Pelajaran Aqidah Dan Manhaj Dari Surat Al-Fatihah (3)

Pelajaran Manhaj dari Surat al-Fatihah

Di dalam surat al-Fatihah terkandung pelajaran tentang manhaj atau cara beragama yang benar di dalam Islam. Manhaj yang benar itu adalah mengikuti salafus shalih; para pendahulu yang salih dari umat ini yaitu para sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in.

Di dalam surat al-Fatihah kita berdoa kepada Allah (yang artinya), “Tunjukilah kami kepada jalan yang lurus.” Siapakah orang-orang yang berjalan di atas jalan yang lurus itu? Allah berfirman (yang artinya), “Yaitu jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat kepada mereka.” Siapakah yang dimaksud ‘orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah’ itu? Mereka itu adalah sebagaimana yang difirmankan oleh Allah dalam ayat (yang artinya), “Yaitu para nabi, shiddiqin, syuhada’, dan orang-orang salih.” (an-Nisaa’ : 69) (lihat transkrip Manhaj Salafish Shalih wa Haajatul Ummah ilaih oleh Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah, hal. 7-8).

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata, “Jalan orang-orang yang Engkau berikan nikmat kepada mereka; mereka itu adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Dan anda setiap raka’at selalu berdoa kepada Allah untuk memberikan petunjuk kepada jalan mereka itu.” (lihat Tafsir Ayat minal Qur’anil Karim, hal. 17).

Imam Ibnu Katsir rahimahullah menukil tafsiran shirothol mustaqim/jalan yang lurus dari Abul ‘Aliyah rahimahullah. Abul ‘Aliyah berkata, “Itu adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kedua orang sahabatnya yang sesudah beliau.” ‘Ashim berkata, “Kami pun menyebutkan penafsiran ini kepada al-Hasan. Maka al-Hasan berkata, “Benar apa yang dikatakan oleh Abul ‘Aliyah dan dia telah memberikan nasihat.”.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, 1/139).

Jalan yang lurus ini juga disebut dengan jalan kaum beriman. Di dalam al-Qur’an Allah telah memberikan ancaman keras bagi orang-orang yang menyimpang dari jalan kaum beriman. Allah berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang menentang rasul setelah jelas baginya petunjuk, dan dia mengikuti selain jalan kaum beriman, maka Kami akan membiarkan dia terombang-ambing dalam kesesatan yang dia pilih, dan Kami akan memasukkannya ke dalam neraka Jahannam, dan sesungguhnya Jahannam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.” (an-Nisaa’ : 115).

Para sahabat yaitu yang terdiri dari kalangan Muhajirin dan Anshar mereka itulah teladan bagi kaum beriman sesudah mereka. Jalan yang mereka tempuh adalah jalan keselamatan. Allah berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang terdahulu dan pertama-tama yaitu dari kalangan Muhajirin dan Anshar dan juga orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya, dan Allah sediakan untuk mereka surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya untuk selama-lamanya. Itulah kemenangan yang sangat besar.” (at-Taubah : 100).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian mencela para sahabatku! Sesungguhnya seandainya salah seorang diantara kalian memberikan infak sebesar gunung Uhud berupa emas maka hal itu tidak bisa menyaingi infak mereka yang hanya satu mud, bahkan setengahnya saja tidak.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah di zamanku, kemudian yang sesudah mereka, kemudian yang sesudah mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Maka mereka itulah teladan bagi umat ini. Dan manhaj mereka itu adalah jalan yang mereka tempuh dalam hal aqidah, dalam hal mu’amalah, dalam hal akhlak, dan dalam segala urusan mereka. Itulah manhaj yang diambil dari al-Kitab dan as-Sunnah karena kedekatan mereka dengan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena kedekatan mereka dengan masa turunnya wahyu. Mereka mengambilnya dari Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka mereka itu adalah sebaik-baik kurun, dan manhaj mereka adalah manhaj yang terbaik.” (lihat Manhajus Salafish Shalih wa Haajatul Ummah ilaih, hal. 2-3).

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah juga menasihatkan, “Dan tidak mungkin mengikuti mereka dengan baik kecuali dengan cara mempelajari madzhab mereka, manhaj mereka, dan jalan yang mereka tempuh. Adapun semata-mata menyandarkan diri kepada salaf atau salafiyah tanpa disertai pemahaman tentang hakikat dan manhajnya maka hal ini tidak bermanfaat sama sekali. Bahkan bisa jadi justru menimbulkan mudharat. Oleh sebab itu harus mengenal hakikat manhaj salafush shalih.” (lihat Manhajus Salafish Shalih wa Haajatul Ummah ilaih, hal. 3).

Di dalam surat al-Fatihah, Allah pun telah menjelaskan kepada kita bahwa hakikat jalan yang lurus itu adalah dengan memadukan antara ilmu dan amal. Sebab hakikat jalan yang lurus ini adalah mengenali kebenaran dan beramal dengannya (lihat keterangan Syaikh as-Sa’di rahimahullah dalam tafsirnya Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 39).

Oleh sebab itu kemudian dijelaskan dalam lanjutan ayat (yang artinya), “Bukan jalannya orang-orang yang dimurkai.” Mereka itu adalah orang-orang yang dimurkai oleh Allah yaitu orang-orang Yahudi. Dimana mereka telah mengetahui kebenaran, akan tetapi mereka tidak mengamalkannya. Setiap orang yang meniti jalan kaum Yahudi dari kalangan umat ini -setiap orang yang mengenali kebenaran tetapi tidak mengamalkannya- maka dia berada di atas jalan kaum Yahudi -di atas jalan orang-orang yang dimurkai- karena dia telah mengenali kebenaran tetapi tidak mau beramal dengannya. Dia mengambil ilmu tetapi meninggalkan amal. Dan setiap orang yang berilmu tetapi tidak mengamalkan ilmunya maka dia termasuk golongan orang-orang yang dimurkai (lihat Manhajus Salafish Shalih wa Haajatul Ummah ilaih, hal. 8).

