Tafsir Ringkas Surah Al-Fatihah (Bag. 4)

Bismillah walhamdulillah washshalatu wassalamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du.

Ringkasan

Berikut ini ringkasan dari seluruh keterangan di serial artikel ini sebelumnya.

Ringkasan ayat pertama

بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَـٰنِ ٱلرَّحِیمِ

Kita memulai bacaan dengan hanya menyebut nama-nama Allah, satu-satunya Tuhan yang berhak disembah. Tuhan yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Tuhan yang menyayangi seluruh makhluk-Nya dengan rahmat umum, dan menyayangi hanya hamba-hamba-Nya yang beriman dengan rahmat khusus. Sembari memohon pertolongan dan berkah kepada-Nya dalam membaca Al-Fatihah ini.

Ringkasan ayat kedua

ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَـٰلَمِینَ

Segala puji dan syukur yang sempurna hanya bagi Allah. Tuhan pemelihara seluruh makhluk. Pujian yang diiringi  dengan rasa cinta dan pengagungan kepada-Nya. Berlandaskan dengan keyakinan bahwa Allah Ta’ala Mahasempurna dari segala sisi.

Ringkasan ayat ketiga

ٱلرَّحۡمَـٰنِ ٱلرَّحِیمِ

Allah adalah Tuhan yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Tuhan yang menyayangi seluruh makhluk-Nya dengan rahmat umum, dan menyayangi hanya hamba-hamba-Nya yang beriman dengan rahmat khusus.

Ringkasan ayat keempat

مَـٰلِكِ یَوۡمِ ٱلدِّینِ

Allah adalah Tuhan pemilik hari pembalasan. Allah membalas mereka sesuai dengan amalan mereka. Jika amalan mereka baik, maka baik pula balasannya. Namun jika amalan mereka buruk, maka buruk pula balasannya, kecuali bagi hamba yang Allah maafkan. Oleh karena itu, semua urusan kembali kepada keputusan-Nya karena hanya Allah-lah pemilik hari pembalasan.

Ringkasan ayat kelima

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

Hanya kepada Engkau kami beribadah, yang merupakan tujuan hidup kami. Dan hanya kepada Engkau semata pula kami mohon pertolongan dalam beribadah kepada-Mu.

Ringkasan ayat keenam

ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَ ٰ⁠طَ ٱلۡمُسۡتَقِیمَ

Teguhkanlah kami di atas agama Islam. Jauhkanlah kami dari segala perkara yang membatalkan keislaman. Berilah kami tambahan petunjuk ilmu tentang syariat Islam dan pengamalannya.

Ringkasan ayat ketujuh

صِرَ ٰ⁠طَ ٱلَّذِینَ أَنۡعَمۡتَ عَلَیۡهِمۡ غَیۡرِ ٱلۡمَغۡضُوبِ عَلَیۡهِمۡ وَلَا ٱلضَّاۤلِّینَ

Jalan yang dimaksud yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka berupa ilmu syar’i dan amal saleh. Bukan jalan mereka yang Engkau murkai. Mereka yang dimurkai adalah orang yang berilmu tapi tidak mengamalkan ilmunya. Bukan pula jalan mereka yang sesat, yaitu orang yang beramal tanpa ilmu.

Penutup

Semoga Allah menerima amal sederhana ini sebagai amal jariah bagi kami. Memberikan keberkahan untuk kami; kaum muslimin dan muslimat.

Wallahu a’lam.

Alhamdulillahiladzi bini’matihi tatimmushaalihaat.

[Selesai]

***

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

Sumber: https://muslim.or.id/72514-tafsir-ringkas-surah-al-fatihah-bag-4.html

Tafsir Ringkas Surah Al-Fatihah (Bag. 3)

Bismillah walhamdulillah washshalatu wassalamu ‘ala Rasulillah. Amma ba’du,Daftar Isisembunyikan 1. Tafisr surah Al-Fatihah ayat keenam 1.1. Faedah ayat keenam 1.2. Kesimpulan tafsir ayat keenam 2. Tafsir surah Al-Fatihah ayat ketujuh 2.1. Kesimpulan tafsir ayat ketujuh

Tafisr surah Al-Fatihah ayat keenam

ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَ ٰ⁠طَ ٱلۡمُسۡتَقِیمَ

“Tunjukilah kami jalan yang lurus.”

Maksud (ٱهۡدِنَا)

adalah memohon seluruh macam petunjuk (hidayah) Allah.

Karena firman Allah Ta’ala

(ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَ ٰ⁠طَ ٱلۡمُسۡتَقِیمَ) ini mengandung makna yang menyeluruh, yaitu:

Pertama, teguhkanlah kami di atas agama Islam.

Kedua, tunjukilah kami perincian agama Islam, baik ilmu syar’i maupun pengamalannya.[1]

Oleh karena inilah, Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma menafsirkan bahwa maksud ayat ini adalah berilah kami petunjuk, taufik, dan ilham.[2]

Sedangkan macam-macam hidayah Allah dalam ayat keenam ini, yaitu:

Ditinjau dari sisi ilmu dan amal, maka hidayah Allah Ta’ala dalam ayat yang agung ini terbagi dua, yaitu:[3]

Pertama, hidayatul irsyad berupa ilmu syar’i.

