Tafsir Ringkas Surah Al-Fatihah (Bag. 3)

Bismillah walhamdulillah washshalatu wassalamu ‘ala Rasulillah. Amma ba’du,Daftar Isisembunyikan 1. Tafisr surah Al-Fatihah ayat keenam 1.1. Faedah ayat keenam 1.2. Kesimpulan tafsir ayat keenam 2. Tafsir surah Al-Fatihah ayat ketujuh 2.1. Kesimpulan tafsir ayat ketujuh

Tafisr surah Al-Fatihah ayat keenam

ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَ ٰ⁠طَ ٱلۡمُسۡتَقِیمَ

“Tunjukilah kami jalan yang lurus.”

Maksud (ٱهۡدِنَا)

adalah memohon seluruh macam petunjuk (hidayah) Allah.

Karena firman Allah Ta’ala

(ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَ ٰ⁠طَ ٱلۡمُسۡتَقِیمَ) ini mengandung makna yang menyeluruh, yaitu:

Pertama, teguhkanlah kami di atas agama Islam.

Kedua, tunjukilah kami perincian agama Islam, baik ilmu syar’i maupun pengamalannya.[1]

Oleh karena inilah, Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma menafsirkan bahwa maksud ayat ini adalah berilah kami petunjuk, taufik, dan ilham.[2]

Sedangkan macam-macam hidayah Allah dalam ayat keenam ini, yaitu:

Ditinjau dari sisi ilmu dan amal, maka hidayah Allah Ta’ala dalam ayat yang agung ini terbagi dua, yaitu:[3]

Pertama, hidayatul irsyad berupa ilmu syar’i.

Kedua, hidayatut taufiq berupa amal saleh.

Ditinjau dari sisi Islam dan perinciannya, maka hidayah Allah Ta’ala dalam ayat yang agung ini terbagi dua, yaitu:

Pertama, hidayah agar istikamah tetap di atas agama Islam dan meninggalkan agama selainnya dan perkara yang membatalkan keislaman, berupa kesyirikan dan kekafiran. Oleh karena inilah, Ali radhiyallahu ‘anhu menafsirkan (ٱهۡدِنَا) dengan “Teguhkanlah kami”.[4]

Kedua, hidayah berupa tambahan petunjuk dalam bentuk perincian ajaran Islam, baik ilmu syar’i maupun pengamalannya, baik dalam hal akidah dan tauhid, muamalah, ibadah, akhlak, dan selainnya.[5]

Dengan demikian, petunjuk Allah Ta’ala sangat dibutuhkan oleh makhluk dalam semua kondisinya, seperti petunjuk ilmu tentang jenis amal saleh, petunjuk agar hati bisa menghendakinya (kehendak melakukan amal saleh), petunjuk mampu mengamalkannya dengan benar dan terhindar dari penghalang-penghalangnya, petunjuk setelah beramal untuk bisa istikamah dan bisa menghindari penggugur amalan, petunjuk mendakwahkannya serta bersabar atas gangguan di jalan dakwah[6], serta petunjuk berdoa agar mampu melakukan amal ibadah dengan terpenuhi dua syarat diterima amal ibadah, serta agar diterima amalannya oleh Allah Ta’ala.

Karena demikan luasnya kandungan ayat ini, maka doa dalam ayat ini disebutkan dalam Tafsir As-Sa’di rahimahullah, sebagai doa yang paling lengkap, paling menyeluruh, dan paling bermanfaat bagi seorang hamba.

Maksud (ٱلصِّرَ ٰ⁠طَ ٱلۡمُسۡتَقِیمَ)

Berdasarkan surah Al-Ahqaf ayat 30 dan surah Asy-Syura ayat 52, maka (ٱلصِّرَ ٰ⁠طَ ٱلۡمُسۡتَقِیمَ) adalah jalan Al-Qur’an Al-Karim dan As-Sunnah, atau dengan kata lain adalah jalan Islam, karena keduanya adalah dasar ajaran agama Islam.

Oleh karena itu, ulama ahli tafsir di kalangan sahabat, Abdullah Ibnu Abbas dan Abdullah Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhuma, serta dari kalangan tabi’in Al-Hasan dan Abul ‘Aliyah rahimahumallah menafsirkan (ٱلصِّرَ ٰ⁠طَ ٱلۡمُسۡتَقِیمَ) dengan agama Islam.

Inilah dalil bahwa jalan Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah jalan yang lurus (Ash-Sirath Al-Mustaqim). Allah Ta’ala berfirman,

یَهۡدِیۤ إِلَى ٱلۡحَقِّ وَإِلَىٰ طَرِیقࣲ مُّسۡتَقِیمࣲ

“Al-Qur’an membimbing kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus.” (QS. Al-Ahqaf : 30)

وَإِنَّكَ لَتَهۡدِیۤ إِلَىٰ صِرَ ٰ⁠طࣲ مُّسۡتَقِیمࣲ

“Dan sungguh, Engkau (Rasulullah) benar-benar membimbing (manusia) kepada jalan yang lurus.” (QS. Asy-Syura: 52)

Faedah ayat keenam

Pertama, karena kandungan ayat ini adalah memohon hidayah Al-Qur’an dan As-Sunnah dalam melaksanakan agama Islam ini, maka hakikatnya ayat ini adalah isyarat kepada kewajiban memenuhi salah satu dari dua syarat diterimanya amal ibadah, yaitu al-mutaba’ah. Al-mutaba’ah adalah meniti jalan lurus yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam beribadah kepada-Nya.

Sedangkan syarat diterimanya amal ibadah yang satu lagi adalah ikhlas, mencari rida Allah Ta’ala semata dalam melaksanakan agama Islam ini, beribadah kepada-Nya. Hal ini ditunjukkan dalam ayat kelima (إِيَّاكَ نَعْبُدُ).

Kedua, dalam ayat ini, ash-sirath al-mustaqim” disebutkan dalam bentuk tunggal. Sedangkan dalam ayat yang lain di surah Al-An’am ayat 153, “jalan kesesatan” disebutkan dalam bentuk jamak. Hal ini menunjukkan bahwa jalan kebenaran hanya satu, yaitu Islam, sedangkan jalan kesesatan itu banyak.

Kesimpulan tafsir ayat keenam

ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَ ٰ⁠طَ ٱلۡمُسۡتَقِیمَ

Bermakna,

“Teguhkanlah kami di atas agama Islam dan jauhkanlah kami dari segala perkara yang membatalkan keislaman. Serta berilah kami tambahan petunjuk ilmu perincian ajaran Islam dan perincian pengamalannya.”

Tafsir surah Al-Fatihah ayat ketujuh

صِرَ ٰ⁠طَ ٱلَّذِینَ أَنۡعَمۡتَ عَلَیۡهِمۡ غَیۡرِ ٱلۡمَغۡضُوبِ عَلَیۡهِمۡ وَلَا ٱلضَّاۤلِّینَ

“(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat”

Maksud (صِرَ ٰ⁠طَ ٱلَّذِینَ أَنۡعَمۡتَ عَلَیۡهِمۡ)

Maksud dari “Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka”, yaitu:

Pertama, Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya menjelaskan bahwa mereka adalah ahli hidayah (orang-orang yang berilmu syar’i) dan istikamah beramal saleh lagi ta’at kepada Allah Ta’ala dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebagaimana juga Ibnul Qoyyim rahimahullah menafsirkan mereka ini adalah orang-orang yang berilmu syar’i dan beramal saleh.