Jalan yang lurus ini ditegakkan di atas ilmu. Tidak cukup bermodalkan semangat untuk beramal apabila tidak disertai dengan landasan ilmu. Oleh sebab itu dalam lanjutan ayat Allah berfirman (yang artinya), “Dan bukan pula jalan orang-orang yang sesat.” Mereka itu adalah orang-orang yang beribadah kepada Allah di atas kebodohan dan kesesatan. Mereka beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah namun tidak di atas jalan yang benar. Tidak berada di atas manhaj yang lurus. Tidak berlandaskan dalil dari al-Kitab dan as-Sunnah. Yaitu berada di atas kebid’ahan. Padahal setiap bid’ah itu adalah sesat. Hal ini sebagaimana keadaan yang ada pada kaum Nasrani dan orang-orang yang mengikuti jalan mereka; yaitu orang-orang yang beribadah kepada Allah tetapi tidak di atas jalan yang benar dan tidak di atas manhaj yang lurus. Maka orang semacam itu adalah tersesat. Dia menyimpang dari jalan yang benar dan amalnya menjadi sia-sia (lihat Manhajus Salafish Shalih wa Haajatul Ummah ilaih, hal. 8-9).

Allah berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Maukah kami kabarkan kepada kalian mengenai orang-orang yang paling merugi amalnya. Yaitu orang-orang yang sia-sia usahanya dalam kehidupan dunia sementara mereka menyangka bahwa dirinya telah berbuat yang sebaik-baiknya.” (al-Kahfi : 103-104).

Ayat tersebut dijelaskan oleh para ulama bersifat umum mencakup kaum Yahudi dan Nasrani bahkan juga kaum Khawarij dan siapa saja yang beribadah kepada Allah tidak di atas jalan yang benar dimana dia mengira bahwa dia berada di atas kebenaran dan menyangka bahwa amalnya pasti diterima padahal sesungguhnya dia telah keliru dan amalnya menjadi sia-sia (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim oleh Imam Ibnu Katsir rahimahullah, 5/201-202).

Hal ini memberikan faidah kepada kita bahwa menyimpang dari jalan yang lurus ini -baik dalam hal ilmu ataupun amalan- maka hal itu memiliki dampak yang sangat membahayakan. Akibat terburuknya adalah keluar dari jalan Islam dan terjerumus dalam syirik dan kekafiran. Oleh sebab itulah sangat wajar apabila kita diperintahkan untuk berdoa kepada Allah meminta petunjuk menuju jalan yang lurus ini di dalam setiap raka’at sholat kita. Karena begitu besarnya kebutuhan kita terhadap hidayah itu. Tanpa hidayah maka seorang hamba pasti celaka dan binasa.

Syaikh Abdul Muhsin al-‘Abbad hafizhahullah berkata, “…Kebutuhan hamba kepada hidayah ini lebih besar daripada kebutuhannya kepada makanan dan minuman. Karena makanan dan minuman itu adalah bekal kehidupannya yang fana. Adapun hidayah menuju jalan yang lurus merupakan bekal kehidupannya yang kekal dan abadi.” (lihat Kutub wa Rasa’il Abdil Muhsin, 1/152).

Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah berkata, “Adapun firman-Nya (yang artinya), ‘yang Engkau berikan nikmat kepada mereka’ maka ia memberikan pelajaran bahwasanya berjalannya seorang hamba di atas jalan yang lurus itu merupakan nikmat dari Allah. Kalaulah bukan karena nikmat dari Allah untuk berjalan di jalan lurus itu maka dia tidak akan bisa berjalan dan meniti di atasnya, akan tetapi hal itu semata-mata karena Allah karuniakan nikmat kepadanya.” (lihat Min Hidayat Surah al-Fatihah, hal. 30).

Semua orang menjadi merugi dan celaka apabila tidak mendapatkan hidayah dan taufik dari Allah. Karena dengan hidayah itulah mereka bisa beriman dan beramal salih. Tanpa hidayah dari Allah maka tidak ada seorang pun yang bisa beriman, beramal, ataupun berdakwah dan bersabar. Padahal iman, amal salih, dakwah, dan kesabaran adalah kunci-kunci kebahagiaan.

Allah berfirman (yang artinya), “Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal salih, saling menasihati dalam kebenaran, dan saling menasihati untuk menetapi kesabaran.” (al-‘Ashr : 1-3).

Jalan yang lurus ini adalah jalan para nabi, jalan yang ditempuh oleh Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang umat/teladan yang senantiasa patuh kepada Allah lagi hanif dan dia bukanlah termasuk golongan orang-orang musyrik. Dia selalu mensyukuri nikmat-nikmat-Nya. Allah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus.” (an-Nahl : 120-121).

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Jalan yang lurus itu adalah beribadah kepada Allah semata yang tiada sekutu bagi-Nya di atas syari’at yang diridhai.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, 4/611).

Syaikh ‘Ubaid al-Jabiri hafizhahullah berkata, “Sesungguhnya agama Allah yang dipilih-Nya bagi hamba-hamba-Nya, agama yang menjadi misi diutusnya para rasul, dan agama yang menjadi muatan kitab-kitab yang diturunkan-Nya ialah al-Hanifiyah. Itulah agama Ibrahim al-Khalil ‘alahis salam. Sebagaimana itu menjadi agama para nabi sebelumnya dan para rasul sesudahnya hingga penutup mereka semua yaitu Muhammad, semoga salawat dan salam tercurah kepada mereka semuanya.” (lihat al-Bayan al-Murashsha’ Syarh al-Qawa’id al-Arba’, hal. 14).

Syaikh Abdul Aziz ar-Rajihi hafizhahullah berkata, “al-Hanifiyah itu adalah tauhid. Yaitu kamu beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan agama/amal untuk-Nya. Ini merupakan kandungan makna dari laa ilaha illallah. Karena sesungguhnya maknanya adalah tidak ada yang berhak disembah selain Allah.” (lihat Syarh al-Qawa’id al-Arba’, hal. 11)

Qatadah rahimahullah berkata, “al-Hanifiyah itu adalah syahadat laa ilaha illallah.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, 1/448 oleh Imam Ibnu Katsir rahimahullah).

Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Kami utus seorang nabipun sebelummu, melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada sesembahan -yang benar- selain Aku, maka sembahlah Aku saja.” (al-Anbiyaa’ : 25).

Allah berfirman (yang artinya), “Kemudian Kami wahyukan kepadamu; Hendaklah kamu mengikuti millah Ibrahim secara hanif.” (an-Nahl : 123).

Allah berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Sesungguhnya sesungguhnya aku telah diberikan petunjuk oleh Rabbku menuju jalan yang lurus, agama yang tegak yaitu millah Ibrahim yang hanif dan dia bukanlah termasuk golongan orang musyrik.” (al-An’am : 161).

Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Ibrahim ‘alaihis salam mengajak manusia untuk beribadah kepada Allah ‘azza wa jalla sebagaimana para nabi yang lain. Semua nabi mengajak manusia untuk beribadah kepada Allah dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya…” (lihat Silsilah Syarh Rasa’il, hal. 330).

Allah berfirman (yang artinya), “Sungguh telah ada bagi kalian teladan yang indah pada diri Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya. Yaitu ketika mereka berkata kepada kaumnya, ‘Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari segala yang kalian sembah selain Allah. Kami mengingkari kalian dan telah tampak antara kami dengan kalian permusuhan dan kebencian untuk selama-lamanya sampai kalian beriman kepada Allah semata…” (al-Mumtahanah : 4).

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Sungguh telah disyari’atkan terjadinya permusuhan dan kebencian dari sejak sekarang antara kami dengan kalian selama kalian bertahan di atas kekafiran, maka kami akan berlepas diri dan membenci kalian untuk selamanya “sampai kalian beriman kepada Allah semata” maksudnya adalah sampai kalian mentauhidkan Allah dan beribadah kepada-Nya semata yang tiada sekutu bagi-Nya dan kalian mencampakkan segala yang kalian sembah selain-Nya berupa tandingan dan berhala.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, 8/87).

Nabi Ibrahim ‘alaihis salam yang telah mendapatkan sekian banyak sanjungan dan pujian dari Allah. Beliau yang menegakkan dakwah tauhid ini kepada kaumnya dan menghadapi berbagai macam hambatan dan rintangan dengan penuh kesabaran. Ibrahim yang dinyatakan oleh Allah berada di atas jalan yang lurus. Namun, lihatlah bagaimana beliau ‘alaihis salam sangat merasa takut kalau dirinya terjerumus dalam syirik dan penyembahan berhala. Beliau berdoa (yang artinya), “Dan jauhkanlah aku dan anak keturunanku dari menyembah patung.” (Ibrahim : 35)

Apabila orang seperti beliau memiliki rasa takut yang sedemikian besar terhadap syirik -yang itu merupakan bentuk penyimpangan terburuk dari jalan yang lurus- maka bagaimanakah lagi dengan orang-orang yang berada di bawah kedudukan beliau? Apakah kita pantas untuk merasa aman dari kesesatan dan penyimpangan?! Demi Allah, wahai saudaraku, tidak ada yang bisa menjaga kita untuk tetap berjalan di atas kebenaran kecuali hanya Allah saja…

Doa Memohon Hidayah

Di dalam al-Fatihah kita juga dibimbing untuk berdoa kepada Allah dengan doa yang sangat agung, yaitu memohon limpahan hidayah. Hidayah untuk bisa berjalan di atas jalan yang lurus, jalan yang benar. Sehingga orang itu akan bisa keluar dari berlapis-lapis kegelapan menuju cahaya yang terang-benderang dan pada akhirnya sukses meraih kebahagiaan dunia dan akhirat. Kebutuhan hamba terhadap hidayah ini jauh lebih besar daripada kebutuhannya terhadap makanan dan minuman. Karena makanan dan minuman adalah bekal kehidupannya yang fana, sementara hidayah menuju jalan lurus adalah bekal menuju kehidupan yang abadi. Doa ini -ihdinash shirathal mustaqim- berisi permintaan untuk tegar di atas hidayah dan juga permohonan untuk mendapatkan tambahan hidayah (lihat Min Kunuz al-Qur’an oleh Syaikh Abdul Muhsin hafizhahullah).

Hidayah yang kita mohon setiap hari ini mencakup dua bentuk hidayah; hidayah berupa bimbingan dan arahan, serta hidayah berupa bantuan dan pertolongan. Hidayah yang pertama biasa disebut dengan hidayatul irsyad wal bayan, sedangkan hidayah yang kedua dikenal dengan istilah hidayatut taufiq wal ilham. Dengan bahasa lain, kita meminta kepada Allah agar diberi ilmu dan juga amal. Kita memohon kepada Allah agar bisa mengenali kebenaran dan tunduk mengikutinya (lihat keterangan Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah dalam Syarh Ba’dhu Fawa’id, hal. 24).

Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang membuahkan amalan. Kalau seorang hamba memiliki ilmu namun tidak mengamalkannya maka dia telah mengikuti jalannya orang-orang yang dimurkai –al-maghdhubi ‘alaihim-. Adapun apabila dia beramal namun tanpa landasan ilmu maka dia telah mengikuti jalannya orang-orang yang sesat –adh-dhaallin-. Apabila ilmu dan amal itu berjalan beriringan pada diri seorang hamba maka dia telah berjalan di atas jalannya orang-orang yang diberi karunia oleh Allah; yaitu jalannya para nabi, shiddiqin, syuhada, dan orang-orang shalih (lihat Thariq al-Wushul ila Idhah ats-Tsalatsah al-Ushul, hal. 21).

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, Orang yang diberikan kenikmatan kepada mereka itu adalah orang yang mengambil ilmu dan amal. Adapun orang yang dimurkai adalah orang-orang yang mengambil ilmu dan meninggalkan amal. Dan orang-orang yang sesat adalah orang-orang yang mengambil amal namun meninggalkan ilmu.” (lihat Syarh Ba’dhu Fawa’id, hal. 25).

Dari Usamah bin Zaid radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kelak pada hari kiamat didatangkan seorang lelaki, lalu dia dilemparkan ke dalam neraka. Usus perutnya pun terburai. Dia berputar-putar seperti seekor keledai mengelilingi alat penggilingan. Para penduduk neraka berkumpul mengerumuninya. Mereka pun bertanya kepadanya, “Wahai fulan, apa yang terjadi padamu. Bukankah dulu kamu memerintahkan yang ma’ruf dan melarang yang mungkar?”. Dia menjawab, “Benar. Aku dulu memang memerintahkan yang ma’ruf tapi aku tidak melaksanakannya. Aku juga melarang yang mungkar tetapi aku justru melakukannya.”.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang rusak diantara orang-orang yang berilmu diantara kita maka padanya terdapat keserupaan dengan Yahudi. Dan barangsiapa yang rusak diantara orang-orang yang gemar beribadah diantara kita maka padanya terdapat keserupaan dengan Nasrani.” (lihat Kutub wa Rasa’il Abdil Muhsin, 1/152-153).