Kedua, hidayatut taufiq berupa amal saleh.

Ditinjau dari sisi Islam dan perinciannya, maka hidayah Allah Ta’ala dalam ayat yang agung ini terbagi dua, yaitu:

Pertama, hidayah agar istikamah tetap di atas agama Islam dan meninggalkan agama selainnya dan perkara yang membatalkan keislaman, berupa kesyirikan dan kekafiran. Oleh karena inilah, Ali radhiyallahu ‘anhu menafsirkan (ٱهۡدِنَا) dengan “Teguhkanlah kami”.[4]

Kedua, hidayah berupa tambahan petunjuk dalam bentuk perincian ajaran Islam, baik ilmu syar’i maupun pengamalannya, baik dalam hal akidah dan tauhid, muamalah, ibadah, akhlak, dan selainnya.[5]

Dengan demikian, petunjuk Allah Ta’ala sangat dibutuhkan oleh makhluk dalam semua kondisinya, seperti petunjuk ilmu tentang jenis amal saleh, petunjuk agar hati bisa menghendakinya (kehendak melakukan amal saleh), petunjuk mampu mengamalkannya dengan benar dan terhindar dari penghalang-penghalangnya, petunjuk setelah beramal untuk bisa istikamah dan bisa menghindari penggugur amalan, petunjuk mendakwahkannya serta bersabar atas gangguan di jalan dakwah[6], serta petunjuk berdoa agar mampu melakukan amal ibadah dengan terpenuhi dua syarat diterima amal ibadah, serta agar diterima amalannya oleh Allah Ta’ala.

Karena demikan luasnya kandungan ayat ini, maka doa dalam ayat ini disebutkan dalam Tafsir As-Sa’di rahimahullah, sebagai doa yang paling lengkap, paling menyeluruh, dan paling bermanfaat bagi seorang hamba.

Maksud (ٱلصِّرَ ٰ⁠طَ ٱلۡمُسۡتَقِیمَ)

Berdasarkan surah Al-Ahqaf ayat 30 dan surah Asy-Syura ayat 52, maka (ٱلصِّرَ ٰ⁠طَ ٱلۡمُسۡتَقِیمَ) adalah jalan Al-Qur’an Al-Karim dan As-Sunnah, atau dengan kata lain adalah jalan Islam, karena keduanya adalah dasar ajaran agama Islam.

Oleh karena itu, ulama ahli tafsir di kalangan sahabat, Abdullah Ibnu Abbas dan Abdullah Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhuma, serta dari kalangan tabi’in Al-Hasan dan Abul ‘Aliyah rahimahumallah menafsirkan (ٱلصِّرَ ٰ⁠طَ ٱلۡمُسۡتَقِیمَ) dengan agama Islam.

Inilah dalil bahwa jalan Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah jalan yang lurus (Ash-Sirath Al-Mustaqim). Allah Ta’ala berfirman,

یَهۡدِیۤ إِلَى ٱلۡحَقِّ وَإِلَىٰ طَرِیقࣲ مُّسۡتَقِیمࣲ

“Al-Qur’an membimbing kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus.” (QS. Al-Ahqaf : 30)

وَإِنَّكَ لَتَهۡدِیۤ إِلَىٰ صِرَ ٰ⁠طࣲ مُّسۡتَقِیمࣲ

“Dan sungguh, Engkau (Rasulullah) benar-benar membimbing (manusia) kepada jalan yang lurus.” (QS. Asy-Syura: 52)

Faedah ayat keenam

Pertama, karena kandungan ayat ini adalah memohon hidayah Al-Qur’an dan As-Sunnah dalam melaksanakan agama Islam ini, maka hakikatnya ayat ini adalah isyarat kepada kewajiban memenuhi salah satu dari dua syarat diterimanya amal ibadah, yaitu al-mutaba’ah. Al-mutaba’ah adalah meniti jalan lurus yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam beribadah kepada-Nya.

Sedangkan syarat diterimanya amal ibadah yang satu lagi adalah ikhlas, mencari rida Allah Ta’ala semata dalam melaksanakan agama Islam ini, beribadah kepada-Nya. Hal ini ditunjukkan dalam ayat kelima (إِيَّاكَ نَعْبُدُ).

Kedua, dalam ayat ini, ash-sirath al-mustaqim” disebutkan dalam bentuk tunggal. Sedangkan dalam ayat yang lain di surah Al-An’am ayat 153, “jalan kesesatan” disebutkan dalam bentuk jamak. Hal ini menunjukkan bahwa jalan kebenaran hanya satu, yaitu Islam, sedangkan jalan kesesatan itu banyak.

Kesimpulan tafsir ayat keenam

ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَ ٰ⁠طَ ٱلۡمُسۡتَقِیمَ

Bermakna,

“Teguhkanlah kami di atas agama Islam dan jauhkanlah kami dari segala perkara yang membatalkan keislaman. Serta berilah kami tambahan petunjuk ilmu perincian ajaran Islam dan perincian pengamalannya.”