Kedua, Al-Baghawi rahimahullah dalam tafsirnya menukilkan tafsir Salaf Shalih:

Ahli tafsir dari kalangan tabi’ut tabi’in, Abdur Rahman bin Zaid rahimahullah menafsirkan bahwa mereka adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum.

Pakar tafsir dari kalangan tabi’in, Abul ‘Aliyah rahimahullah menyatakan bahwa mereka adalah para pengikut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakar, Umar bin Al-Khaththab, dan ahli bait Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Sorang ulama besar tabi’in, Syahr bin Hausyab rahimahullah menafsirkan bahwa mereka adalah para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan ahli baitnya.

Ketiga, Ibnul Qoyyim rahimahullah menukilkan tafsir seorang ulama tafsir kota Madinah dari kalangan tabi’in, Zaid bin Aslam rahimahullah yang menyatakan bahwa mereka adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakar, dan Umar radhiyallahu ‘anhum.[7]

Pelajaran besar dari tafsir para Salaf Shalih terhadap ayat (صِرَ ٰ⁠طَ ٱلَّذِینَ أَنۡعَمۡتَ عَلَیۡهِمۡ)[8]

Pertama, jika Anda ingin meniti ash-sirath al-mustaqim, maka ikutilah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum. Bagaimanakah jalan mereka dalam memahami agama Islam dan mengamalkannya.

Kedua, jika Anda ingin memahami dan mengamalkan Al-Qur’an dan As-Sunnah (ash-sirath al-mustaqim) dengan benar, maka ikuti pemahaman dan pengamalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum. Inilah yang dimaksud dengan bermanhaj Salaf Shalih dalam beragama Islam.

Dengan demikian, ayat ketujuh ini mengisyaratkan bahwa tidak cukup kita hanya berpegang dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah saja, namun haruslah ditambah dengan pemahaman dan pengamalan Salaf Shalih terhadap keduanya. Sehingga pilar beragama Islam itu tiga, yaitu: 1) Al-Qur’an; 2) As-Sunnah; 3) manhaj Salaf Shalih. Salaf Shalih adalah sahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, serta murid-muridnya (tabi’in), dan murid-murid tabi’in (tabi’ut tabi’in) berdasarkan hadis yang muttafaqun ‘alaihi dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu.

Ketiga, barangsiapa yang dalam beragama Islam menyimpang dari jalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum, maka pastilah berada dalam kesesatan, sebagaimana di dalam surah An-Nisa’ ayat 115 dan diancam neraka Jahannam.

Maksud (غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ)

Maksud “bukan (jalan) mereka yang dimurkai” adalah bukan jalan orang-orang yang berilmu tapi meninggalkan amal, seperti Yahudi. Karena Allah Ta’ala menghukumi Yahudi dengan mendapatkan kemurkaan-Nya, sebagaimana dalam surah Al-Maidah ayat 60,

قُلۡ هَلۡ أُنَبِّئُكُم بِشَرࣲّ مِّن ذَ ٰ⁠لِكَ مَثُوبَةً عِندَ ٱللَّهِۚ مَن لَّعَنَهُ ٱللَّهُ وَغَضِبَ عَلَیۡهِ

“Katakanlah (Muhammad), “Apakah akan aku beritakan kepada kalian tentang orang yang lebih buruk pembalasannya dari (orang fasik) di sisi Allah? Yaitu, orang yang dilaknat dan dimurkai Allah.” (QS. Al.Maidah: 60)

Maksud (وَلَا الضَّاۤلِّيْنَ)

Maksud “dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat” adalah bukan jalan orang-orang yang beramal tanpa dasar ilmu, seperti nashara. Karena Allah Ta’ala menghukumi nashara dengan sesat sebagaimana dalam surah Al-Maidah ayat 77,

قُلۡ یَـٰۤأَهۡلَ ٱلۡكِتَـٰبِ لَا تَغۡلُوا۟ فِی دِینِكُمۡ غَیۡرَ ٱلۡحَقِّ وَلَا تَتَّبِعُوۤا۟ أَهۡوَاۤءَ قَوۡمࣲ قَدۡ ضَلُّوا۟ مِن قَبۡلُ وَأَضَلُّوا۟ كَثِیرࣰا وَضَلُّوا۟ عَن سَوَاۤءِ ٱلسَّبِیلِ

“Katakanlah (Muhammad), “Wahai Ahli Kitab! Janganlah kalian berlebih-lebihan dengan cara yang tidak benar dalam agama kalian. Dan janganlah kalian mengikuti keinginan orang-orang yang telah tersesat dahulu dan (telah) menyesatkan banyak (manusia), dan mereka sendiri tersesat dari jalan yang lurus.” (QS. Al-Maidah: 77)

Kesimpulan tafsir ayat ketujuh

صِرَ ٰ⁠طَ ٱلَّذِینَ أَنۡعَمۡتَ عَلَیۡهِمۡ غَیۡرِ ٱلۡمَغۡضُوبِ عَلَیۡهِمۡ وَلَا ٱلضَّاۤلِّینَ

Bermakna,

“Yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka berupa ilmu syar’i dan amal saleh, bukan jalan mereka yang dimurkai, yaitu mereka yang berilmu tetapi tidak mengamalkannya dan bukan pula jalan mereka yang sesat, yaitu mereka yang beramal tanpa ilmu.”

[Bersambung]

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

Sumber: https://muslim.or.id/72512-tafsir-ringkas-surah-al-fatihah-bag-3.html

Perhatikan Hal Ini Saat Membaca Al Fatihah dalam Sholat

Membaca Al Fatihah merupakan rukun dalam tiap rakaat sholat.

Membaca Al Fatihah merupakan rukun dalam tiap rakaat sholat, apa pun sholatnya. Dalilnya berupa hadits riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim yang shahih.

Namun, perlu diperhatikan mengenai syarat membaca Al Fatihah dalam sholat. Imam Syafii dalam Fikih Manhaji menyebutkan hadits riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim, “Tidak sah sholat orang yang tidak membaca Surat Al Fatihah,”.

Dijelaskan bahwa Bismillah merupakan satu ayat dalam Surat Al Fatihah sehingga membaca Al Fatihah tidak diawali dengan bismillahirrahmanirrahim. Syarat membaca Surat Al Fatihah adalah sebagai berikut.

Pertama, orang yang membaca dapat mendengar sendiri bacaannya jika pendengarannya normal. Kedua, ayat-ayat yang dibaca harus sesuai dengan urutan yang warid, dengan memperhatikan makharijul huruf dan memperjelas tasydid.

Ketiga, tidak melakukan kesalahan bacaan yang dapat merusak makna. Jika terjadi kesalahan yang tidak merusak makna, bacaan tetap sah.

Keempat, dibaca dalam bahasa Arab sehingga tidak sah bila diterjemahkan karena bukan (lagi bagian) Alquran. Kelima, dibaca dalam keadaan berdiri. Jika masih membacanya padahal sudah dalam posisi rukuk, bacaan Al Fatihah tidak sah dan wajib diulang.