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan, “Di dalamnya -surat al-Fatihah- juga terkandung bantahan bagi Yahudi; mereka itu adalah golongan almaghdubi ‘alaihim -kaum yang dimurkai- dan juga bantahan bagi siapa pun yang mengikuti jalan hidup mereka; yaitu orang yang berilmu tetapi tidak mengamalkan ilmunya. Di dalamnya juga terkandung bantahan bagi Nasrani yang suka beribadah kepada Allah tanpa mengikuti petunjuk.”(lihat Syarh Ba’dhu Fawa’id Surah al-Fatihah, hal. 10-11).

Imam Ibnul Qoyyim rahimahulllah berkata, “… Seandainya ilmu bisa bermanfaat tanpa amalan niscaya Allah Yang Maha Suci tidak akan mencela para pendeta Ahli Kitab. Dan jika seandainya amalan bisa bermanfaat tanpa adanya keikhlasan niscaya Allah juga tidak akan mencela orang-orang munafik.” (lihat al-Fawa’id, hal. 34).

Dengan dua bentuk hidayah inilah -ilmu dan amal- seorang akan berjalan di atas kebenaran dan menggapai keselamatan. Oleh sebab itu setan berusaha merusak manusia dalam hal ilmu ataupun dalam hal amalnya. Apabila rusak ilmunya maka orang itu menjadi sesat, dan apabila rusak amalnya maka orang itu menjadi dimurkai Allah. Sehingga setan berusaha menebar fitnah syubhat untuk merusak ilmu, dan menebar fitnah syahwat untuk merusak amal manusia. Karena itulah kita juga dibimbing untuk berdoa setiap pagi seusai sholat subuh dengan membaca doa yang berbunyi ‘allahumma inni as’aluka ‘ilman naafi’an wa rizqan thayyiban wa ‘amalan mutaqabbalan’ (yang artinya), “Ya Allah, aku mohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rizki yang baik, dan amal yang diterima.” (HR. Ibnu Majah, disahihkan al-Albani) (lihat keterangan Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah dalam Min Hidayat Surah al-Fatihah, hal. 32-33).

Rangkuman Faidah Ilmu Surat al-Fatihah

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, berikut ini kami sajikan ringkasan penjelasan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah mengenai faidah-faidah yang terkandung dalam surat al-Fatihah.

Pada kalimat yang berbunyi ‘alhamdulillahi Rabbil ‘alamin’ terkandung faidah :

  • Pujian kepada Allah
  • Kesempurnaan sifat-sifat Allah
  • Kesempurnaan nikmat-nikmat-Nya kepada segenap hamba
  • Penetapan uluhiyah/sifat ketuhanan pada diri Allah, hanya Allah sesembahan yang haq
  • Pujian yang mutlak dan sempurna hanya layak diberikan kepada Allah
  • Penetapan rububiyah Allah. Rabb ialah yang mencipta, menguasai, dan mengatur
  • Dalil bahwa seluruh alam sangat membutuhkan kepada Allah
  • Malaikat, para rasul, dan wali tidak memiliki hak dalam mengatur dan mencipta alam
  • Tidak boleh berdoa dan memohon keselamatan kepada selain Allah
  • Dalil bahwa alam semesta ini adalah sesuatu yang baru dan sebelumnya tidak ada
  • Seluruh alam adalah tanda/bukti yang menunjukkan keberadaan Allah
  • Penetapan tauhid uluhiyah; hanya Allah yang berhak disembah
  • Iman kepada takdir Allah

Pada kalimat yang berbunyi ‘arrahmanirrahiim’ terkandung faidah :

  • Penetapan sifat rahmat pada diri Allah
  • Dalil yang menunjukkan keluasan rahmat Allah
  • Allah menyampaikan rahmat-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya
  • Rahmat Allah ada yang diberikan kepada semua orang dan ada yang khusus bagi kaum beriman
  • Bantahan bagi orang yang mengingkari sifat rahmat pada diri Allah
  • Penetapan tauhid asma’ wa shifat

Pada kalimat yang berbunyi ‘maaliki yaumid diin’ terkandung faidah :

  • Penetapan adanya hari pembalasan (hari kiamat)
  • Kekuasaan Allah pada hari kiamat akan tempak dengan jelas bagi seluruh manusia
  • Pada hari kiamat tiada lagi raja yang berkuasa selain Allah
  • Iman kepada hari akhir
  • Penetapan adanya balasan dan hisab atas amal
  • Targhib/motivasi untuk beramal salih dan tarhib/peringatan dari melakukan keburukan
  • Kesempurnaan hikmah Allah dengan adanya hari pembalasan atas amal umat manusia
  • Kesempurnaan keadilan Allah

Pada kalimat yang berbunyi ‘iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in’ terkandung faidah :

  • Perendahan diri kepada Allah dengan penuh kecintaan dan pengagungan
  • Kebutuhan manusia untuk beribadah dan memohon pertolongan Allah
  • Mengikhlaskan/memurnikan ibadah kepada Allah semata
  • Terkandung makna dari kalimat laa ilaha illallah
  • Wajibnya mengikuti syari’at rasul
  • Ibadah hanya akan diterima jika bersih dari kesyirikan
  • Memohon pertolongan semata-mata kepada Allah
  • Menghadirkan perasaan memohon pertolongan kepada Allah di saat beribadah
  • Tiga hal yang dibutuhkan dalam ibadah; ikhlas, mutaba’ah, dan isti’anah
  • Ibadah adalah hak Allah dan pertolongan adalah bagian untuk hamba
  • Boleh meminta pertolongan kepada orang dalam hal yang dikuasai manusia
  • Berbicara dengan mengubah metode pembicaraan lebih menggugah kesadaran
  • Persatuan umat dalam hal ibadah dan memohon pertolongan kepada Allah
  • Kesetaraan imam dan makmum dalam menghamba kepada Allah
  • Selalu memohon pertolongan kepada Allah dalam urusan sekecil apapun
  • Hendaklah mengucapkan insya Allah ketika berencana untuk melakukan sesuatu

Pada kalimat yang berbunyi ‘ihdinash shirathal mustaqim’ terkandung faidah :

