Ada Apa dengan Sya’ban (3): Dalil Keutamaan Puasa Sunnah Sya’ban

Ada sebagian kalangan muslim yang meragukan keabsahan dalil puasa sunnah Sya’ban. Untuk memupus keraguan tersebut, Sayyid Muhammad Alawi al Maliki menulis beberapa hadis shahih sebagai hujjah amaliah puasa di bulan Sya’ban dalam kitabnya Madza fi Sya’ban.

Nabi pernah ditanya: “Puasa apa yang paling utama setelah puasa Ramadhan”? Beliau menjawab: “Puasa sunnah di bulan Sya’ban untuk mengagungkan bulan Ramadhan”. Satu riwayat menceritakan, seseorang bertanya kepada Nabi tentang shodaqoh yang paling utama. Kata Nabi, “Shodaqoh di bulan Ramadhan”. (HR. Turmudzi, status hadis gharib).

Sayyidah Aisyah berkata: “Rasulullah sering berpuasa sehingga kami katakan: Beliau tidak berbuka. Beliau juga sering tidak berpuasa sehingga kami katakan: Beliau tidak berpuasa. Aku tidak pernah melihat beliau menyempurnakan puasa sebulan penuh kecuali Ramadhan, dan aku tidak pernah melihat beliau berpuasa dalam sebulan (selain Ramadhan) lebih banyak dari puasa beliau di bulan Sya’ban”. (Muttafaq ‘alaih. Redaksi hadis dari Imam Muslim). Selain Imam Bukhari dan Muslim, hadis ini juga diriwayatkan oleh Imam Abu Daud.

Dalam riwayat yang lain, Sayyidah Aisyah juga berkata, “Aku tidak melihat Rasulullah (berpuasa) pada setiap bulan lebih banyak dari puasa beliau di bulan Sya’ban. Beliau berpuasa Sya’ban kecuali sedikit saja, bahkan beliau puasa Sya’ban seluruhnya”. (HR. Nasa’i, Turmudzi, dan lain-lain).

Sayyidah Aisyah juga berkata, “Dari beberapa bulan Rasulullah sangat senang berpuasa di bulan Sya’ban, kemudian beliau sambung dengan Ramadhan”. (HR. Imam Abu Daud).

Dalam riwayat Imam Nasa’i, Sayyidah Aisyah berkata: “Pada setiap bulan Rasulullah tidak berpuasa lebih banyak dari puasa beliau di bulan Sya’ban, beliau berpuasa sebulan penuh atau sebagian besarnya”.

Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim, Sayyidah Aisyah berkata, “Belum pernah Rasulullah berpuasa satu bulan lebih banyak dari puasa beliau di bulan Sya’ban. Terkadang beliau berpuasa di bulan Sya’ban sebulan penuh”.

Hadits-hadits tersebut sebagai dalil dianjurkannya puasa sunnah di bulan Sya’ban. Dengan demikian, tidak elok selalu memperdebatkan soal legalitas dan kualitas dalilnya. Karena yang lebih penting adalah pengamalannya. Bagi mereka yang meragukan dalil-dalil dianjurkannya puasa di bulan Sya’ban, sebaiknya membaca ulang secara keseluruhan. Kalau masih ragu, cukup keraguan itu disimpan dalam benaknya, tanpa harus menyalahkan umat Islam yang meyakini keabsahan dalil puasa sunnah di bulan Sya’ban.

ISLAM KAFFAH

Ada Apa dengan Sya’ban (2): Peristiwa Bersejarah di Bulan Sya’ban

Apa yang ada di benak kita ketika mengingat suatu peristiwa bersejarah? Semua peristiwa atau kejadian dimasa lampau pasti mengandung hikmah atau pelajaran yang bisa diambil. Apalagi kalau peristiwa tersebut berhubungan dengan sesosok manusia teragung yang menjadi teladan umat Islam. Ingatan akan kejadian atau peristiwa itu memberi kesan seolah-olah terjadi baru saja. Minimal, kita mengingat Baginda Nabi.

Itulah kenapa peristiwa bersejarah yang berhubungan dengan umat Islam selalu dicatat dan disampaikan berulang-ulang oleh para ulama. Kita, mestinya seperti itu juga, tidak bosan membaca atau menyampaikan peristiwa bersejarah tersebut untuk membuka ruang kesadaran akan pentingnya mengetahui dan mengambil hikmah dibalik peristiwa bersejarah. Salah satunya adalah peristiwa bersejarah yang terjadi di bulan Sya’ban.

Peristiwa Bersejarah yang Terjadi di Bulan Sya’ban

Ada beberapa peristiwa-peristiwa bersejarah yang terjadi di bulan yang penting untuk selalu diingat, diperhatikan, dilestarikan dan diperingati. Demikian Sayyid Muhammad Alawi al Maliki menjelaskan dalam kitabnya “Madza fi Sya’ban”.