Tafsir surah Al-Fatihah ayat ketujuh

صِرَ ٰ⁠طَ ٱلَّذِینَ أَنۡعَمۡتَ عَلَیۡهِمۡ غَیۡرِ ٱلۡمَغۡضُوبِ عَلَیۡهِمۡ وَلَا ٱلضَّاۤلِّینَ

“(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat”

Maksud (صِرَ ٰ⁠طَ ٱلَّذِینَ أَنۡعَمۡتَ عَلَیۡهِمۡ)

Maksud dari “Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka”, yaitu:

Pertama, Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya menjelaskan bahwa mereka adalah ahli hidayah (orang-orang yang berilmu syar’i) dan istikamah beramal saleh lagi ta’at kepada Allah Ta’ala dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebagaimana juga Ibnul Qoyyim rahimahullah menafsirkan mereka ini adalah orang-orang yang berilmu syar’i dan beramal saleh.

Kedua, Al-Baghawi rahimahullah dalam tafsirnya menukilkan tafsir Salaf Shalih:

Ahli tafsir dari kalangan tabi’ut tabi’in, Abdur Rahman bin Zaid rahimahullah menafsirkan bahwa mereka adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum.

Pakar tafsir dari kalangan tabi’in, Abul ‘Aliyah rahimahullah menyatakan bahwa mereka adalah para pengikut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakar, Umar bin Al-Khaththab, dan ahli bait Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Sorang ulama besar tabi’in, Syahr bin Hausyab rahimahullah menafsirkan bahwa mereka adalah para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan ahli baitnya.

Ketiga, Ibnul Qoyyim rahimahullah menukilkan tafsir seorang ulama tafsir kota Madinah dari kalangan tabi’in, Zaid bin Aslam rahimahullah yang menyatakan bahwa mereka adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakar, dan Umar radhiyallahu ‘anhum.[7]

Pelajaran besar dari tafsir para Salaf Shalih terhadap ayat (صِرَ ٰ⁠طَ ٱلَّذِینَ أَنۡعَمۡتَ عَلَیۡهِمۡ)[8]

Pertama, jika Anda ingin meniti ash-sirath al-mustaqim, maka ikutilah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum. Bagaimanakah jalan mereka dalam memahami agama Islam dan mengamalkannya.

Kedua, jika Anda ingin memahami dan mengamalkan Al-Qur’an dan As-Sunnah (ash-sirath al-mustaqim) dengan benar, maka ikuti pemahaman dan pengamalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum. Inilah yang dimaksud dengan bermanhaj Salaf Shalih dalam beragama Islam.

Dengan demikian, ayat ketujuh ini mengisyaratkan bahwa tidak cukup kita hanya berpegang dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah saja, namun haruslah ditambah dengan pemahaman dan pengamalan Salaf Shalih terhadap keduanya. Sehingga pilar beragama Islam itu tiga, yaitu: 1) Al-Qur’an; 2) As-Sunnah; 3) manhaj Salaf Shalih. Salaf Shalih adalah sahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, serta murid-muridnya (tabi’in), dan murid-murid tabi’in (tabi’ut tabi’in) berdasarkan hadis yang muttafaqun ‘alaihi dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu.

Ketiga, barangsiapa yang dalam beragama Islam menyimpang dari jalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum, maka pastilah berada dalam kesesatan, sebagaimana di dalam surah An-Nisa’ ayat 115 dan diancam neraka Jahannam.

Maksud (غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ)

Maksud “bukan (jalan) mereka yang dimurkai” adalah bukan jalan orang-orang yang berilmu tapi meninggalkan amal, seperti Yahudi. Karena Allah Ta’ala menghukumi Yahudi dengan mendapatkan kemurkaan-Nya, sebagaimana dalam surah Al-Maidah ayat 60,

قُلۡ هَلۡ أُنَبِّئُكُم بِشَرࣲّ مِّن ذَ ٰ⁠لِكَ مَثُوبَةً عِندَ ٱللَّهِۚ مَن لَّعَنَهُ ٱللَّهُ وَغَضِبَ عَلَیۡهِ

“Katakanlah (Muhammad), “Apakah akan aku beritakan kepada kalian tentang orang yang lebih buruk pembalasannya dari (orang fasik) di sisi Allah? Yaitu, orang yang dilaknat dan dimurkai Allah.” (QS. Al.Maidah: 60)

Maksud (وَلَا الضَّاۤلِّيْنَ)

Maksud “dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat” adalah bukan jalan orang-orang yang beramal tanpa dasar ilmu, seperti nashara. Karena Allah Ta’ala menghukumi nashara dengan sesat sebagaimana dalam surah Al-Maidah ayat 77,

قُلۡ یَـٰۤأَهۡلَ ٱلۡكِتَـٰبِ لَا تَغۡلُوا۟ فِی دِینِكُمۡ غَیۡرَ ٱلۡحَقِّ وَلَا تَتَّبِعُوۤا۟ أَهۡوَاۤءَ قَوۡمࣲ قَدۡ ضَلُّوا۟ مِن قَبۡلُ وَأَضَلُّوا۟ كَثِیرࣰا وَضَلُّوا۟ عَن سَوَاۤءِ ٱلسَّبِیلِ