Dijelaskan pula apabila seseorang tidak mampu membaca Al Fatihah karena bukan orang Arab atau sebab semacamnya, maka dia harus membaca tujuh ayat lain sebagai ganti Al Fatihah. Jika tak ada satu pun ayat yang dia hapal, maka diharuskan baginya berzikir kepada Allah yang lamanya sama dengan membaca Al Fatihah.

KHAZANAH REPUBLIKA

Membaca Al Fatihah Di Awal Dan Akhir Doa

Soal:

Apakah disyariatkan memulai doa atau mengakhirinya dengan membaca Al Fatihah? Ataukah ini termasuk kebid’ahan?

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menjawab:

قراءة الفاتحة بين يدي الدعاء ، أو في خاتمة الدعاء من البدع ؛ لأنه لم يرد عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه كان يفتتح دعاءه بقراءة الفاتحة ، أو يختم دعاءه بالفاتحة ، وكل أمر تعبدي لم يرد عن النبي صلى الله عليه وسلم ، فإن إحداثه بدعة

“Membaca Al Fatihah ketika hendak berdoa atau ketika selesai berdoa itu merupakan kebid’ahan. Karena tidak terdapat riwayat dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bahwa beliau membuka doa dengan Al Fatihah atau menutup doa dengan Al Fatihah. Setiap amalan ibadah yang tidak terdapat dalilnya dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, maka membuat-buat amalan tersebut adalah kebid’ahan” (Majmu’ Fatawa Syaikh Ibnu Al Utsaimin, 14/159).

Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts wal Ifta’ juga menjawab:

لم يثبت عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه كان يقرأ الفاتحة بعد الدعاء فيما نعلم ، فقراءتها بعد الدعاء بدعة ، وبالله التوفيق

“Tidak terdapat dalil shahih dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bahwa beliau membaca Al Fatihah setelah berdoa, sejauh yang kami ketahui. Maka membaca Al Fatihah setelah berdoa adalah kebid’ahan” (Fatawa Al Lajnah, 2/628).

Syaikh Abdurrahman bin Nashir Al Barrak juga mengatakan:

قراءة الفاتحة عند ختم الدعاء بدعة لا أصل لها من كتاب ، ولا سنة ، ولا من فعل الصحابة ، ولا من تبعهم بإحسان ، فلا يجوز تحري ذلك ، فإن تخصيص الذكر أو القراءة في وقت ، أو حال ، أو مكان لا يجوز إلا بدليل

“Membaca Al Fatihah di akhir doa termasuk kebid’ahan yang tidak ada dasarnya sama sekali. Tidak ada dari Al Qur’an, tidak ada dari sunnah, atau pun dari perbuatan sahabat atau pun para tabi’in. Maka tidak boleh mengamalkannya. Karena mengkhususkan suatu dzikir atau bacaan Qur’an di suatu waktu, atau dikhususkan di suatu tempat, tidak diperbolehlan kecuali dengan dalil” (dari http://ar.islamway.net/fatwa/8416).

Wallahu a’lam.

MUSLIM or.id

Keutamaan Surah Al-Fatihah

Kandungan surah al-Fatihah sangat dalam dan kom prehensif, mulai hal-hal yang bersifat langit (celestial) sampai ke hal-hal yang bersifat bumi (terestrial); dari hal-hal yang bersifat duniawi (worldly) sampai ke hal-hal yang bersifat ukhrawi (escatologis), janji dan ancaman, dan penghambaan diri kepada Allah SWT.

Meskipun hanya ada tujuh ayat dalam surah al-Fatihah, ketujuh ayat ini mencakup keseluruhan, baik urusan makrokosmos berupa alam semesta maupun urusan mikrokos mos, baik urusan dunia maupun urusan akhirat, baik urusan Tuhan maupun urusan manusia dan alam lingkungan hidupnya. Semuanya dibicarakan secara komprehensif dan saling mendukung satu sama lain di antara ayat-ayatnya.

Ada ulama menyatakan bahwa sesungguhnya surah al-Fatihah sudah cukup untuk menuntun hambanya menemukan diri-Nya, tetapi Allah SWT menambahkan surah-surah lain. Makin banyak petunjuk (directions) menuju ke sebuah alamat, makin kecil kemungkinan seseorang salah alamat. Bandingkan dengan The Ten Com mandments, 10 Perintah Tuhan, yang disampaikan kepada Nabi Musa AS.

Kesepuluh perintah itu berisi pesan yang amat padat, yakni pengesaan Allah, penghormatan kepada orang tua, pemeliharaan har-hari suci Tuhan, larangan penyembahan berhala, penghujatan, pembunuhan, perzinaan, pencurian, ketidakjujuran, dan hasrat kepada hal-hal yang buruk.

Bisa dibayangkan, 10 petunjuk diberikan kepada Nabi Musa dan 6.666 ayat Alquran yang berikan ke pada Nabi. Ini semua melambangkan kasih sayang Tuhan terhadap kita sebagai umat Nabi Muhammad SAW. Ayat pertama sampai ayat ketiga berbicara tentang urusan kehidupan di dunia. Allah menggambarkan kelembutan dan kasih sayang-Nya.

Diri-Nya sebagai pribadi (Allah) lebih ditekankan sebagai Maha Pengasih (al-Rahman al-Rahim) dan diri-Nya sebagai Tuhan (ÑÈ) tetap lebih ditonjolkan sebagai Tuhan Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Jadi, pengulangan kata ini sebetulnya tidak ada unsur kemubaziran kata (redundant). Akan tetapi, ayat keempat dan seterusnya surah ini berbicara tentang hari kemudian, setelah hari kehidupan fisik manusia. Setelah manusia wafat, seolah-olah pintu kasih sayang Allah sudah tertutup, lalu diteruskan dengan ayat: ãMalik yaum al-din (Yang menguasai hari pembalasan/QS al-Fatihah [1]:4).

Seseorang yang membaca surah al-Fatihah diharapkan sudah menyingkirkan semua urusan dan kepentingan. Sedapat mungkin kita membayangkan kehadiran Allah SWT di hadapan kita. Inilah makna ayat: ÅIyyaka na’bud wa iyyaka nasta’in (Hanya kepada Engkaulah kami me nyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan/QS al- Fatihah [1]:5). Ayat ini menggunakan kata iyyaka (hanya Engkau), bukan iyyahu (hanya Dia). Ini artinya Allah SWT tampil sebagai pihak kedua yang diajak berbicara (mukhathab), bukan pihak ketiga yang dibicarakan. Wajar jika kita diminta fokus dan mengerah kan segenap pikiran dan konsentrasi kita kepada Allah SWT saat membaca ayat ini. Bisa kita bayangkan, bagaimana jadinya jika mulut kita membaca iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in, tetapi dalam ingatan kita sepatu atau kendaraan kita di luar. Seolah-olah yang kita sembah adalah sang sepatu atau kendaraan.

Surah al-Fatihah juga mengandung kekuatan inti atau puncak segala doa, yaitu:Ihdina alshirath al-muttaqim (Tunjukilah kami jalan yang lurus/QS al-Fatihah: 6). Jika Allah SWT sudah menunjukkan jalan lurus dan sekali gus mengabulkan doa ini, mau minta apa lagi? Bukankah doa-doa lain hanya penegasan detail dari doa ini?