Diantara peristiwa bersejarah yang terjadi di bulan Sya’ban adalah peralihan kiblat dari Baitul Maqdis ke Baitullah, Ka’bah. Perpindahan arah kiblat ini memang sangat dinantikan dan diharapkan oleh Nabi. Begitu besarnya harapan itu, tiap hari beliau sering berdiri menatap langit berharap ada wahyu yang diturunkan kepadanya terkait keinginannya tersebut.

Allah merespon harapan kekasih-Nya:

“Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi al kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan”. (Al Baqarah: 144).

Ayat ini sebagai pembuktian terhadap janji Allah kepada Rasulullah: “Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas”. (Al Dhuha: 5).

Respon Allah terhadap keinginan Nabi tersebut juga pernah dikatakan oleh Sayyidah Aisyah. Sebelumnya ia berkata kepada Nabi, “Saya tidak melihat Tuhanmu, kecuali mengabulkan keinginanmu”. (HR. Bukhari).

Abu Hatim al Busti mengutip perkataan Imam Qurthubi dalam kitabnya  al Jami’ li Ahkam al Qur’an mengatakan, “Ketika di Madinah umat Islam shalat menghadap Baitul Maqdis selama 17 bulan 3 hari. Hal ini karena Nabi datang ke Madinah pada hari Senin tanggal 12 Rabi’ul Awal. Kemudian, pada hari Selasa pertengahan bulan Sya’ban tahun ke 2 Hijriah, Nabi shalat menghadap Ka’bah setelah mendapat wahyu”.

Catatan Amal Dilaporkan kepada Allah

Di antara keistimewaan bulan Sya’ban yang lain adalah pada bulan ini seluruh catatan amal manusia; catatan amal baik dan jelek, dilaporkan kepada Allah. Disebut “pelaporan amal akbar”. Semua catatan amal manusia selama setahun diserahkan oleh Malaikat kepada Allah.

Hal ini berdasarkan hadis riwayat Usamah bin Zaid, ia bertanya kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah, saya tidak melihatmu berpuasa di bulan-bulan lain seperti di bulan Sya’ban”. Nabi menjawab: “Banyak orang yang lupa dengan bulan Sya’ban; bulan diantara Rajab dan Ramadhan. Padahal, pada bulan Sya’ban seluruh catatan amal dilaporkan kepada Allah, dan saya sangat senang ketika amalku dilaporkan saya sedang berpuasa”. (HR. Nasa’i). Menurut Sayyid Muhammad Alawi al Maliki hadis ini juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya.

Disebut pelaporan amal paripurna, karena pada bulan Sya’ban yang dilaporkan adalah seluruh catatan amal. Sedangkan diselain bulan Sya’ban pelaporan catatan amal juga dilakukan, namun tidak semuanya. Hal ini berdasarkan informasi dari hadits-hadits Nabi. Ada yang dilaporkan tiap hari, tiap malam dan seterusnya. Namun perlu diingat, semua catatan itu tidak ada perbedaan. Kenapa tidak dilaporkan sekali saja di bulan Sya’ban? Semua ada hikmah disebaliknya.

Dari Abu Musa, Nabi berpesan kepada kami lima hal: “Allah tidak tidur dan tidak butuh tidur, menurunkan neraca timbangan dan menaikkannya, amal di malam hari dilaporkan sebelum amal siang hari, amal siang hari dilaporkan sebelum amal malam hari. Proses tersebut dihalangi oleh cahaya (tidak bisa dilihat), sebab, andaikan hijab itu disingkap oleh Allah, cahaya itu akan membakar semua makhluk yang melihatnya”.

Imam Munawi menjelaskan, maksud hadis ini adalah amal siang hari dilaporkan kepada Allah pada awal malam, dan amal di malam hari dilaporkan pada awal siang. Demikian pula, ada amal yang dilaporkan seminggu sekali.

Kemudian, secara keseluruhan amal-amal manusia dilaporkan kepada Allah pada bulan Sya’ban. Inilah salah satu sebab kenapa bulan Sya’ban disebut bulan istimewa.

ISLAM KAFFAH

Ada Apa dengan Sya’ban (1) : Kenapa Harus Diistimewakan?

“Madza fi Sya’ban” adalah kitab kecil yang mengulas bulan Sya’ban, ditulis oleh Sayyid Muhammad bin Alawi bin Abbas al Maliki al Makki al Hasani. Tipikal ulama alim ‘allamah (sangat alim) serta kreatif menulis. Satu ciri khasnya, karya-karya yang ditulis berupa pembahasan yang terfokus pada satu bahasan sehingga penjelasannya menjadi syamil dan kamil. Misalnya kitab al Anwar al Bahiyyah min Isra’ Mi’raj Khairil Bariyyah yang mengupas tuntas Isra’ Mi’raj.

Begitu juga kitab Madza fi Sya’ban (ada apa di bulan Sya’ban) ditulis secara khusus untuk menjelaskan bulan Sya’ban; peristiwa yang terjadi di bulan ini, keutamaan, dan lain-lain. Kitab setebal 152 halaman ini sangat penting dibaca untuk memahami beberapa hal penting yang berhubungan dengan bulan Sya’ban.

Tulisan ini akan menguraikan beberapa pembahasan penting dalam kitab tersebut.