“Katakanlah (Muhammad), “Wahai Ahli Kitab! Janganlah kalian berlebih-lebihan dengan cara yang tidak benar dalam agama kalian. Dan janganlah kalian mengikuti keinginan orang-orang yang telah tersesat dahulu dan (telah) menyesatkan banyak (manusia), dan mereka sendiri tersesat dari jalan yang lurus.” (QS. Al-Maidah: 77)

Kesimpulan tafsir ayat ketujuh

صِرَ ٰ⁠طَ ٱلَّذِینَ أَنۡعَمۡتَ عَلَیۡهِمۡ غَیۡرِ ٱلۡمَغۡضُوبِ عَلَیۡهِمۡ وَلَا ٱلضَّاۤلِّینَ

Bermakna,

“Yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka berupa ilmu syar’i dan amal saleh, bukan jalan mereka yang dimurkai, yaitu mereka yang berilmu tetapi tidak mengamalkannya dan bukan pula jalan mereka yang sesat, yaitu mereka yang beramal tanpa ilmu.”

[Bersambung]

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

Sumber: https://muslim.or.id/72512-tafsir-ringkas-surah-al-fatihah-bag-3.html

Tafsir Ringkas Surah Al-Fatihah (Bag. 2)

Bismillah wal hamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du.

Tafsir surah Al-Fatihah ayat kedua

ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَـٰلَمِینَ

Segala pujian kesempurnaan hanya bagi Allah, Tuhan pemelihara seluruh alam” (QS. Al-Fatihah: 2).

(ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ) artinya segala pujian dan syukur yang sempurna hanya hak Allah Ta’ala. Hanya ditujukan kepada Allah Ta’ala semata. Pada kata al-hamdu terdapat alif lam yang menunjukkan seluruh bentuk pujian dan syukur yang sempurna. Imam ahli tafsir Ath-Thabari Rahimahullah menjelaskan dalam tafsirnya tentang makna alif lam ketika terdapat pada kata hamdu dengan mengatakan,

جميع المحامد والشّكر الكامل للّه

“Seluruh pujian dan syukur yang sempurna hanya untuk Allah semata.”

Allah dipuji dengan pujian yang sempurna dari segala sisi. Tidak ada aib sedikit pun aib bagi Allah Ta’ala dari segala sisi.

Al-hamdu sendiri memiliki makna,

وصف المحمود بالكمال مع المحبة والتعظيم

“Mensifati yang dipuji dengan kesempurnaan (dzat, sifat, dan perbuatan-Nya) disertai dengan mencintai-Nya dan mengagungkan-Nya.”

Dengan demikian, hakikat (ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ) adalah memuji Allah dengan pujian yang sempurna, disertai dengan mencintai-Nya dan mengagungkan-Nya. Itu semua didasari dengan keyakinan bahwa Allah Ta’ala itu sempurna, baik dzat, sifat, dan perbuatan-Nya. Tidak ada satupun yang sama dengan-Nya.

Buah penghayatan ayat kedua

Buah menghayati ayat kedua adalah menghadirkan di dalam hati rasa cinta kepada Allah yang Mahasempurna dzat, sifat, dan perbuatan-Nya.

(رَبِّ ٱلۡعَـٰلَمِینَ) artinya pemelihara alam semesta dan seluruh makhluk.

Dua bentuk pemeliharaan Allah terhadap makhluk

Pertama, pemeliharaan umum

Pemeliharaan umum adalah pemeliharaan Allah Ta’ala terhadap seluruh makhluk-Nya dengan menciptakan mereka dan memberi rezeki kepada mereka, sehingga mereka bisa hidup di dunia ini.

Kedua, pemeliharaan khusus

Pemeliharaan Allah Ta’ala yang khusus ditujukan bagi wali-wali-Nya dan orang-orang yang dicintai-Nya. Allah Ta’ala menganugerahkan keimanan, taufik, dan penjegaan bagi mereka dari segala hal yang merusak keimanan mereka. Barangkali inilah rahasia mengapa kebanyakan doa para nabi ‘Alaihimush shalatu was salam itu memakai lafaz Ar-Rabb. Misalnya, menggunakan lafaz Rabbana atau Rabbi. Hal ini karena isi doa-doa mereka adalah masalah kemakmuran iman.

Makna Ar-Rabb

Makna Ar-Rabb mencakup tiga makna, yaitu: Sang Pencipta, Sang Pemilik, dan Sang Pengatur seluruh makhluk.

Kesimpulan tafsir ayat kedua

ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَـٰلَمِینَ

Segala kesempurnaan pujian dan syukur hanya ditujukan kepada Allah semata, yang memelihara seluruh makhluk. Pujian dan syukur tersebut disertai dengan mencintai-Nya dan mengagungkan-Nya. Itu semua didasari dengan keyakinan bahwa Allah Ta’ala Mahasempurna dari segala sisi.

Tafsir surat Al-Fatihah ayat ketiga

ٱلرَّحۡمَـٰنِ ٱلرَّحِیمِ

Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang” (QS. Al-Fatihah: 3).