Kedudukan al-Fatihah dalam shalat amat penting. Nabi pernah mene gaskan: “La shalata li man la yaqra’ surah al-fatihah.” Artinya: “Tidak ada shalat tanpa membaca surah al-Fati hah.” (HR al-Bukhari/No 757). Shalat pada hakikatnya adalah perjalanan mendaki (mi’raj) menuju Tuhan, sebagaimana dinyatakan dalam hadis: Al-shalatu mi’raj al-mu’minin (Shalat adalah mi’raj bagi orang-orang ber iman). Untuk mendaki ke puncak su dah tentu membutuhkan energi spiri tual yang luar biasa. Di sinilah ke du dukan surah al-Fatihah yang harus dihayati maknanya. Ayat demi ayat surah ini menjadi representasi dari keseluruhan ayat dan surah di dalam Alquran.

Salah satu kekuatan shalat itu ada lah pembacaan surah al-Fatihah. Sangat disarankan jika seseorang tidak mampu khusyuk sepanjang shalat, setidaknya di dalam tiga tem pat, yaitu ketika membaca takbir ihkram, ketika membaca ayat kelima surah al-Fatihah: ÅIyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in (Hanya kepada Engkau lah kami menyembah dan hanya ke pada Engkaulah kami mohon perto longan/QS al-Fatihah [1]: 5).

Oleh Prof KH Nasaruddin Umar (Imam Besar Masjid Istiqlal)

KHAZANAH REPUBLIKA

Khasiat Membaca Surat Al-Fatihah

SEMUA surat dalam Alquran adalah istimewa. Penyebutan khasiat dalam judul tulisan ini bukan berarti menafikan khasiat surat yang lain. Melainkan penegasan bahwa ada surat-surat tertentu yang Allah Taala pilih dan memiliki khasiat khusus yang tidak dimilki oleh surat yang lainnya.

Tentunya, penyebutan ini hendaknya membuat seorang hamba semakin mencintai Alquran dan bersungguh-sungguh dalam mempelajari dan mempraktikkannya.

Di dalam “Tata Cara Pengobatan Ala Nabi”, Ibnul Qayyim al Jauziyah menjelaskan khasiat surat al-Fatihah sebagai berikut:

1. Surat al-Fatihah mencakup semua makna kitab-kitab Allah Taala dan mengandung Nama-nama Tuhan dan sifatnya yang mendasar, yaitu Allah, Rabb, ar-Rahman dan ar-Rahim.

2. Surat al-Fatihah mengandung penetapan tentang akhirat, penegasan tauhid, dan butuhnya makhluk kepada Allah Taala dalam meminta pertolongan serta petunjuk.

3. Surat al-Fatihah merupakan doa yang paling utama, paling berkhasiat dan paling bermanfaat.

Doa inilah yang amat dibutuhkan oleh hamba-hamba-Nya, sebentuk permohonan agar diberikan jalan yang lurus, yaitu jalan yang mengandung pengetahuan, tauhid, dan penghambaan makhluk kepada Sang Khalik dengan sempurna.

4. Di dalam surat al-Fatihah terdapat tiga golongan manusia.

Pertama, manusia yang diberikan nikmat; mengetahui kebenaran, mengamalkan, mencintai, dan menghargai nikmat tersebut.

Kedua, manusia yang dimurkai; mereka yang menyimpang dari kebenaran setelah mengetahuinya.

Ketiga, manusia yang sesat; manusia yang tidak mengetahui kebenaran dan enggan mencarinya.

5. Tujuh makna yang terkandung di dalam surat al-Fatihah.

A. Pengukuhan qadar dan syara.

B. Nama-nama dan sifat-sifat Allah Taala.

C. Tempat kembali dan nubuwat.

D. Penyucian jiwa.

E. Perbaikan hati.

F. Penyebutan kebaikan Allah Taala.

G. Penolak terhadap semua pelaku bidah dan pelaku kebatilan.

6. Surat al-Fatihah bisa menyembuhkan berbagai penyakit dan dapat digunakan sebagai ruqyah bagi orang yang terkena segatan.

7. Surat al-Fatihah merupakan keikhlasan dalam beribadah, pujian kepada Allah Taala, penyerahan segala urusan kepada-Nya, permohonan kepada-Nya, tawakkal kepada-Nya, dan permintaan atas semua nikmat kepada-Nya.

8. Surat al-Fatihah merupakan sebuah hidayah yang dapat mendatangkan segala kenikmatan dan menolak semua bentuk kemurkaan.

Inilah di antara khasiat surat pertama dalam Alquran tersebut. Surat yang disebut Ummul Kitab, Sabul Matsani, dan nama-nama berkah lainnya. Beruntungnya, bagi kita kaum muslimin yang rajin mendirikan salat, surat al-Fatihah ini otomatis dibaca minimal tujuh belas kali dalam sehari. Dengan demikian, semoga khasiatnya bisa dirasakan dalam kehidupan sehari-hari dan bermanfaat untuk kehidupan akhirat.[bersamadakwah]

INILAH MOZAIK

Pelajaran Aqidah Dan Manhaj Dari Surat Al-Fatihah (3)

Pelajaran Manhaj dari Surat al-Fatihah

Di dalam surat al-Fatihah terkandung pelajaran tentang manhaj atau cara beragama yang benar di dalam Islam. Manhaj yang benar itu adalah mengikuti salafus shalih; para pendahulu yang salih dari umat ini yaitu para sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in.

Di dalam surat al-Fatihah kita berdoa kepada Allah (yang artinya), “Tunjukilah kami kepada jalan yang lurus.” Siapakah orang-orang yang berjalan di atas jalan yang lurus itu? Allah berfirman (yang artinya), “Yaitu jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat kepada mereka.” Siapakah yang dimaksud ‘orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah’ itu? Mereka itu adalah sebagaimana yang difirmankan oleh Allah dalam ayat (yang artinya), “Yaitu para nabi, shiddiqin, syuhada’, dan orang-orang salih.” (an-Nisaa’ : 69) (lihat transkrip Manhaj Salafish Shalih wa Haajatul Ummah ilaih oleh Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah, hal. 7-8).

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata, “Jalan orang-orang yang Engkau berikan nikmat kepada mereka; mereka itu adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Dan anda setiap raka’at selalu berdoa kepada Allah untuk memberikan petunjuk kepada jalan mereka itu.” (lihat Tafsir Ayat minal Qur’anil Karim, hal. 17).

Imam Ibnu Katsir rahimahullah menukil tafsiran shirothol mustaqim/jalan yang lurus dari Abul ‘Aliyah rahimahullah. Abul ‘Aliyah berkata, “Itu adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kedua orang sahabatnya yang sesudah beliau.” ‘Ashim berkata, “Kami pun menyebutkan penafsiran ini kepada al-Hasan. Maka al-Hasan berkata, “Benar apa yang dikatakan oleh Abul ‘Aliyah dan dia telah memberikan nasihat.”.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, 1/139).

Jalan yang lurus ini juga disebut dengan jalan kaum beriman. Di dalam al-Qur’an Allah telah memberikan ancaman keras bagi orang-orang yang menyimpang dari jalan kaum beriman. Allah berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang menentang rasul setelah jelas baginya petunjuk, dan dia mengikuti selain jalan kaum beriman, maka Kami akan membiarkan dia terombang-ambing dalam kesesatan yang dia pilih, dan Kami akan memasukkannya ke dalam neraka Jahannam, dan sesungguhnya Jahannam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.” (an-Nisaa’ : 115).