  • Hidayah terbagi dua; hidayah berupa ilmu dan hidayah berupa taufik
  • Berdoa kepada Allah meminta petunjuk jalan yang lurus
  • Setiap insan selalu membutuhkan Allah, oleh sebab itu tidak layak untuk merasa ujub
  • Hidayah perlu dicari bukan hanya ditunggu dengan berdiam diri
  • Agama Islam ini luas sehingga bisa menampung siapa saja yang ingin bergabung di dalamnya (tentu saja dengan mematuhi aqidah dan syari’at di dalamnya, pen)
  • Islam adalah agama yang menyeluruh dan lengkap mengatur segala sisi kehidupan
  • Bantahan pandangan bahwa Islam hanya mengatur hubungan hamba dengan Allah
  • Islam mengatur muamalah antar sesama, buktinya ayat terpanjang membahas tentang hutang
  • Islam juga mengatur bagaimana sikap manusia terhadap binatang
  • Selain jalan yang lurus ada jalan-jalan lain yang tidak lurus dan menyimpang
  • Agama Islam adalah agama yang sempurna dan tidak mengandung penyimpangan
  • Kesempurnaan hikmah Allah dengan menetapkan jalan yang lurus ini
  • Tiada pemberi hidayah yang sejati kecuali Allah

Pada kalimat yang berbunyi ‘shirathalladziina an’amta ‘alaihim’ terkandung faidah :

  • Orang yang diberi nikmat itu mencakup; para nabi, shiddiqin, syuhada’/orang-orang yang mati syahid di jalan Allah dan orang-orang salih
  • Allah berikan nikmat kepada mereka dengan tunduk kepada syari’at-Nya
  • Perlu mengkaji sejarah perjalanan hidup orang-orang yang diberi nikmat
  • Anjuran untuk mengetahui sirah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
  • Nikmat agama jauh lebib agung daripada nikmat keduniaan
  • Orang yang meniti jalan yang lurus maka dia sedang berada di dalam kenikmatan
  • Allah lah yang berjasa dan memberikan nikmat atas hamba-hamba-Nya
  • Hendaknya memuji Allah atas segala amal salih yang telah kita lakukan
  • Iman kepada malaikat, karena nabi dan rasul -yang mereka termasuk golongan orang yang diberi nikmat itu- mendapatkan wahyu dari Allah melalui para malaikat

Pada kalimat yang berbunyi ‘ghairil maghdhubi ‘alaihim wa ladh dhaalliin’ terkandung faidah :

  • Orang yang dimurkai adalah yang mengetahui kebenaran tapi tidak mau mengikutinya
  • Orang yang sesat adalah yang tidak mengetahui kebenaran sehingga menyimpang
  • Yahudi adalah imamnya kaum yang dimurkai dan Nasrani imamnya kaum yang tersesat
  • Manusia ada 3 macam; orang yang diberi ilmu dan amal, yang diberi ilmu saja tanpa amal, dan orang yang tidak diberi ilmu sehingga tidak bisa beramal dengan benar
  • Besarnya dosa orang yang berilmu tetapi tidak diamalkan, karena Allah murka kepadanya
  • Perlunya kita mengetahui kisah perjalanan hidup orang-orang yang dimurkai
  • Wajibnya berlepas diri dari jalan orang-orang yang dimurkai dan tersesat
  • Larangan bertasyabbuh/meniru-niru kebiasaan orang-orang kafir
  • Wajibnya memusuhi dan membenci orang-orang yang dimurkai dan tersesat
  • Kedua kelompok itu -baik yang dimurkai atau yang tersesat- adalah sama-sama buruk
  • Kewajiban menimba ilmu agar terbebas dari kebodohan
  • Kewajiban menunaikan amal dan ibadah agar tidak termasuk kelompok yang dimurkai
  • Orang yang mengetahui kebenaran tapi tidak mengikutinya lebih jelek keadaannya daripada orang yang tidak mengetahui kebenaran sama sekali
  • Kewajiban untuk menerapkan ilmu yang telah dimiliki
  • Kita wajib membenci dan murka kepada orang-orang yang dimurkai oleh Allah
  • Kehinaan pada diri orang-orang yang dimurkai
  • Penetapan sifat marah/murka pada diri Allah
  • Kemurkaan Allah memberikan konsekuensi adanya hukuman dari-Nya
  • Sesat adalah sifat tercela sedangkan berilmu adalah sifat kesempurnaan
  • Ilmu yang layak mendapatkan pujian secara mutlak adalah ilmu syari’at
  • Orang yang tidak tahu tidak layak untuk diberikan hukuman
  • Akan tetapi jika orang tersebut malas menimba ilmu sehingga tidak tahu maka dia layak diberi hukuman karena kemalasannya

Kesimpulan :

Surat al-Fatihah adalah induk dan pembuka al-Qur’an. Di dalamnya telah tekandung macam-macam tauhid, isyarat mengenai syari’at-syari’at, isyarat mengenai para rasul, malaikat, dan hari akhir. Demikian pula ia telah menggambarkan berbagai macam kelompok umat manusia. Semua makna ajaran dalam al-Qur’an telah terangkum di dalam surat ini.

al-Fatihah menyimpan semua syari’at, baik yang berkaitan dengan ucapan, perbuatan, maupun keyakinan. Baik hal itu yang berkaitan dengan sesuatu yang dituntut untuk diwujudkan atau sesuatu yang harus dijauhi. Dan untuk itu semua setiap insan selalu membutuhkan pertolongan Allah. Intinya surat ini adalah surat yang sangat penting dan banyak mengandung faidah.

Meskipun demikian tidak selayaknya membaca surat ini pada setiap kesempatan/acara dalam rangka mencari berkah darinya; karena perbuatan semacam ini tidak dituntunkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun mengobati orang yang sakit dengan membaca surat ini maka hal itu adalah sesuatu yang diperbolehkan dalam syari’at.

***

Sumber : Ahkam min al-Qur’an al-Karim oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah, hal. 11 – 50. Penerbit : Dar Thawiq li Nasyr wa Tauzi’

Penulis: Ari Wahyudi, S.Si.

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/27475-pelajaran-aqidah-dan-manhaj-dari-surat-al-fatihah-3.html

Pelajaran Aqidah Dan Manhaj Dari Surat Al-Fatihah (2)

Bantahan Bagi Kaum Musyrikin

Diantara faidah yang sangat penting di dalam surat al-Fatihah adalah bantahan bagi berbagai macam bentuk kemusyrikan. Sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah. Beliau berkata, “Di dalamnya terkandung bantahan bagi kaum musyrikin yang beribadah kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala‘Iyyaka na’budu’ -hanya kepada-Mu kami beribadah- dimana di dalamnya terdapat pemurnian ibadah untuk Allah. Oleh sebab itu di dalamnya terkandung bantahan bagi kaum musyrikin yang beribadah kepada selain Allah bersama-Nya.” (lihat al-Jami’ al-Mufid fi Fawa’id Surah al-Fatihah disusun oleh Abu Abdillah al-Mashna’i, hal. 14).

