Terpikat Tauhid, Mualaf Aldilo: Islam Agama Masuk Akal

Mualaf Aldilo mendalami kalimat tauhid yang kerap dilantunkan dalam adzan

Hidayah merupakan karunia Allah SWT untuk siapa pun yang dikehendaki-Nya. Cahaya petunjuk Ilahi pun bisa datang melalui siapa saja, termasuk orang-orang terdekat. Itulah yang dialami Aldilo Wongso Jureh, beberapa waktu sebelum dirinya memeluk Islam. 

Lelaki asal Semarang, Jawa Tengah, ini sejak kecil dididik dalam ajaran Kristiani. Begitu pula dengan keempat saudaranya. Di antara mereka, Dilo begitu dirinya akrab disapabisa disebut sebagai yang paling dekat dengan ibunda. 

Menurutnya, sang ibu selalu mengajarkannya untuk menjadi pribadi yang taat beragama. Ia pun diarahkan untuk rutin beribadah. Tidak ada hari terlewatkan tanpa ditutup dengan doa, memohon kebaikan. 

Pria kelahiran 1998 melewati masa kecil hingga remaja sebagai anak yang baik-baik. Ia pun aktif di gereja dan memiliki banyak kawan. Baru lah, saat berusia 17 tahun, dirinya mulai mendapatkan perspektif berbeda tentang umat agama lain. Pada 2015, seorang saudaranya, Delfano Charies, membuka usaha biro perjalanan umroh dan haji. 

Fano, begitu sang kakak disapa, waktu itu masih sebagai non-Muslim. Pilihannya untuk menjalankan usaha travel tersebut murni atas dasar bisnis. Ya, cukup banyak profit dihasilkan dari biro perjalanan tersebut yang sesungguhnya bernilai ibadah dalam konteks Islam.  

Empat tahun kemudian, abangnya itu mengambil keputusan besar. Fano menyatakan diri telah memeluk Islam dan meninggalkan agama lamanya. Saat ditanya, kakak Dilo tersebut merasa tersentuh dengan kesungguhan hati jamaah haji dan umroh yang disaksikannya selama ini. 

Bahkan, bukan hanya Fano. Berturut-turut, satu per satu saudaranya yang lain ikut menjadi Muslim. Melihat keadaan itu, Dilo mulai tertarik untuk mengenal agama ini lebih dekat.

“Saya memeluk Islam tidak dipaksa mas-mas saya, walaupun mereka lebih dulu menjadi mualaf, katanya mengenang, seperti dilansir dari akun Youtube @delfanocharies,” baru-baru ini. 

Ia memang tidak mau sekadar ikut-ikutan kedua kakak laki-lakinya yang memeluk Islam. Menurutnya, agama adalah hal yang esensial dalam hidup. Tidak bisa dan tidak mungkin memilih beriman atas dasar bujukan, apalagi paksaan siapa pun. Sebab, setiap individu berhak untuk menentukan jalan hidupnya masing-masing. 

Sebelumnya, Dilo telah mendengar berbagai rumor tentang Islam. Bahkan, Fano sendiri yang pernah mengutarakan berbagai stigma mengenai agama ini kepadanya. Akan tetapi, kini sang kakak sudah menyatakan diri masuk Islam. 

Ia pun terheran-heran, mengapa ada orang yang dahulunya sangat memusuhi Islam, sekarang justru memeluk agama ini. Masih teringat jelas di memorinya, Fano sering kali mencaci-maki suara adzan. Kumandang panggilan sholat itu memang rutin berkumandang dari masjid di dekat rumahnya, setidaknya lima kali dalam sehari.

Dilo pun mengobrol dengan kakaknya itu. Fano pun menuturkan bagaimana hatinya tersentuh dengan kesungguhan jamaah haji dan umroh saat hendak berangkat dan pulang dari Tanah Suci. Sang kakak pun mengungkapkan, kebenciannya terhadap adzan justru membuatnya bertanya-tanya tentang apa maksud dan tujuan suara tersebut. Setelah mempelajari isinya, Fano pun mulai mengenal konsep tauhid seperti tergambar dalam kalimat Laa ilaaha illa Allah.

Setelah diskusi itu, Dilo mulai mempertanyakan keyakinannya sendiri. Enam bulan sesudahnya, ia pun berhenti ke tempat ibadah. Bagaimanapun, kebiasaan berdoa tetap dilakukannya. Pada titik ini dirinya merasa perlu untuk menelaah ajaran agama yang dipeluknya saat itu dan Islam. 

Apa saja yang membedakan keduanya dan manakah yang paling diterima akal, pikiran, dan nuraninya. Dilo menangkap kesan, tidak mungkin Fano menerima Islam kalau agama ini bertentangan dengan logika. Sebab, kakaknya itu adalah seorang yang kritis dalam menilai sesuatu.

Dilo kemudian mulai mengkaji konsep tauhid dalam Islam. Ia menemukan, makna kalimat, Tidak ada Tuhan selain Allah, begitu logis. Konsep kenabian menurut agama ini juga dipelajarinya dari buku-buku dan video-video kajian di internet.

Pemuda ini pun memahami, ajaran Islam ternyata masuk akal. Bahkan, seperti ditunjukkan dalam banyak ayat dalam Alquran yang dibacanya melalui terjemahan, Tuhan pun berulang kali menyeru manusia agar menggunakan akal pikiran dalam menimbang-nimbang sesuatu.