Jika ayat ini digabungkan dengan ayat sebelumnya “(2) Segala pujian kesempurnaan hanya bagi Allah, Tuhan pemelihara seluruh alam. (3) yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”, maka menunjukkan sifat-sifat yang dimiliki oleh Allah Ta’ala.

Pada dua ayat ini, Allah Ta’ala disifati dengan tiga sifat, yaitu:

Pertama, Tuhan pemelihara seluruh alam;

Kedua, yang Maha Pengasih;

Ketiga, yang Maha Penyayang.

Dengan demikian, Allah Ta’ala adalah Tuhan pemelihara seluruh alam, yang Maha Pengasih, dan yang Maha Penyayang.

Digandengkannya Rububiyyah (pemeliharaan) Allah dan rahmat (kasih sayang) Allah dalam dua ayat secara berturut-turut memiliki faedah bahwa Rububiyyah Allah dibangun di atas dasar kasih sayang-Nya. Allah Ta’ala memelihara alam semesta dan mengatur seluruh makhluk dengan kasih sayang-Nya yang meliputi seluruh makhluk.

Dua bentuk kasih sayang (rahmat) Allah

Pertama, rahmat Allah Ta’ala yang umum

Secara umum, bentuk kasih sayang Allah Ta’ala adalah dengan menganugerahkan kenikmatan duniawi kepada seluruh makhluk-Nya, sehingga mereka dapat hidup di dunia ini. “Seluruh makhluk” di sini meliputi semua manusia, baik manusia beriman maupun kafir, binatang, dan makhluk ciptaan Allah yang lain. Sehingga rahmat yang bersifat umum ini tidak menunjukkan kecintaan Allah Ta’ala kepada orang yang mendapatkannya.

Kedua, rahmat Allah Ta’ala yang khusus

Bentuk kasih sayang Allah yang khusus adalah menganugerahkan nikmat iman pada kehidupan hamba-Nya. Nikmat iman ini berupa ilmu syar’i dan amal saleh. Allah Ta’ala juga memberikan kehidupan duniawi yang bermanfaat untuk keimanan hamba-Nya. Rahmat yang bersifat khusus ini hanya diberikan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman. Rahmat khusus ini menunjukkan kecintaan Allah Ta’ala kepada orang yang mendapatkannya.

Buah penghayatan ayat ketiga

Buah menghayati ayat ketiga ini adalah menghadirkan di dalam hati pembacanya rasa harap kepada Allah Ta’ala agar mencurahkan kasih sayang untuk dirinya, demi kebahagiaan dan keselamatan di dunia dan akhirat.

Kesimpulan tafsir ayat ketiga

ٱلرَّحۡمَـٰنِ ٱلرَّحِیمِ

Allah Ta’ala adalah Tuhan yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Allah Ta’ala menyayangi seluruh makhluk-Nya dengan rahmat umum, dan menyayangi hanya hamba-hamba-Nya yang beriman dengan rahmat khusus.

Tafisr surah Al-Fatihah ayat keempat

مَـٰلِكِ یَوۡمِ ٱلدِّینِ

Pemilik hari pembalasan” (QS. Al-Fatihah: 4).

(الدِّيْنِ) bisa bermakna pembalasan dan bisa bermakna amal ibadah (pelaksanaan agama Islam). Sedangkan dalam ayat yang mulia ini, (الدِّيْنِ) bermakna pembalasan. Sebagaimana tafsir Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma [1]. Sehingga ayat yang agung ini menunjukkan bahwa Allah (الدِّيْنِ) disifati dengan sifat pemilik hari pembalasan.

Dengan demikian, dari ayat kedua, ketiga dan keempat, Allah (الدِّيْنِ) disifati dengan Tuhan pemelihara seluruh alam, yang Maha Pengasih, yang Maha Penyayang, dan pemilik hari pembalasan.

Rahasia dikhususkannya kepemilikan Allah terhadap hari pembalasan

Allah Ta’ala adalah pemilik segala sesuatu, baik hari pembalasan maupun selainnya. Namun, dikhususkannya kepemilikan Allah Ta’ala terhadap hari pembalasan karena sangat tampak kepemilikan dan kekuasan Allah Ta’ala atas segala sesuatu saat hari pembalasan. Hal ini sebagaimana tafsir Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma terhadap ayat ini yang disebutkan dalam tafsir Ath-Thabari Rahimahullah,

“Tidak ada satu pun selain Allah yang memiliki keputusan hukum di hari pembalasan tersebut, seperti raja mereka sewaktu di dunia.”

Beliau Radhiyallahu ‘anhuma juga berkata,

“Hari perhitungan amalan makhluk, yaitu hari kiamat. Allah membalas mereka sesuai dengan amalan mereka. Jika amalan mereka baik, maka baik pula balasannya. Namun, jika amalan mereka buruk, maka buruk pula balasannya, kecuali jika hamba yang Allah Ta’ala maafkan. Sehingga semua urusan kembali kepada keputusan-Nya.”

Buah penghayatan ayat keempat

Buah menghayati ayat keempat adalah menghadirkan di dalam hati rasa takut kepada Allah Ta’ala. Khawatir dirinya disiksa di hari pembalasan disebabkan oleh dosa-dosanya.