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Di dalam firman-Nya ta’ala (yang artinya), “Hanya kepada-Mu kami beribadah.” terkandung dalil bahwa apabila dalam melakukan ibadah dipersekutukan sesuatu/pujaan lain bersama Allah maka hal itu tidaklah menjadi ibadah -yang benar- untuk dipersembahkan kepada Allah, dan ibadah yang dilakukan oleh si pelaku ibadah itu tidak akan diterima.” (lihat Ahkam min al-Qur’an al-Karim, hal. 23).

Keterangan di atas memberikan faidah kepada kita bahwa ibadah adalah hak Allah semata. Tidak boleh menujukan ibadah kepada siapa pun kecuali kepada Allah. Dan hal ini berlaku umum mencakup semua bentuk ibadah. Apa pun ibadahnya maka harus ikhlas dilakukan untuk Allah, tidak boleh dicampuri dengan syirik. Demikian pula larangan beribadah kepada selain Allah itu bermakna umum mencakup segala hal yang disembah selain Allah, apakah itu malaikat, nabi, wali, dsb.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hak Allah atas segenap hamba adalah hendaknya mereka beribadah kepada Allah dan tidak mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Allah berfirman (yang artinya), “Dan Rabbmu memerintahkan bahwa janganlah kalian beribadah kecuali hanya kepada-Nya, dan kepada kedua orang tua hendaklah kalian berbuat baik…” (al-Israa’ : 23). Allah juga berfirman (yang artinya), “Sembahlah Allah dan janganlah kalian mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun.” (an-Nisaa’ : 36).

Allah juga berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya hendaklah dia melakukan amal salih dan janganlah dia mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.” (al-Kahfi : 110).

Allah juga berfirman (yang artinya), “Sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelummu; Jika kamu berbuat syirik niscaya lenyaplah seluruh amalmu dan benar-benar kamu akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (az-Zumar : 65).

Kaidah Ibadah dari Surat al-Fatihah

Surat al-Fatihah mengandung pelajaran penting seputar makna dan hakikat ibadah. Di dalamnya terkandung pokok-pokok ibadah; yaitu cinta, takut, dan harap. Di dalamnya juga terkandung syarat diterimanya ibadah; yaitu harus ikhlas dan sesuai tuntunan. Di dalamnya juga terkandung ketetapan bahwa ibadah adalah hak Allah semata, tidak boleh menujukan ibadah kepada selain-Nya.

Ibadah adalah sebuah nama yang meliputi segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah; baik berupa ucapan maupun perbuatan, yang tampak dan yang tersembunyi. Ini adalah pengertian paling bagus dalam pendefinisian ibadah (lihat Kutub wa Rasa’il Abdil Muhsin, 6/189).

Ibadah memiliki urgensi yang sangat agung. Disebabkan Allah menciptakan makhluk, mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab demi memerintahkan mereka beribadah kepada-Nya dan melarang beribadah kepada selain-Nya. Allah berfirman (yang artinya), “Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (adz-Dzariyat : 56). Maknanya Allah menciptakan mereka untuk diperintah agar beribadah kepada-Nya dan dilarang dari bermaksiat kepada-Nya (lihat Kutub wa Rasa’il Abdil Muhsin, 6/189).

Hakikat dari ibadah itu sendiri adalah perendahan diri kepada Allah yang dilandasi kecintaan dan pengagungan dengan cara melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Ibadah itu adalah sumber kebahagiaan insan. Ibadah harus dikerjakan dengan ikhlas untuk Allah semata. Karena ibadah itu adalah hak khusus milik Allah. Di dalam kalimat ‘iyyaka na’budu’ telah terkandung penetapan bahwa tidak ada yang berhak disembah selain Allah. Oleh sebab itu di dalam kalimat ini terkandung makna dari kalimat tauhid laa ilaha illallah (lihat keterangan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dalam Ahkam Minal Qur’anil Karim, hal. 22-23).

Di dalam kalimat ‘alhamdulillah’ terkandung kecintaan. Karena Allah adalah Dzat yang mencurahkan nikmat dan Dzat yang mencurahkan nikmat itu dicintai sekadar dengan kenikmatan yang diberikan olehnya. Jiwa manusia tercipta dalam keadaan mencintai siapa saja yang berbuat baik kepadanya. Sementara Allah adalah sumber segala nikmat dan karunia yang ada pada diri hamba. Oleh sebab itu wajib mencintai Allah dengan kecintaan yang tidak tertandingi oleh kecintaan kepada segala sesuatu. Karena itulah kecintaan menjadi salah satu bentuk ibadah yang paling agung (lihat keterangan Syaikh al-Fauzan dalam Silsilah Syarh Rasa’il, hal. 185).

Di dalam kalimat ‘ar-Rahmanir Rahiim’ terkandung harapan. Karena Allah adalah pemilik sifat rahmat/kasih sayang. Oleh sebab itu kaum muslimin senantiasa mengharapkan rahmat Allah (lihat keterangan Syaikh al-Fauzan dalam Silsilah Syarh Rasa’il, hal. 190).

Konsekuensi dari sifat rahmat ini adalah Allah mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab untuk membimbing manusia demi kebahagiaan hidup mereka. Perhatian Allah untuk itu jelas lebih besar daripada sekedar perhatian Allah untuk menurunkan hujan, menumbuhkan tanam-tanaman dan biji-bijian di atas muka bumi ini. Siraman air hujan membuahkan kehidupan tubuh jasmani bagi manusia. Adapun wahyu yang dibawa oleh para rasul dan terkandung di dalam kitab-kitab merupakan sebab hidupnya hati mereka (lihat at-Tafsir al-Qoyyim, hal. 8).

Di dalam kalimat ‘maaliki yaumid diin’ terkandung rasa takut. Karena di dalamnya terkandung rasa takut terhadap hari kiamat. Oleh sebab itu setiap muslim merasa takut akan hukuman Allah pada hari kiamat (lihat Silsilah Syarh Rasa’il, hal. 190-191).