Kenapa dan ada apa dengan bulan Sya’ban? Apa yang membuat bulan Sya’ban menjadi istimewa dan pantas dirayakan?

Bulan Sya’ban adalah bulan mulia, agung dan penuh berkah. Ini telah masyhur dijelaskan teks Islam dan penjelasan ulama. Bulan yang menyimpan kebaikan berlimpah. Bertaubat di bulan ini merupakan keuntungan yang besar, sebab besar harapan taubatnya akan diterima. Pahala amal kebajikan dilipatgandakan. Sya’ban menjadi arena pacuan amal-amal kebaikan. Orang yang bertaubat mendapat jaminan keamanan.

Karenanya, orang yang membiasakan dan memperbanyak amal kebaikan akan menjadi orang yang beruntung di bulan Ramadhan. Dengan kata lain, bulan Sya’ban adalah media latihan beribadah untuk menyambut bulan suci Ramadhan.

Asal Usul Penamaan Sya’ban

Diberi nama Sya’ban karena di bulan ini menyimpan berjuta kebaikan. Satu pendapat mengatakan Sya’ban berasal dari dua kata Sya’a (menyebar) dan Bana (jelas), artinya kebaikan menyebar secara nyata. Pendapat lain mengatakan berasal dari akar kata Syi’bi yang berarti jalan di gunung. Sya’ban bermakna jalan kebaikan. Ada juga yang berpendapat berasal dari akar kata “Sya’bu” bermakna menambal. Berarti, Allah akan menambal keretakan hati atau mengobati penyakitnya.

Membangun Kesadaran Sejarah Umat Islam

Kenapa umat Islam sangat bergairah dan antusias menyambut dan memperingati bulan Sya’ban, bersungguh-sungguh menghadap kepada Allah dengan cara bertaubat, beribadah dan dan melakukan ketaatan, mengerjakan amal-amal shaleh dengan segala variannya, menghidupkan hati dengan dzikir, ziarah ke makam Rasulullah, shalat berjamaah di Baitullah, thawaf dan umrah?

Para ulama membuat satu kaidah baku, “Masa (tanggal, hari, bulan dan tahun) menjadi mulia karena ada peristiwa bersejarah yang bernilai agung terjadi di waktu itu”. Semakin mulia, semakin agung dan semakin fenomenal peristiwa bersejarah yang terjadi, semakin tinggi nilai keutamaan bulan tersebut.

Dengan demikian, substansi dari setiap perayaan dan penyambutan yang luar biasa terhadap bulan Sya’ban adalah dalam upaya membuka ruang kesadaran sejarah umat Islam. Supaya umat Islam sadar bahwa di bulan Sya’ban terjadi peristiwa-peristiwa bersejarah yang mampu menggugah kesadaran keberagamaan umat Islam, semakin mengokohkan keimanan dan menjadi pemicu untuk lebih semangat dalam beribadah dan tertanamnya nilai-nilai universal ajaran Islam dalam diri setiap individu.

Di berbagai tempat di dunia, upaya membuka ruang kesadaran sejarah umat Islam dilakukan dengan ragam cara dan tradisi. Ada banyak cara memperingati datangnya bulan Sya’ban, namun inti tujuannya adalah sama, yakni untuk memberitahu umat Islam bahwa di bulan Sya’ban telah terjadi peristiwa-peristiwa bersejarah yang lekat dengan ajaran Islam.

Membangunkan kesadaran sejarah umat Islam sangat penting supaya mereka mengetahui sejarah yang terjadi dengan sebenarnya, karena hal ini akan menghantarkan pada satu keyakinan yang benar, jalan yang benar, dan bisa berfikir secara sehat.

Hukum Tradisi Menyambut Bulan Sya’ban

Maka, setiap perayaan hari besar keagamaan; Isra’ Mi’raj, maulid Nabi, tahun baru hijriah dan termasuk bulan Sya’ban adalah upaya untuk memberikan pelajaran sejarah kepada umat Islam, bukan memuliakan, mengkultuskan apalagi menuhankan bulan-bulan tersebut. Karenanya, menjadi heran apabila ada kalangan umat Islam sendiri yang “berotak batu”  berusaha melupakan atau menghapus peristiwa-peristiwa bersejarah tersebut dengan alasan memperingati hari-hari besar keislaman adalah bid’ah karena tidak pernah dilakukan oleh Nabi.

Padahal, upaya memusnahkan kesadaran akan pentingnya sejarah itu yang jelas-jelas bid’ah karena akibatnya adalah menutup rapat kesadaran sejarah umat Islam.

Tradisi menghormati dan mengagungkan bulan Sya’ban, juga bulan-bulanan yang lain, semata supaya peristiwa bersejarah yang terjadi di bulan-bulan tersebut tetap abadi dalam kesadaran umat Islam. Sebab, kesadaran akan sejarah mampu menggugah semangat beragama dan meningkatnya gairah ketakwaan.

Lalu, bagaima mungkin tradisi-tradisi memperingati momen-momen keagamaan tersebut dihukumi bid’ah?

ISLAM KAFFAH