Faedah dari ayat kedua, ketiga, dan keempat

Ayat kedua membuahkan ibadah cinta kepada Allah Ta’ala. Ayat ketiga membuahkan ibadah harap kepada Allah Ta’ala. Ayat keempat membuahkan ibadah takut kepada Allah Ta’ala. Dengan demikian, menghayati Al-Fatihah membuahkan tiga rukun ibadah hati dan penggeraknya, yaitu: ibadah berupa rasa cinta, harap, takut kepada Allah Ta’ala semata.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah berkata,

اعلم أن محركات القلوب إلى الله عز وجل ثلاثة: المحبة، والخوف، والرجاء. وأقواها المحبة، وهي مقصودة تراد لذاتها؛ لأنها تراد في الدنيا والآخرة بخلاف الخوف فإنه يزول في الآخرة

“Ketahuilah, bahwa penggerak hati menuju kepada Allah ‘Azza wa jalla itu ada tiga, yaitu: cinta, takut, dan harap. (Penggerak) yang terkuat adalah cinta. Cinta (kepada Allah) itu menjadi tujuan karena bentuknya ada di dunia dan di akhirat. Lain halnya dengan takut. Rasa takut kepada Allah Ta’ala akan hilang di akhirat (surga).”

Kesimpulan tafsir ayat keempat

مَـٰلِكِ یَوۡمِ ٱلدِّینِ

Allah Ta’ala adalah Tuhan pemilik hari pembalasan. Allah Ta’ala membalas mereka sesuai dengan amalan mereka. Jika amalan mereka baik, maka baik pula balasannya. Namun jika amalan mereka buruk, maka buruk pula balasannya, kecuali hamba yang Allah Ta’ala maafkan. Sehingga semua urusan kembali kepada keputusan-Nya. Karena hanya Allah Ta’ala pemilik hari pembalasan.

Tafisr surah Al-Fatihah ayat kelima

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

“Hanya kepada Engkau-lah kami menyembah dan hanya kepada Engkau-lah kami memohon pertolongan” (QS. Al-Fatihah: 5).

Kaidah “mendahulukan sesuatu yang haknya diakhirkan menunjukkan kepada pembatasan”

Susunan (إِيَّاكَ نَعْبُدُ) pada asalnya adalah نعبدك, dengan mengakhirkan objek setelah kata kerjanya. Namun dalam ayat yang mulia ini, susunan kalimatnya dibalik, yaitu objek didahulukan daripada kata kerjanya. Hal ini menunjukkan faedah pembatasan yang diterjemahkan dengan, “hanya kepada Engkau-lah kami beribadah”.

Demikian pula (إِيَّاكَ نَسْتَعِينُ) pada asalnya نستعين بك, dengan mengakhirkan objek setelah kata kerjanya. Namun dalam ayat yang mulia ini, susunan kalimatnya dibalik, yaitu objek didahulukan daripada kata kerjanya. Hal ini menunjukkan faedah pembatasan yang diterjemahkan dengan, “hanya kepada Engkau-lah kami memohon pertolongan”.

Di dalam pembatasan ini terdapat dua rukun tauhid, yaitu:

Rukun pertama, nafi (meniadakan sesembahan selain Allah Ta’ala);

Rukun kedua, itsbat (menetapkan satu-satunya sesembahan yang berhak disembah adalah Allah Ta’ala).

Inilah hakikat tauhid. Bahwa hanya kepada Allah-lah seluruh peribadatan ditujukan. Tidak mempersembahkan ibadah apa pun kepada selain-Nya. Salah satu bentuk ibadah adalah ibadah isti’anah (memohon pertolongan). Sehingga wajib memohon pertolongan (isti’anah) hanya kepada Allah Ta’ala semata.

Definisi ibadah ditinjau dari jenis ibadah yang disyariatkan oleh Allah Ta’ala

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah mendefinisikan ibadah dalam kitab beliau Al-‘Ubudiyyah [2] dengan mengatakan,

الْعِبَادَةُ هِيَ اسْمٌ جَامِعٌ لِكُلِّ مَا يُحِبُّهُ اللَّهُ تَعَالَى وَيَرْضَاهُ مِنَ الْأَقْوَالِ وَالْأَعْمَالِ الْبَاطِنَةِ وَالظَّاهِرَةِ

“Ibadah adalah suatu kata yang mencakup setiap perkara yang dicintai dan diridai oleh Allah Ta’ala, baik berupa ucapan maupun perbuatan, baik ibadah yang batin (di dalam hati) maupun ibadah yang dzahir (dengan anggota badan).”

Definisi ibadah ditinjau dari sisi perbuatan yang dilakukan seorang hamba

Syekh Muhammad Sholeh Al-‘Utsaimin Rahimahullah menjelaskan definisinya dengan,

التذلل لله – عز وجل – بفعل أوامره واجتناب نواهيه؛ محبة وتعظيماً

“Merendahkan diri kepada Allah ‘Azza wa jalla dengan melakukan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, disertai cinta dan mengagungkan-Nya” [3].

