, melainkan jadi guru yang mengajarkan Alquran, sunah, serta membimbing umat. Umar setuju.

Maka, berangkatlah Abu Darda ke Damaskus. Dia tidak hanya mengajar di masjid, tapi juga berkeliling ke tengah-tengah masyarakat, masuk ke pasar-pasar. Jika ada yang bertanya, dijawabnya segera, jika bertemu dengan orang bodoh, diajarinya, jika melihat orang lalai, diingatkannya.

Abu Darda tidak mau kehilangan waktu sedikit pun dalam membimbing umat ke jalan Allah. Pada suatu hari, Abu Darda menyaksikan ada seorang laki-laki dipukuli orang banyak. Lalu, dia bertanya, “Apa yang terjadi?”

Dijelaskan bahwa laki-laki itu pendosa besar maka dipukuli. Dengan bijak, Abu Darda  bertanya, “Jika kalian melihat orang yang jatuh ke dalam sumur, apa yang akan kalian lakukan? Tidakkah kalian keluarkan dia dari sumur itu?”

Jawab mereka, “Tentu.” “Oleh sebab itu, janganlah kalian memukulinya, tapi berilah dia nasihat dan sadarkan dia.” Mereka bertanya, “Apakah engkau tidak membencinya?” Abu Darda menjawab, “Saya membenci perbuatannya. Apabila dia telah menghentikan perbuatan dosanya maka dia adalah saudara saya.”

Tatkala seorang pemuda meminta nasihat kepadanya, Abu Darda mengatakan, “Wahai, anakku! Ingatlah kepada Allah pada waktu kamu bahagia maka Allah akan mengingatmu waktu kamu sengsara.”

“Hai, anakku,” lanjutnya, “Jadilah engkau orang yang berilmu atau penuntut ilmu atau pendengar, jangan jadi yang keempat karena yang keempat pasti celaka.”

Sampai akhir hayatnya, Abu Darda—radhiyallahu ‘anhu—tetap menjalankan tugas yang mulia menjadi guru di Damaskus.

KHAZANAH REPUBLIKA