Mengapa Orang yang Sudah Wafat Disebut Almarhum? Ini Makna Almarhum

Saat ada seorang muslim – boleh jadi kerabat atau kenalan kita, atau bukan siapapun – wafat, di Indonesia khususnya kita sering mendengar sebelum menyebut namanya dengan ungkapan Almarhum. Sementara, karena ungkapan tersebut juga merupakan kata berbahasa Arab, biasanya jika yang meninggal adalah perempuan, maka kata Almarhum ditambahkan ta’ marbuthoh di akhirnya sehingga menjadi al-Marhumah. Dalam bahasa Arab, huruf ta’ marbuthoh untuk kata nomina (al-ism) memang menjadi penanda nomina feminim (mu’annats). Tapi, adakah penjelasan mengapa orang yang sudah wafat disebut almarhum ?

Kata Almarhūm secara kebahasaan merupakan bentuk objek dari asal kata kerja rahima yang berarti kasih. Sehingga, kata Almarhūm atau Almarhūmah secara bahasa memiliki yang dikasihi atau yang disayangi oleh Allah Swt.

Lalu mengapa orang yang sudah wafat disebut sebagai almarhūm atau almarhūmah? Sebenarnya, ungkapan ini merupakan ungkapan yang menggambarkan harapan dari kita yang masih hidup agar seorang muslim yang wafat ini senantiasa dikaruniai rahmat oleh Allah Swt. di kehidupan setelah dunia. Bahkan, Nabi Saw. sangat fokus kepada pengajaran bahwa kematian pada hakikatnya merupakan kasih Allah Swt. kepada seluruh makhluk-Nya. Karena hakikatnya, kehidupan di alam dunia ini adalah kehidupan yang sementara dan bukan yang inti dari perjalanan kehidupan manusia. Agar seorang muslim mendapatkan rahmat-Nya kelak di alam akhirat, ia harus tetap menjadi seorang muslim sampai akhir hayatnya. Itu sebabnya, Nabi Saw. sampai bersabda,

لقنوا موتاكم بقول لا إله إلا الله

talqinlah jenazah di sekitar kalian dengan perkataan Lā Ilāha Illā Allāh (Tiada Tuhan Selain Allah).

Beberapa ulama ada yang berpendapat kalau menisbatkan kata al-Marhūm atau al-Maghfūr lahu yang masing-masing berarti yang dikasihi atau yang diampuni tidak diperbolehkan. Pasalnya, hal tersebut berarti memastikan bahwa sosok yang meninggal tersebut, laki-laki atau perempuan tersebut sudah pasti dikasihi atau diampuni oleh Allah Swt. Padahal, tidak ada yang mengetahui dengan pasti kalau seseorang itu benar-benar dikasihi atau diampuni kecuali hal tersebut benar-benar ditegaskan oleh Allah Swt. atau pernah disabdakan oleh Rasulullah Saw. Sehingga pernyataan al-Marhūm itulah seolah seperti bersaksi kalau seseorang yang meninggal itu sudah pasti masuk surga, atau al-Maghfūr lah berarti pasti sudah pasti akan masuk neraka. Diantaranya yang berpendapat demikian diantaranya adalah Syekh Abdullah bin Baz, mantan Mufti Arab Saudi. Ia kemudian menjelaskan bahwa sebaiknya ungkapan yang digunakan bukan al-maghfūr lah atau al-marhūm, namun rahimahu Allāh atu ghofara Allāh, yang diantara maknanya adalah “semoga Allah senantiasa mengasihinya” dan ‘semoga Allah senantiasa mengampuninya. Namun, jika mengatakan al-maghfūr lah atau almarhūm tersebut hanya merupakan harapan atau doa agar yang meninggal mendapatkan ampunan atau kasih dari Allah Swt., maka menyebut almarhūm atau almaghfūr lahu boleh-boleh saja bahkan disunahkan karena bagian dari mendoakan sesama muslim.

Selain kita sendiri dalam shalat tahajud, atau doa-doa dalam shalat kita membaca doa agar mengampuni atau mengasihi sesama muslim baik yang masih hidup atau sudah wafat, dalam banyak riwayat Rasulullah Saw. sendiri mencontohkan bagaimana menunjukkan sikap kasihnya yang begitu kuat tidak hanya kepada yang hidup, tapi yang sedang menghadapi ajal atau sudah wafat. Salah satu kisahnya misalnya ketika Rasulullah Saw. mendatangi sakaratul maut salah seorang cucunya. Kisah ini diriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim dari Usamah bin Zayd,

كنا عند النبي إذ جاءه رسول إحدى بناته، يدعوه إلى ابنها في الموت، فقال النبي: «ارجع إليها فأخبرها أن لله ما أخذ وله ما أعطى، وكل شيء عنده بأجل مسمى، فمرها فلتصبر ولتحتسب»، فأعادت الرسول أنها قد أقسمت لتأتينها، فقام النبي وقام معه سعد بن عبادة، ومعاذ بن جبل، فدفع الصبي إليه ونفسه تقعقع، كأنها في شن، ففاضت عيناه، فقال له سعد: يا رسول الله ما هذا؟! قال: «هذه رحمة جعلها الله في قلوب عباده، وإنما يرحم الله من عباده الرحماء

“(Usamah bin Zayd berkata) Suatu ketika kami bersama Nabi Saw. saat ada utusan salah seorang anak perempuan Nabi Saw. (Zaynab), yang meminta agar Nabi Saw. menemui cucunya yang sedang mendekati ajal. Nabi Saw. lalu mengatakan kepada utusan itu: “kembalilah kepadanya dan katakan kalau Allah berhak mengambil dan memberi yang Dia mau. Seluruhnya disisi-Nya itu untuk sudah ditakdirkan. Pergilah, dan bilang agar ia sabar dan merenung.” Utusan itu kemudian kembali lagi menemui Rasulullah dan mengatakan kalau ia sudah bersumpah kepada yang mengutusnya untuk bisa membawa Rasulullah Saw. Rasulullah Saw. pun pergi bersama Sa’ad bin ‘Ubadah dan Mu’adz bin Jabal. Lalu, anak itu diserahkan kepada Rasulullah Saw. Lalu tubuh anak itu tiba-tiba bergetar seolah-olah ia sedang terkaget. (Anak itu lalu wafat) dan air mata Rasulullah Saw. basah. Sa’ad lalu bertanya kepada Rasulullah Saw.: “Wahai Rasul, kenapa ini (kok engkau malah sedih) ?!” Rasulullah Saw. lalu bersabda: “ini (sesungguhnya) adalah rasa kasih yang Allah tetapkan di hati para hamba-Nya. Dan Allah sungguh sayang pada para hamba-Nya yang memiliki jiwa kasih.”

Wallahu A’lam.

BINCANG SYARIAH