Para sahabat yaitu yang terdiri dari kalangan Muhajirin dan Anshar mereka itulah teladan bagi kaum beriman sesudah mereka. Jalan yang mereka tempuh adalah jalan keselamatan. Allah berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang terdahulu dan pertama-tama yaitu dari kalangan Muhajirin dan Anshar dan juga orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya, dan Allah sediakan untuk mereka surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya untuk selama-lamanya. Itulah kemenangan yang sangat besar.” (at-Taubah : 100).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian mencela para sahabatku! Sesungguhnya seandainya salah seorang diantara kalian memberikan infak sebesar gunung Uhud berupa emas maka hal itu tidak bisa menyaingi infak mereka yang hanya satu mud, bahkan setengahnya saja tidak.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah di zamanku, kemudian yang sesudah mereka, kemudian yang sesudah mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Maka mereka itulah teladan bagi umat ini. Dan manhaj mereka itu adalah jalan yang mereka tempuh dalam hal aqidah, dalam hal mu’amalah, dalam hal akhlak, dan dalam segala urusan mereka. Itulah manhaj yang diambil dari al-Kitab dan as-Sunnah karena kedekatan mereka dengan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena kedekatan mereka dengan masa turunnya wahyu. Mereka mengambilnya dari Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka mereka itu adalah sebaik-baik kurun, dan manhaj mereka adalah manhaj yang terbaik.” (lihat Manhajus Salafish Shalih wa Haajatul Ummah ilaih, hal. 2-3).

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah juga menasihatkan, “Dan tidak mungkin mengikuti mereka dengan baik kecuali dengan cara mempelajari madzhab mereka, manhaj mereka, dan jalan yang mereka tempuh. Adapun semata-mata menyandarkan diri kepada salaf atau salafiyah tanpa disertai pemahaman tentang hakikat dan manhajnya maka hal ini tidak bermanfaat sama sekali. Bahkan bisa jadi justru menimbulkan mudharat. Oleh sebab itu harus mengenal hakikat manhaj salafush shalih.” (lihat Manhajus Salafish Shalih wa Haajatul Ummah ilaih, hal. 3).

Di dalam surat al-Fatihah, Allah pun telah menjelaskan kepada kita bahwa hakikat jalan yang lurus itu adalah dengan memadukan antara ilmu dan amal. Sebab hakikat jalan yang lurus ini adalah mengenali kebenaran dan beramal dengannya (lihat keterangan Syaikh as-Sa’di rahimahullah dalam tafsirnya Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 39).

Oleh sebab itu kemudian dijelaskan dalam lanjutan ayat (yang artinya), “Bukan jalannya orang-orang yang dimurkai.” Mereka itu adalah orang-orang yang dimurkai oleh Allah yaitu orang-orang Yahudi. Dimana mereka telah mengetahui kebenaran, akan tetapi mereka tidak mengamalkannya. Setiap orang yang meniti jalan kaum Yahudi dari kalangan umat ini -setiap orang yang mengenali kebenaran tetapi tidak mengamalkannya- maka dia berada di atas jalan kaum Yahudi -di atas jalan orang-orang yang dimurkai- karena dia telah mengenali kebenaran tetapi tidak mau beramal dengannya. Dia mengambil ilmu tetapi meninggalkan amal. Dan setiap orang yang berilmu tetapi tidak mengamalkan ilmunya maka dia termasuk golongan orang-orang yang dimurkai (lihat Manhajus Salafish Shalih wa Haajatul Ummah ilaih, hal. 8).

Jalan yang lurus ini ditegakkan di atas ilmu. Tidak cukup bermodalkan semangat untuk beramal apabila tidak disertai dengan landasan ilmu. Oleh sebab itu dalam lanjutan ayat Allah berfirman (yang artinya), “Dan bukan pula jalan orang-orang yang sesat.” Mereka itu adalah orang-orang yang beribadah kepada Allah di atas kebodohan dan kesesatan. Mereka beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah namun tidak di atas jalan yang benar. Tidak berada di atas manhaj yang lurus. Tidak berlandaskan dalil dari al-Kitab dan as-Sunnah. Yaitu berada di atas kebid’ahan. Padahal setiap bid’ah itu adalah sesat. Hal ini sebagaimana keadaan yang ada pada kaum Nasrani dan orang-orang yang mengikuti jalan mereka; yaitu orang-orang yang beribadah kepada Allah tetapi tidak di atas jalan yang benar dan tidak di atas manhaj yang lurus. Maka orang semacam itu adalah tersesat. Dia menyimpang dari jalan yang benar dan amalnya menjadi sia-sia (lihat Manhajus Salafish Shalih wa Haajatul Ummah ilaih, hal. 8-9).

Allah berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Maukah kami kabarkan kepada kalian mengenai orang-orang yang paling merugi amalnya. Yaitu orang-orang yang sia-sia usahanya dalam kehidupan dunia sementara mereka menyangka bahwa dirinya telah berbuat yang sebaik-baiknya.” (al-Kahfi : 103-104).

Ayat tersebut dijelaskan oleh para ulama bersifat umum mencakup kaum Yahudi dan Nasrani bahkan juga kaum Khawarij dan siapa saja yang beribadah kepada Allah tidak di atas jalan yang benar dimana dia mengira bahwa dia berada di atas kebenaran dan menyangka bahwa amalnya pasti diterima padahal sesungguhnya dia telah keliru dan amalnya menjadi sia-sia (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim oleh Imam Ibnu Katsir rahimahullah, 5/201-202).

Hal ini memberikan faidah kepada kita bahwa menyimpang dari jalan yang lurus ini -baik dalam hal ilmu ataupun amalan- maka hal itu memiliki dampak yang sangat membahayakan. Akibat terburuknya adalah keluar dari jalan Islam dan terjerumus dalam syirik dan kekafiran. Oleh sebab itulah sangat wajar apabila kita diperintahkan untuk berdoa kepada Allah meminta petunjuk menuju jalan yang lurus ini di dalam setiap raka’at sholat kita. Karena begitu besarnya kebutuhan kita terhadap hidayah itu. Tanpa hidayah maka seorang hamba pasti celaka dan binasa.

Syaikh Abdul Muhsin al-‘Abbad hafizhahullah berkata, “…Kebutuhan hamba kepada hidayah ini lebih besar daripada kebutuhannya kepada makanan dan minuman. Karena makanan dan minuman itu adalah bekal kehidupannya yang fana. Adapun hidayah menuju jalan yang lurus merupakan bekal kehidupannya yang kekal dan abadi.” (lihat Kutub wa Rasa’il Abdil Muhsin, 1/152).

Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah berkata, “Adapun firman-Nya (yang artinya), ‘yang Engkau berikan nikmat kepada mereka’ maka ia memberikan pelajaran bahwasanya berjalannya seorang hamba di atas jalan yang lurus itu merupakan nikmat dari Allah. Kalaulah bukan karena nikmat dari Allah untuk berjalan di jalan lurus itu maka dia tidak akan bisa berjalan dan meniti di atasnya, akan tetapi hal itu semata-mata karena Allah karuniakan nikmat kepadanya.” (lihat Min Hidayat Surah al-Fatihah, hal. 30).