Dilo merasa puas karena menemukan jawaban-jawaban yang logis tentang Islam. Kalau masih ada beberapa hal yang perlu di telusurinya, ia tidak hanya mencari solusinya seorang diri.  

Ia pun sering berdiskusi dengan kawan-kawannya yang Muslim. Setelah terpuaskan dengan jawaban yang didapatkan, Dilo mulai mempelajari kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan seorang penganut Islam.

Salah satunya adalah puasa. Pada Ramadhan 2020, ia bahkan mulai belajar berpuasa. Ini dilakukannya sembari menemani sang kakak yang juga baru pertama kali menjalani puasa Ramadhan.

Dilo mengatakan, waktu itu dirinya batal tiga kali. Dalam hari-hari itu, ia merasa tidak kuat menahan haus karena harus bekerja di kantor. Lagi pula, cuaca kota saat itu cukup terik dan panas.

“Ada cerita lucu sebenarnya, tapi juga tidak boleh ditiru. Waktu itu, aku bosan sahur dengan mi (instan) dan telur saja. Aku pun cari bahan makanan di kulkas, ternyata ada daging yang lalu aku makan,” katanya bercerita.

“Nah, setelah itu Mama tahu dan langsung marah-marah. Barulah aku tahu, itu sebenarnya daging babi. Tapi, tetapku lanjut puasanya karena saat itu belum bersyahadat. Pikirku, tidak masalah,” sambungnya. 

Sebelum Dilo bersyahadat, mamanya sebenarnya sudah menduga ia akan mengikuti jejak kedua kakaknya. Hanya saja, itu tidak dibahas terbuka. Dilo mengatakan, sang ibu sepertinya mengetahui ketertarikannya pada Islam dari kakak perempuannya. Akhirnya, pada suatu hari ibunya mengajak bicara dan memberikan nasihat. 

“Kalau kamu mau sholat, sholat yang benar. Kalau puasa, puasa yang benar. Yang penting, jadi orang baik,” kata Dilo menirukan perkataan ibundanya saat itu. Perkataan Mama diartikannya sebagai sinyal baik. Artinya, sang ibu membiarkannya untuk terus mempelajari Islam atau bahkan mengimani agama ini. 

Setelah itu, Dilo kembali mengutarakan keyakinannya untuk memeluk Islam. Namun kakaknya, Delfano, lebih dahulu menyarankannya untuk belajar sholat. Awalnya, Dilo ragu. Dari kelima shalat, Subuh menjadi yang paling merepotkan. Bangun pada waktu sebelum fajar bukanlah kebiasaanya sejak kecil. 

Bagaimanapun, ia akhirnya lulus dari ujian ini. Usai melaksanakan sholat Subuh pertamanya, ada perasaan haru dalam hatinya. Seluruh beban yang selama ini dirasakannya seperti terangkat. 

Delfano kemudian mengajak Dilo untuk bersyahadat pada hari itu juga. Namun, ia masih dilanda keraguan, apakah sanggup menjadi seorang Muslim.      

Kedua kakaknya kemudian meyakinkannya. Jika sudah ada niat untuk bersyahadat maka segerakanlah. Sebab, tidak ada yang tahu batas umur seseorang. Khawatirnya, ia tidak bersyahadat saat itu juga. 

Apalagi, meninggal dalam keadaan masih kafir. Tepat pada malam Idul Fitri 2020 M, Dilo bersama kedua kakaknya mendatangi markas komunitas Cah Hijrah di Semarang. Disaksikan seorang ustadz dan kakak-kakaknya, Dilo pun mengucapkan dua kalimat persaksian. Asyhaduan Laa Ilaaha illa Allah, wa asyhadu anna Muhammad Rasululllah. 

Setelah mendapatkan beberapa bimbingan dan pertanyaan, Dilo pulang dan mendapatkan bingkisan seperangkat alat sholat serta buku Iqra untuk belajar mengaji. Usai bersyahadat, Dilo dinasihati untuk selalu menjalankan sholat lima waktu dan tidak boleh menunda atau sengaja tidak melaksanakannya.

Dilo harus ingat dengan syahadat yang telah dilakukannya di hari itu. Ikrar yang diucapkannya adalah janji untuk terus berupaya menaati perintah-Nya. Benar saja, bagi Dilo, azan adalah waktu yang selalu dinanti-nanti karena ia bisa melaksanakan sholat fardhu. Tak hanya sholat fardhu, Ramadhan juga adalah waktu yang sangat dirindukannya, sebuah momen istimewa untuk terus menguatkan imannya. 

“Ramadhan tahun ini adalah puasa pertama aku setelah bersyahadat selain itu, Ramadhan tahun ini juga pertama kali aku bisa sholat Tarawih di masjid,” ujarnya. Jika di Ramadhan sebelumnya dia masih pada taraf belajar dan lagi belum berstatus Muslim. Tahun ini, keadaannya berbeda. Sebagai seorang Muslim, dirinya merasa termotivasi untuk bisa tuntas berpuasa satu bulan penuh. 

Sholat Tarawih juga menjadi shalat pertama bagi dia. Dalam pandangannya, Ramadhan menjadi bulan yang sangat berharga. Ramadhan adalah bulan untuk belajar di 11 bulan ke depan. “Biasanya, kita bisa berpuasa Ramadhan selama satu bulan, tentu selama 11 bulan ke depan puasa sunah yang dua hari sepekan atau puasa Nabi Daud yang berseling akan terasa lebih mudah,” ucapnya. 

KHAZANAH REPUBLIKA