Dalam (إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ) terdapat pendahuluan ibadah daripada isti’anah. Hal ini dikarenakan alasan-alasan sebagai berikut:

Pertama, isti’anah dibutuhkan dalam setiap ibadah;

Kedua, mendahulukan hak Allah Ta’ala daripada makhluk;

Ketiga, mendahulukan tujuan (ibadatullah) sebelum sarana (isti’anah billah);

Keempat, mendahulukan ibadah secara umum daripada khusus.

Dalam (إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ) terdapat tujuan dan sarana yang paling mulia. Tujuan yang paling mulia tersebut adalah ibadah kepada Allah Ta’ala semata. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

”Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku (saja)” (QS. Adz-Dzaariyaat: 56).

Sedangkan sarana yang paling mulia untuk mewujudkan tujuan tersebut adalah isti’anah (memohon pertolongan) kepada Allah Ta’ala semata.

Faedah penghayatan ayat kelima ini

Pertama, hidup kita adalah untuk beribadah kepada Allah Ta’ala semata. Hal itu tidak bisa tercapai kecuali dengan memohon pertolongan kepada-Nya.

Kedua, dalam ayat kelima ini terdapat dua dari tiga prinsip istikamah dalam beragama Islam. Pertama, ikhlas beribadah kepada Allah Ta’ala semata. Murni dan bersih dari kesyirikan. Kedua, tawakal dan memohon pertolongan kepada Allah Ta’ala semata agar bisa beribadah hanya kepada-Nya. Sedangkan prinsip istikamah ketiga terdapat pada ayat keenam, yaitu Al-Mutaba’ah (meniti jalan lurus yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam beribadah kepada-Nya).

Catatan: ibadah kepada Allah tidak mungkin diterima kecuali jika disertai ikhlas dan mutaba’ah. Keduanya adalah syarat diterimanya amal ibadah. Begitu pun tidak mungkin amal ibadah bisa diterima kecuali dengan bertawakal dan mohon pertolongan kepada Allah Ta’ala semata.

Kesimpulan tafsir ayat kelima

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

Tujuan hidup kita hanyalah beribadah kepada Allah dan hanya memohon pertolongan kepada Allah Ta’ala semata.

[Bersambung]

***

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

Sumber: https://muslim.or.id/72510-tafsir-ringkas-surah-al-fatihah-bag-2.html

Tafsir Ringkas Surah Al-Fatihah (Bag. 1)

Bismillah walhamdulillah wash-shalatu was-salamu ‘ala rasulillah. Amma ba’du,

Surah Al-Fatihah

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ (١)

“Dengan nama Allah Yang Mahapengasih, Mahapenyayang.”

اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَۙ (٢)

“Segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam.”

الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِۙ (٣)

“Yang Mahapengasih, Mahapenyayang.”

مٰلِكِ يَوْمِ الدِّيْنِۗ (٤)

“Pemilik hari pembalasan.”

اِيَّاكَ نَعْبُدُ وَاِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُۗ (٥)

“Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.”

اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَۙ (٦)

“Tunjukilah kami jalan yang lurus.”

صِرَاطَ الَّذِيْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ ەۙ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّاۤلِّيْنَ ࣖ (٧)

“(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya; bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.”

Tafsir isti’adzah

أَعُوذُ بِاَللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

Penjelasan

أَعُوذُ بِاَللَّهِ

Saya berlindung kepada Allah”

Kata kerja di dalam kalimat ini diambil dari kata al-‘iyaadzu”, yaitu berlari dari keburukan.

Sehingga maknanya adalah, “Saya berlindung kepada Allah Ta’ala untuk menghindar dan menjauh dari keburukan.” Karena Allah Ta’ala-lah tujuan permohonan perlindungan, Yang Maha melindungi dan Maha menjaga hamba-hamba-Nya yang beriman dari segala hal yang merusak keimanan mereka.

مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

“Dari setan yang terkutuk.”

Maksud setan di sini adalah setan pertama yang diperintahkan untuk bersujud kepada Nabi Adam ‘Alaihis salam, namun enggan untuk sujud, juga termasuk keturunan setan yang pertama tersebut.

Adapun ar-rajiim bermakna raajim, yaitu menggoda selainnya (manusia) untuk berbuat maksiat. Bisa pula ar-rajiim bermakna marjuum, yaitu yang terlaknat, terusir, dan dijauhkan dari rahmat Allah Ta’ala [1].

Kesimpulan tafsir isti’adzah billah

أَعُوذُ بِاَللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

Maknanya, “Saya berlindung kepada Allah Ta’ala -yang terkumpul pada-Nya seluruh sifat-sifat yang sempurna, di antaranya bahwa Dia Mahasempurna penjagaan dan perlindungan-Nya terhadap hamba-Nya, dari segala kejahatan setan yang dijauhkan dari rahmat Allah Ta’ala dan yang suka menggoda manusia untuk berbuat maksiat.”

Tafsir surah Al-Fatihah ayat pertama

بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَـٰنِ ٱلرَّحِیمِ

“Dengan nama Allah Yang Mahapengasih, Mahapenyayang.”