Semua orang menjadi merugi dan celaka apabila tidak mendapatkan hidayah dan taufik dari Allah. Karena dengan hidayah itulah mereka bisa beriman dan beramal salih. Tanpa hidayah dari Allah maka tidak ada seorang pun yang bisa beriman, beramal, ataupun berdakwah dan bersabar. Padahal iman, amal salih, dakwah, dan kesabaran adalah kunci-kunci kebahagiaan.

Allah berfirman (yang artinya), “Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal salih, saling menasihati dalam kebenaran, dan saling menasihati untuk menetapi kesabaran.” (al-‘Ashr : 1-3).

Jalan yang lurus ini adalah jalan para nabi, jalan yang ditempuh oleh Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang umat/teladan yang senantiasa patuh kepada Allah lagi hanif dan dia bukanlah termasuk golongan orang-orang musyrik. Dia selalu mensyukuri nikmat-nikmat-Nya. Allah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus.” (an-Nahl : 120-121).

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Jalan yang lurus itu adalah beribadah kepada Allah semata yang tiada sekutu bagi-Nya di atas syari’at yang diridhai.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, 4/611).

Syaikh ‘Ubaid al-Jabiri hafizhahullah berkata, “Sesungguhnya agama Allah yang dipilih-Nya bagi hamba-hamba-Nya, agama yang menjadi misi diutusnya para rasul, dan agama yang menjadi muatan kitab-kitab yang diturunkan-Nya ialah al-Hanifiyah. Itulah agama Ibrahim al-Khalil ‘alahis salam. Sebagaimana itu menjadi agama para nabi sebelumnya dan para rasul sesudahnya hingga penutup mereka semua yaitu Muhammad, semoga salawat dan salam tercurah kepada mereka semuanya.” (lihat al-Bayan al-Murashsha’ Syarh al-Qawa’id al-Arba’, hal. 14).

Syaikh Abdul Aziz ar-Rajihi hafizhahullah berkata, “al-Hanifiyah itu adalah tauhid. Yaitu kamu beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan agama/amal untuk-Nya. Ini merupakan kandungan makna dari laa ilaha illallah. Karena sesungguhnya maknanya adalah tidak ada yang berhak disembah selain Allah.” (lihat Syarh al-Qawa’id al-Arba’, hal. 11)

Qatadah rahimahullah berkata, “al-Hanifiyah itu adalah syahadat laa ilaha illallah.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, 1/448 oleh Imam Ibnu Katsir rahimahullah).

Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Kami utus seorang nabipun sebelummu, melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada sesembahan -yang benar- selain Aku, maka sembahlah Aku saja.” (al-Anbiyaa’ : 25).

Allah berfirman (yang artinya), “Kemudian Kami wahyukan kepadamu; Hendaklah kamu mengikuti millah Ibrahim secara hanif.” (an-Nahl : 123).

Allah berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Sesungguhnya sesungguhnya aku telah diberikan petunjuk oleh Rabbku menuju jalan yang lurus, agama yang tegak yaitu millah Ibrahim yang hanif dan dia bukanlah termasuk golongan orang musyrik.” (al-An’am : 161).

Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Ibrahim ‘alaihis salam mengajak manusia untuk beribadah kepada Allah ‘azza wa jalla sebagaimana para nabi yang lain. Semua nabi mengajak manusia untuk beribadah kepada Allah dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya…” (lihat Silsilah Syarh Rasa’il, hal. 330).

Allah berfirman (yang artinya), “Sungguh telah ada bagi kalian teladan yang indah pada diri Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya. Yaitu ketika mereka berkata kepada kaumnya, ‘Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari segala yang kalian sembah selain Allah. Kami mengingkari kalian dan telah tampak antara kami dengan kalian permusuhan dan kebencian untuk selama-lamanya sampai kalian beriman kepada Allah semata…” (al-Mumtahanah : 4).

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Sungguh telah disyari’atkan terjadinya permusuhan dan kebencian dari sejak sekarang antara kami dengan kalian selama kalian bertahan di atas kekafiran, maka kami akan berlepas diri dan membenci kalian untuk selamanya “sampai kalian beriman kepada Allah semata” maksudnya adalah sampai kalian mentauhidkan Allah dan beribadah kepada-Nya semata yang tiada sekutu bagi-Nya dan kalian mencampakkan segala yang kalian sembah selain-Nya berupa tandingan dan berhala.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, 8/87).

Nabi Ibrahim ‘alaihis salam yang telah mendapatkan sekian banyak sanjungan dan pujian dari Allah. Beliau yang menegakkan dakwah tauhid ini kepada kaumnya dan menghadapi berbagai macam hambatan dan rintangan dengan penuh kesabaran. Ibrahim yang dinyatakan oleh Allah berada di atas jalan yang lurus. Namun, lihatlah bagaimana beliau ‘alaihis salam sangat merasa takut kalau dirinya terjerumus dalam syirik dan penyembahan berhala. Beliau berdoa (yang artinya), “Dan jauhkanlah aku dan anak keturunanku dari menyembah patung.” (Ibrahim : 35)

Apabila orang seperti beliau memiliki rasa takut yang sedemikian besar terhadap syirik -yang itu merupakan bentuk penyimpangan terburuk dari jalan yang lurus- maka bagaimanakah lagi dengan orang-orang yang berada di bawah kedudukan beliau? Apakah kita pantas untuk merasa aman dari kesesatan dan penyimpangan?! Demi Allah, wahai saudaraku, tidak ada yang bisa menjaga kita untuk tetap berjalan di atas kebenaran kecuali hanya Allah saja…

Doa Memohon Hidayah

Di dalam al-Fatihah kita juga dibimbing untuk berdoa kepada Allah dengan doa yang sangat agung, yaitu memohon limpahan hidayah. Hidayah untuk bisa berjalan di atas jalan yang lurus, jalan yang benar. Sehingga orang itu akan bisa keluar dari berlapis-lapis kegelapan menuju cahaya yang terang-benderang dan pada akhirnya sukses meraih kebahagiaan dunia dan akhirat. Kebutuhan hamba terhadap hidayah ini jauh lebih besar daripada kebutuhannya terhadap makanan dan minuman. Karena makanan dan minuman adalah bekal kehidupannya yang fana, sementara hidayah menuju jalan lurus adalah bekal menuju kehidupan yang abadi. Doa ini -ihdinash shirathal mustaqim- berisi permintaan untuk tegar di atas hidayah dan juga permohonan untuk mendapatkan tambahan hidayah (lihat Min Kunuz al-Qur’an oleh Syaikh Abdul Muhsin hafizhahullah).

Hidayah yang kita mohon setiap hari ini mencakup dua bentuk hidayah; hidayah berupa bimbingan dan arahan, serta hidayah berupa bantuan dan pertolongan. Hidayah yang pertama biasa disebut dengan hidayatul irsyad wal bayan, sedangkan hidayah yang kedua dikenal dengan istilah hidayatut taufiq wal ilham. Dengan bahasa lain, kita meminta kepada Allah agar diberi ilmu dan juga amal. Kita memohon kepada Allah agar bisa mengenali kebenaran dan tunduk mengikutinya (lihat keterangan Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah dalam Syarh Ba’dhu Fawa’id, hal. 24).

Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang membuahkan amalan. Kalau seorang hamba memiliki ilmu namun tidak mengamalkannya maka dia telah mengikuti jalannya orang-orang yang dimurkai –al-maghdhubi ‘alaihim-. Adapun apabila dia beramal namun tanpa landasan ilmu maka dia telah mengikuti jalannya orang-orang yang sesat –adh-dhaallin-. Apabila ilmu dan amal itu berjalan beriringan pada diri seorang hamba maka dia telah berjalan di atas jalannya orang-orang yang diberi karunia oleh Allah; yaitu jalannya para nabi, shiddiqin, syuhada, dan orang-orang shalih (lihat Thariq al-Wushul ila Idhah ats-Tsalatsah al-Ushul, hal. 21).

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, Orang yang diberikan kenikmatan kepada mereka itu adalah orang yang mengambil ilmu dan amal. Adapun orang yang dimurkai adalah orang-orang yang mengambil ilmu dan meninggalkan amal. Dan orang-orang yang sesat adalah orang-orang yang mengambil amal namun meninggalkan ilmu.” (lihat Syarh Ba’dhu Fawa’id, hal. 25).

Dari Usamah bin Zaid radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kelak pada hari kiamat didatangkan seorang lelaki, lalu dia dilemparkan ke dalam neraka. Usus perutnya pun terburai. Dia berputar-putar seperti seekor keledai mengelilingi alat penggilingan. Para penduduk neraka berkumpul mengerumuninya. Mereka pun bertanya kepadanya, “Wahai fulan, apa yang terjadi padamu. Bukankah dulu kamu memerintahkan yang ma’ruf dan melarang yang mungkar?”. Dia menjawab, “Benar. Aku dulu memang memerintahkan yang ma’ruf tapi aku tidak melaksanakannya. Aku juga melarang yang mungkar tetapi aku justru melakukannya.”.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang rusak diantara orang-orang yang berilmu diantara kita maka padanya terdapat keserupaan dengan Yahudi. Dan barangsiapa yang rusak diantara orang-orang yang gemar beribadah diantara kita maka padanya terdapat keserupaan dengan Nasrani.” (lihat Kutub wa Rasa’il Abdil Muhsin, 1/152-153).

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan, “Di dalamnya -surat al-Fatihah- juga terkandung bantahan bagi Yahudi; mereka itu adalah golongan almaghdubi ‘alaihim -kaum yang dimurkai- dan juga bantahan bagi siapa pun yang mengikuti jalan hidup mereka; yaitu orang yang berilmu tetapi tidak mengamalkan ilmunya. Di dalamnya juga terkandung bantahan bagi Nasrani yang suka beribadah kepada Allah tanpa mengikuti petunjuk.”(lihat Syarh Ba’dhu Fawa’id Surah al-Fatihah, hal. 10-11).

Imam Ibnul Qoyyim rahimahulllah berkata, “… Seandainya ilmu bisa bermanfaat tanpa amalan niscaya Allah Yang Maha Suci tidak akan mencela para pendeta Ahli Kitab. Dan jika seandainya amalan bisa bermanfaat tanpa adanya keikhlasan niscaya Allah juga tidak akan mencela orang-orang munafik.” (lihat al-Fawa’id, hal. 34).

Dengan dua bentuk hidayah inilah -ilmu dan amal- seorang akan berjalan di atas kebenaran dan menggapai keselamatan. Oleh sebab itu setan berusaha merusak manusia dalam hal ilmu ataupun dalam hal amalnya. Apabila rusak ilmunya maka orang itu menjadi sesat, dan apabila rusak amalnya maka orang itu menjadi dimurkai Allah. Sehingga setan berusaha menebar fitnah syubhat untuk merusak ilmu, dan menebar fitnah syahwat untuk merusak amal manusia. Karena itulah kita juga dibimbing untuk berdoa setiap pagi seusai sholat subuh dengan membaca doa yang berbunyi ‘allahumma inni as’aluka ‘ilman naafi’an wa rizqan thayyiban wa ‘amalan mutaqabbalan’ (yang artinya), “Ya Allah, aku mohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rizki yang baik, dan amal yang diterima.” (HR. Ibnu Majah, disahihkan al-Albani) (lihat keterangan Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah dalam Min Hidayat Surah al-Fatihah, hal. 32-33).

Rangkuman Faidah Ilmu Surat al-Fatihah

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, berikut ini kami sajikan ringkasan penjelasan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah mengenai faidah-faidah yang terkandung dalam surat al-Fatihah.

Pada kalimat yang berbunyi ‘alhamdulillahi Rabbil ‘alamin’ terkandung faidah :

  • Pujian kepada Allah
  • Kesempurnaan sifat-sifat Allah
  • Kesempurnaan nikmat-nikmat-Nya kepada segenap hamba
  • Penetapan uluhiyah/sifat ketuhanan pada diri Allah, hanya Allah sesembahan yang haq
  • Pujian yang mutlak dan sempurna hanya layak diberikan kepada Allah
  • Penetapan rububiyah Allah. Rabb ialah yang mencipta, menguasai, dan mengatur
  • Dalil bahwa seluruh alam sangat membutuhkan kepada Allah
  • Malaikat, para rasul, dan wali tidak memiliki hak dalam mengatur dan mencipta alam
  • Tidak boleh berdoa dan memohon keselamatan kepada selain Allah
  • Dalil bahwa alam semesta ini adalah sesuatu yang baru dan sebelumnya tidak ada
  • Seluruh alam adalah tanda/bukti yang menunjukkan keberadaan Allah
  • Penetapan tauhid uluhiyah; hanya Allah yang berhak disembah
  • Iman kepada takdir Allah

Pada kalimat yang berbunyi ‘arrahmanirrahiim’ terkandung faidah :

  • Penetapan sifat rahmat pada diri Allah
  • Dalil yang menunjukkan keluasan rahmat Allah
  • Allah menyampaikan rahmat-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya
  • Rahmat Allah ada yang diberikan kepada semua orang dan ada yang khusus bagi kaum beriman
  • Bantahan bagi orang yang mengingkari sifat rahmat pada diri Allah
  • Penetapan tauhid asma’ wa shifat

Pada kalimat yang berbunyi ‘maaliki yaumid diin’ terkandung faidah :

  • Penetapan adanya hari pembalasan (hari kiamat)
  • Kekuasaan Allah pada hari kiamat akan tempak dengan jelas bagi seluruh manusia
  • Pada hari kiamat tiada lagi raja yang berkuasa selain Allah
  • Iman kepada hari akhir
  • Penetapan adanya balasan dan hisab atas amal
  • Targhib/motivasi untuk beramal salih dan tarhib/peringatan dari melakukan keburukan
  • Kesempurnaan hikmah Allah dengan adanya hari pembalasan atas amal umat manusia
  • Kesempurnaan keadilan Allah

Pada kalimat yang berbunyi ‘iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in’ terkandung faidah :