Apabila terkumpul ketiga hal ini -cinta, harap, dan takut- di dalam ibadah maka itulah asas tegaknya ibadah. Adapun orang yang beribadah kepada Allah hanya dengan bersandar kepada salah satunya saja maka dia menjadi orang yang sesat. Orang yang beribadah kepada Allah dengan cinta belaka tanpa rasa takut dan harap maka ini adalah jalannya kaum Sufiyah yang mengatakan bahwa ‘kami beribadah kepada Allah bukan karena takut neraka atau mengharapkan surga, tetapi kami beribadah kepada-Nya hanya karena kami mencintai-Nya’. Cara beribadah semacam ini adalah kesesatan. Karena sesungguhnya para nabi dan malaikat sebagai makhluk yang paling utama merasa takut kepada Allah dan mengharap kepada-Nya. Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya mereka itu adalah bersegera dalam kebaikan dan berdoa kepada Kami dengan penuh rasa harap dan takut…” (al-Anbiyaa’ : 90) (lihat Silsilah Syarh Rasa’il, hal. 191).

Orang yang beribadah kepada Allah hanya dengan bersandar kepada harapan (roja’) maka dia termasuk penganut pemikiran Murji’ah yang hanya bersandar kepada harapan dan tidak takut akan dosa dan maksiat. Mereka mengatakan bahwa iman cukup dengan pembenaran dalam hati atau pembenaran hati dan diucapkan dengan lisan. Mereka juga mengatakan bahwa amal itu sekedar penyempurna dan pelengkap. Hal ini adalah kesesatan, karena sesungguhnya iman itu mencakup ucapan, amalan, dan keyakinan. Ketiga hal ini harus ada, tidak cukup dengan salah satunya saja (lihat keterangan Syaikh al-Fauzan dalam Silsilah Syarh Rasa’il, hal. 191-192).

Barangsiapa yang beribadah kepada Allah hanya dengan bersandar kepada rasa takut (khauf) maka dia berada di atas jalan kaum Khawarij yang beribadah kepada Allah hanya dengan bertumpu pada rasa takut. Sehingga mereka hanya mengambil dalil-dalil yang berisi ancaman (wa’iid) dan pada saat yang sama mereka justru meninggalkan dalil-dalil yang berisi janji (wa’d), ampunan, dan rahmat. Ketiga kelompok ini yaitu Sufiyah, Murji’ah dan Khawarij adalah kelompok yang ekstrim/ghuluw dalam beragama (lihat Silsilah Syarh Rasa’il, hal. 192).

Adapun jalan yang benar adalah beribadah kepada Allah dengan memadukan ketiga hal ini; cinta, harap, dan takut. Inilah iman. Inilah jalan kaum beriman. Inilah hakikat tauhid. Dan inilah yang terkandung dalam surat al-Fatihah. ‘alhamdulillah’ mengandung pilar kecintaan. ‘ar-rahmanir rahiim’ mengandung pilar harapan. Dan ‘maaliki yaumid diiin’ mengandung pilar rasa takut (lihat keterangan Syaikh al-Fauzan dalam Silsilah Syarh Rasa’il, hal. 192).

Di dalam kalimat ‘iyyaka na’budu’ (yang artinya), “Hanya kepada-Mu kami beribadah” terkandung syarat ikhlas dalam beribadah. Karena di dalam kalimat ini objeknya dikedepankan -yaitu iyyaka– dan didahulukannya objek -dalam kaidah bahasa arab- menunjukkan makna pembatasan. Sehingga makna ‘iyyaka na’budu’ adalah ‘kami mengkhususkan kepada-Mu dalam melakukan ketaatan, kami tidak akan memalingkan ibadah kepada siapa pun selain Engkau’ (lihat Min Hidayati Suratil Fatihah karya Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah, hal. 18).

Adapun syarat ibadah harus sesuai tuntunan terkandung dalam kalimat ‘ihdinash shirathal mustaqim dst’. Hal ini menunjukkan bahwa Allah tidak akan menerima amal kecuali apabila sesuai dengan jalan yang lurus yaitu jalan yang diserukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa melakukan amal yang tidak ada tuntunannya dari kami maka ia pasti tertolak.” (HR. Muslim) (lihat Min Hidayati Suratil Fatihah karya Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah, hal. 19).

Konsekuensi dari syahadat ‘asyhadu anlaa ilaha illallah’ adalah mengikhlaskan amal untuk Allah semata sehingga tidaklah dipalingkan suatu bentuk ibadah apapun kepada selain-Nya, bahkan seluruh ibadah itu dimurnikan hanya untuk mencari wajah Allah subhanahu wa ta’ala. Dan konsekuensi dari syahadat ‘wa asyhadu anna Muhammadar rasulullah’ adalah ibadah itu harus sesuai dengan tuntunan yang dibawa oleh Rasul yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh sebab itu Allah tidak boleh diibadahi dengan bid’ah, perkara-perkara yang baru dalam agama ataupun segala bentuk kemungkaran (lihat Kutub wa Rasa’il Abdil Muhsin, 6/190).

Di dalam ‘iyyaka na’budu’ pada hakikatnya juga terkandung dalil bahwasanya apabila ibadah tercampuri syirik maka ia tidak lagi menjadi ibadah yang benar untuk Allah. Dan ibadah semacam itu pun tidak akan diterima di sisi-Nya. Allah berfirman dalam hadits qudsi, “Aku adalah Dzat yang paling tidak membutuhkan sekutu. Barangsiapa melakukan amal seraya mempersekutukan bersama-Ku dengan selain-Ku, maka Aku tinggalkan dia dan syiriknya itu.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu) (lihat Ahkam Minal Qur’anil Karim, hal. 23).

Isti’anah (meminta pertolongan kepada Allah) adalah bagian dari ibadah. Meskipun demikian di dalam al-Fatihah ia disebutkan secara khusus setelah ibadah. Allah berfirman (yang artinya), “Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan/beristi’anah.” Hal ini menunjukkan betapa besarnya kebutuhan hamba untuk memohon pertolongan Allah dalam menjalankan semua ibadah. Karena sesungguhnya apabila Allah tidak menolongnya niscaya dia tidak akan bisa meraih apa yang dia kehendaki; apakah dalam hal melaksanakan perintah atau pun menjauhi larangan (lihat keterangan Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah dalam Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 39).

Dengan menunaikan ibadah kepada Allah dan senantiasa memohon pertolongan-Nya hamba akan bisa meraih kebahagiaan yang abadi dan terselamatkan dari segala keburukan. Tidak ada jalan menuju keselamatan kecuali dengan menegakkan kedua hal ini; yaitu menegakkan ibadah kepada Allah dan selalu memohon bantuan kepada-Nya (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 39).