(بِسْمِ اللّٰهِ)

Saya memulai bacaan ini dengan menyebut setiap nama Allah Ta’ala, sembari memohon pertolongan dan berkah kepada-Nya.

Alasan penafsiran

Alasan pertama, adanya kata tunggal ismun disandarkan kepada lafaz Allah yang menunjukkan makna umum. Hal ini mencakup seluruh nama Allah Ta’ala.

Alasan kedua, adanya huruf ba’ yang bermakna memohon pertolongan dan keberkahan.

(اللّٰهِ)

Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhu berkata,

الله ذو الألوهية والعبودية على خلقه أجمعين

“Allah adalah yang memiliki hak untuk diibadahi atas seluruh makhluk-Nya.”

Nama (اللّٰه)  adalah nama-Nya yang teragung [2] dan asal dari seluruh nama-nama-Nya yang lain

(اللّٰه)  adalah nama Allah yang khusus bagi-Nya dan mengandung sifat uluhiyyah (berhak diibadahi). Makhluk tidak boleh memiliki nama tersebut, dan makhluk tidak boleh pula memiliki sifat yang terkandung di dalamnya.

Bahkan (اللّٰه) adalah nama Allah yang teragung dan asal dari seluruh nama-nama-Nya yang lain. Sehingga seluruh nama-Nya yang lain disandarkan kepada nama (اللّٰه) dan digunakan untuk mensifati nama (اللّٰه). Nama (اللّٰه) juga menunjukkan seluruh nama-Nya yang lain secara global, sedangkan nama-nama-Nya yang lain adalah rincian dan penjelasan dari makna nama (اللّٰه).

Contoh penerapan seluruh nama-Nya yang lain disandarkan kepada nama (اللّٰه)

Ar-Rahman adalah nama Allah dan bukan sebaliknya, (Allah nama Ar-Rahman). Ar-Rahim adalah nama Allah dan bukan sebaliknya. Al-Ghafur adalah nama Allah dan bukan sebaliknya. Al-Karim adalah nama Allah dan bukan sebaliknya. Demikianlah seterusnya.

Contoh penerapan seluruh nama-nama-Nya yang lain digunakan untuk mensifati nama (اللّٰه)

Allah itu disifati dengan Ar-Rahman dan bukan sebaliknya, (Ar-Rahman disifati dengan Allah). Allah itu disifati dengan Ar-Rahim dan bukan sebaliknya. Allah itu disifati dengan Al-Ghafur dan bukan sebaliknya. Allah itu disifati dengan Al-Karim dan bukan sebaliknya. Demikianlah seterusnya.

(ٱلرَّحۡمَـٰنِ)

(ٱلرَّحۡمَـٰنِ) adalah nama Allah yang khusus bagi-Nya. Makhluk tidak boleh bernama dengannya. Makhluk juga tidak boleh memiliki sifat yang terkandung di dalamnya, yaitu rahmat yang luas dan meliputi seluruh makhluk.

(ٱلرَّحۡمَـٰنِ) adalah yang memiliki sifat kasih sayang yang luas meliputi seluruh makhluk, baik mukmin maupun kafir, manusia maupun binatang. Karena secara bahasa,  (ٱلرَّحۡمَـٰنِ) mengandung makna luas dan penuh. Sifat rahmat yang luas ini adalah sifat Dzatiyyah, yaitu sifat yang senantiasa ada pada Allah Ta’ala meskipun sebelum diciptakan makhluk.

(ٱلرَّحِیمِ)

(ٱلرَّحِیمِ) adalah nama Allah. Maknanya adalah yang menyayangi makhluk-Nya. Sehingga (ٱلرَّحِیمِ) menunjukkan perbuatan Allah yang menyampaikan kasih sayang-Nya kepada makhluk-Nya.

Kesimpulan tafsir ayat pertama

بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَـٰنِ ٱلرَّحِیمِ

Maknanya, “Saya memulai bacaan ini dengan menyebut setiap nama Allah. Satu-satunya Tuhan yang berhak disembah. Yang Mahapengasih lagi Mahapenyayang. Yang menyayangi seluruh makhluk-Nya dengan rahmat yang bersifat umum, dan hanya menyayangi hamba-hamba-Nya yang beriman dengan rahmat yang bersifat khusus. Sembari memohon pertolongan dan berkah kepada-Nya dalam membaca Al-Fatihah ini.”

[Bersambung]

***

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

Referensi:

1. Tafsir As-Sa’di.

2. Fiqih Al-Asma’ul Husna, Syekh Abdur Razaq.

3. Syarah ‘Aqidah Al-Wasithiyyah, Syekh Shalih Al-Fauzan.

4. https://bit.ly/3Lg8kYo (Tafsir asmaul husna Ar-Rahman dan Ar-Rahim ‘azza wa jalla).

Catatan Kaki: [1] Syarhul Mumti’ : 3/72-73. [2] Berdasarkan Hadis riwayat Imam Ahmad dalam Musnad-nya, Imam Al-Hakim dan selainnya. Imam Al-Hakim menyatakan shahih sesuai syarat Imam Muslim.

Sumber: https://muslim.or.id/72506-tafsir-ringkas-surah-al-fatihah-bag-1.html