  • Perendahan diri kepada Allah dengan penuh kecintaan dan pengagungan
  • Kebutuhan manusia untuk beribadah dan memohon pertolongan Allah
  • Mengikhlaskan/memurnikan ibadah kepada Allah semata
  • Terkandung makna dari kalimat laa ilaha illallah
  • Wajibnya mengikuti syari’at rasul
  • Ibadah hanya akan diterima jika bersih dari kesyirikan
  • Memohon pertolongan semata-mata kepada Allah
  • Menghadirkan perasaan memohon pertolongan kepada Allah di saat beribadah
  • Tiga hal yang dibutuhkan dalam ibadah; ikhlas, mutaba’ah, dan isti’anah
  • Ibadah adalah hak Allah dan pertolongan adalah bagian untuk hamba
  • Boleh meminta pertolongan kepada orang dalam hal yang dikuasai manusia
  • Berbicara dengan mengubah metode pembicaraan lebih menggugah kesadaran
  • Persatuan umat dalam hal ibadah dan memohon pertolongan kepada Allah
  • Kesetaraan imam dan makmum dalam menghamba kepada Allah
  • Selalu memohon pertolongan kepada Allah dalam urusan sekecil apapun
  • Hendaklah mengucapkan insya Allah ketika berencana untuk melakukan sesuatu

Pada kalimat yang berbunyi ‘ihdinash shirathal mustaqim’ terkandung faidah :

  • Hidayah terbagi dua; hidayah berupa ilmu dan hidayah berupa taufik
  • Berdoa kepada Allah meminta petunjuk jalan yang lurus
  • Setiap insan selalu membutuhkan Allah, oleh sebab itu tidak layak untuk merasa ujub
  • Hidayah perlu dicari bukan hanya ditunggu dengan berdiam diri
  • Agama Islam ini luas sehingga bisa menampung siapa saja yang ingin bergabung di dalamnya (tentu saja dengan mematuhi aqidah dan syari’at di dalamnya, pen)
  • Islam adalah agama yang menyeluruh dan lengkap mengatur segala sisi kehidupan
  • Bantahan pandangan bahwa Islam hanya mengatur hubungan hamba dengan Allah
  • Islam mengatur muamalah antar sesama, buktinya ayat terpanjang membahas tentang hutang
  • Islam juga mengatur bagaimana sikap manusia terhadap binatang
  • Selain jalan yang lurus ada jalan-jalan lain yang tidak lurus dan menyimpang
  • Agama Islam adalah agama yang sempurna dan tidak mengandung penyimpangan
  • Kesempurnaan hikmah Allah dengan menetapkan jalan yang lurus ini
  • Tiada pemberi hidayah yang sejati kecuali Allah

Pada kalimat yang berbunyi ‘shirathalladziina an’amta ‘alaihim’ terkandung faidah :

  • Orang yang diberi nikmat itu mencakup; para nabi, shiddiqin, syuhada’/orang-orang yang mati syahid di jalan Allah dan orang-orang salih
  • Allah berikan nikmat kepada mereka dengan tunduk kepada syari’at-Nya
  • Perlu mengkaji sejarah perjalanan hidup orang-orang yang diberi nikmat
  • Anjuran untuk mengetahui sirah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
  • Nikmat agama jauh lebib agung daripada nikmat keduniaan
  • Orang yang meniti jalan yang lurus maka dia sedang berada di dalam kenikmatan
  • Allah lah yang berjasa dan memberikan nikmat atas hamba-hamba-Nya
  • Hendaknya memuji Allah atas segala amal salih yang telah kita lakukan
  • Iman kepada malaikat, karena nabi dan rasul -yang mereka termasuk golongan orang yang diberi nikmat itu- mendapatkan wahyu dari Allah melalui para malaikat

Pada kalimat yang berbunyi ‘ghairil maghdhubi ‘alaihim wa ladh dhaalliin’ terkandung faidah :

  • Orang yang dimurkai adalah yang mengetahui kebenaran tapi tidak mau mengikutinya
  • Orang yang sesat adalah yang tidak mengetahui kebenaran sehingga menyimpang
  • Yahudi adalah imamnya kaum yang dimurkai dan Nasrani imamnya kaum yang tersesat
  • Manusia ada 3 macam; orang yang diberi ilmu dan amal, yang diberi ilmu saja tanpa amal, dan orang yang tidak diberi ilmu sehingga tidak bisa beramal dengan benar
  • Besarnya dosa orang yang berilmu tetapi tidak diamalkan, karena Allah murka kepadanya
  • Perlunya kita mengetahui kisah perjalanan hidup orang-orang yang dimurkai
  • Wajibnya berlepas diri dari jalan orang-orang yang dimurkai dan tersesat
  • Larangan bertasyabbuh/meniru-niru kebiasaan orang-orang kafir
  • Wajibnya memusuhi dan membenci orang-orang yang dimurkai dan tersesat
  • Kedua kelompok itu -baik yang dimurkai atau yang tersesat- adalah sama-sama buruk
  • Kewajiban menimba ilmu agar terbebas dari kebodohan
  • Kewajiban menunaikan amal dan ibadah agar tidak termasuk kelompok yang dimurkai
  • Orang yang mengetahui kebenaran tapi tidak mengikutinya lebih jelek keadaannya daripada orang yang tidak mengetahui kebenaran sama sekali
  • Kewajiban untuk menerapkan ilmu yang telah dimiliki
  • Kita wajib membenci dan murka kepada orang-orang yang dimurkai oleh Allah
  • Kehinaan pada diri orang-orang yang dimurkai
  • Penetapan sifat marah/murka pada diri Allah
  • Kemurkaan Allah memberikan konsekuensi adanya hukuman dari-Nya
  • Sesat adalah sifat tercela sedangkan berilmu adalah sifat kesempurnaan
  • Ilmu yang layak mendapatkan pujian secara mutlak adalah ilmu syari’at
  • Orang yang tidak tahu tidak layak untuk diberikan hukuman
  • Akan tetapi jika orang tersebut malas menimba ilmu sehingga tidak tahu maka dia layak diberi hukuman karena kemalasannya

Kesimpulan :

Surat al-Fatihah adalah induk dan pembuka al-Qur’an. Di dalamnya telah tekandung macam-macam tauhid, isyarat mengenai syari’at-syari’at, isyarat mengenai para rasul, malaikat, dan hari akhir. Demikian pula ia telah menggambarkan berbagai macam kelompok umat manusia. Semua makna ajaran dalam al-Qur’an telah terangkum di dalam surat ini.

al-Fatihah menyimpan semua syari’at, baik yang berkaitan dengan ucapan, perbuatan, maupun keyakinan. Baik hal itu yang berkaitan dengan sesuatu yang dituntut untuk diwujudkan atau sesuatu yang harus dijauhi. Dan untuk itu semua setiap insan selalu membutuhkan pertolongan Allah. Intinya surat ini adalah surat yang sangat penting dan banyak mengandung faidah.

Meskipun demikian tidak selayaknya membaca surat ini pada setiap kesempatan/acara dalam rangka mencari berkah darinya; karena perbuatan semacam ini tidak dituntunkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun mengobati orang yang sakit dengan membaca surat ini maka hal itu adalah sesuatu yang diperbolehkan dalam syari’at.

***

Sumber : Ahkam min al-Qur’an al-Karim oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah, hal. 11 – 50. Penerbit : Dar Thawiq li Nasyr wa Tauzi’

Penulis: Ari Wahyudi, S.Si.

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/27475-pelajaran-aqidah-dan-manhaj-dari-surat-al-fatihah-3.html