Seorang yang bisa merealisasikan kandungan dari ‘iyyaka na’budu’ maka dia akan terbebas dari riya’. Dan orang yang bisa merealisasikan kandungan dari ‘iyyaka nasta’in’ maka dia akan terbebas dari ujub (lihat Mawa’izh Syaikhil Islam Ibni Taimiyah, hal. 83).

Sebuah realita yang sangat menyedihkan adalah banyak diantara kaum muslimin di masa kita sekarang ini yang telah mengucapkan Iyyaka na’budu wa Iyyaka nasta’in, akan tetapi di sisi lain mereka tidak memperhatikan kandungan maknanya sama sekali. Mereka tidak memurnikan ibadahnya kepada Allah semata. Mereka juga beribadah kepada selain-Nya. Seperti halnya orang-orang yang berdoa -padahal doa adalah intisari ibadah, pen- kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, berdoa kepada Husain, kepada Abdul Qadir Jailani, Badawi, dan lain sebagainya. Ini semua termasuk perbuatan syirik akbar dan dosa yang tidak akan diampuni pelakunya apabila dia mati dalam keadaan belum bertaubat darinya (lihat Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 19-20).

[bersambung]

***

Penulis: Ari Wahyudi, S.Si.

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/27467-pelajaran-aqidah-dan-manhaj-dari-surat-al-fatihah-2.html

Perbedaan antara Aqidah, Tauhid dan Manhaj

Istilah aqidah, tauhid dan manhaj sangat sering kita dengar terutama di kalangan penuntut ilmu. Istilah-istilah ini memiliki pengertian yang berbeda apabila dirinci. Hendaknya penuntut ilmu berusaha memahami hal ini, yang menujukkan ia berusaha paham dasar agama. Belajar agama dari dasar merupakan cara beragama yang baik dan mengantarkan kepada kebahagiaan. Kita tidak berharap tidak ada penuntut ilmu yang gemar berdebat kusir padahal membedakan definisi dasar ini saja tidak paham.

Manhaj Lebih Luas daripada Aqidah

Secara umum, manhaj lebih luas dari pada aqidah karena manhaj adalah metodologi beragama yang meliputi aqidah, akhlak, muamalah dan lain-lainnya. Aqidah lebih luas daripada tauhid, karena aqidah mencakup aqidah terkait apa yang Allah dan Rasul-Nya sampaikan kepada kita meliputi aqidah terkait dengan mengesakan Allah (tauhid), aqidah terhadap rasul-Nya, kitab-Nya, malaikat, hari akhir, takdir dan lain-lain.

Syaikh Shalih Fauzan menjelasakn bahwa manhaj lebih luas daripada aqidah, beliau berkata:

ج / المنهج أعم من العقيدة ، المنهج يكون في العقيدة وفي السلوك والأخلاق والمعاملات وفي كل حياة المسلم ، كل الخطة التي يسير عليها المسلم تسمى المنهج .
أما العقيدة فيراد بها أصل الأيمان ، ومعنى الشهادتين ومقتضاهما هذا هي العقيدة

“Manhaj lebih umum daripada aqidah. Manhaj meliputi aqidah, perilaku, akhlak, muamalah dan setiap hidup seorang muslim. Setiap langkah (metodologi) yang di mana seorang muslim berjalan disebut dengan manhaj. Adapun aqidah maksudnya adalah dasar iman, makna syahadat dan konsekuensinya.” [Al-Ajwibatul Mufidah hal. 75]

Aqidah Lebih Luas daripada Tauhid

Aqidah lebih luas daripada tauhid, syaikh Abdul Aziz bin Baz menjelaskan bahwa aqidah itu mencakup tauhid, jadi aqidah lebih luas, beliau berkata:

والعقيدة: هي ما يعتقده الإنسان بقلبه ويراه عقيدة يدين الله بها ويتعبده بها، فيدخل فيها كل ما يعتقده من توحيد الله والإيمان بأنه الخلاق الرزاق وبأنه له الأسماء الحسنى والصفات العلى

“Aqidah adalah apa yang menjadi keyakinan kuat seseorang di hatinya dan ia beranggapan dengan aqidah itu ia beragama dan menyembah Allah. Termasuk di dalam cakupan aqidah adalah tauhid kepada Allah dan beriman bahwa Allah Paha Pencipta, Maha Pemberi Rezeki dan Allah memiliki asmaul husna dan sifat yang tinggi.” [Majmu’ Fatawa syaikh Bin Baz 6/277]

Catatan Penting

  1. Sebagian ulama tidak membedakan antara aqidah dan manhaj

Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali berkata,

أنا سمعت الشيخ ابن باز لا يفرّق بين العقيدة والمنهج ويقول: كلّها شيء واحد، والشيخ الألباني يفرّق، وأنا أفرّق، أرى أنّ المنهج أشمل من العقيدة، فالمنهج يشمل العقيدة ويشمل العبادات ويشمل كيف تتفقّه ويشمل كيف تنتقد، ويشمل كيف تواجه أهل البدع 

“Aku mendengar syaikh bin Baz tidak membedakan antara aqidah dan manhaj, kedua hal ini sama. Syaikh Al-Albani membedakan dan aku juga membedaan. Aku berpendapat bahwa manhaj lebih luas daripada aqidah. Manhaj mencakup aqidah, mencakup ibadah dan mencakup cara berfikih, mencakup metode mengkritik/menyangah dan menghadapi (menyanggah) ahli bid’ah.” [sumber: http://www.rabee.net/ar/questions.php?cat=31&id=318]

  1. Sebagian ulama menyamakan antara aqidah dan iman

Syaikh Shalih Al-Fauzan berkata,

العقيدة هى الإيمان وهو ما يعتقده القلب ويؤمن به، فالعقيدة والإيمان شئٌ واحد، وهما من أعمال القلوب

“Aqidah adalah iman yaitu apa yang menjadi keyakinan hati seseorang dan beriman dengannya. Aqidah dan iman adalah sama. Keduanya merupakan amalan hati.” [sumber : https://www.alfawzan.af.org.sa/en/node/15448]

Demikian semoga bermanfaat

Penyusun: Raehanul Bahraen

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/52250-perbedaan-antara-aqidah-tauhid-dan-manhaj.html