Apakah harus semua ibadah butuh untuk diketahui hikmah, manfaat, atau keuntungannya sehingga dapat dipahami oleh akal kita?
Seperti salah satu hikmah bagi orang yang berpuasa adalah untuk menjaga kesehatan tubuh. Karena ada penelitian bahwa salat tahajud dapat meningkatkan kesehatan, baik fisik maupun mental seseorang. Kemudian ada penelitian lagi tentang berbagai manfaat dalam gerakan-gerakan salat, dan lain sebagainya. Belakangan ini banyak kita dengar berita tentang klaim sebagian pihak yang telah menemukan manfaat ibadah-ibadah agama Islam bagi kesehatan, dan lain-lain.
Lalu terlontar sebuah pertanyaan lagi. Apakah penting bagi kita mencari alasan, manfaat, atau hikmah untuk seluruh ibadah yang akan kita kerjakan sehingga dapat dipahami oleh akal-akal kita?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, perlu kita ketahui terlebih dahulu bahwa Allah Ta’ala yang telah menciptakan syariat agama Islam ini tentu penuh akan hikmah dan kebijaksanaan dalam menetapkan sebuah ibadah untuk makhluknya. Tidak mungkin bagi Allah Ta’ala mensyariatkan sesuatu yang tidak ada maksud atau tujuannya. Hal tersebut karena konsekuensi dari nama dan sifat Allah yang mulia, yakni Al-Hakim (Allah yang Mahabijaksana).
Allah Ta’ala berfirman,
قَالُوْا سُبْحٰنَكَ لَا عِلْمَ لَنَآ اِلَّا مَا عَلَّمْتَنَا ۗاِنَّكَ اَنْتَ الْعَلِيْمُ الْحَكِيْمُ
“Mereka menjawab (para malaikat), ‘Mahasuci Engkau, tidak ada yang kami ketahu selain apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mengetahui, Mahabijaksana” (QS. Al Baqarah: 32).
Berkata salah seorang ahli tafsir, Syekh As-Sa’di Rahimahullah dalam tafsirnya menjelaskan maksud dari الْحَكِيْمُ, yakni,
فما خلق شيئا إلا لحكمة: ولا أمر بشيء إلا لحكمة
“Tidaklah Allah menciptakan segala sesuatu, melainkan pasti ada hikmah dan tidaklah Allah memerintahkan sesuatu perkara, kecuali pasti mengandung sebuah hikmah” (Taisir Karimirrahman).
Bisa kita bayangkan bila ada seseorang yang melakukan sebuah perbuatan seperti bepergian jauh ke sebuah kota, namun di satu sisi dia tidak mengetahui tujuan dari perbuatannya tersebut, tentu ini adalah sebuah keanehan. Bahkan bisa jadi kita menganggap orang tersebut adalah orang yang tak berakal atau gila. Tidak mungkin orang yang sehat akalnya melakukan sesuatu tanpa ada maksud dan tujuan. Maka tentu lebih utama lagi bagi Allah Ta’ala sang-Khaliq (pencipta segala sesuatu) yang Mahabijaksana terhadap apa yang Dia perbuat dan apa yang Dia perintahkan. Semuanya pasti mengandung hikmah yang besar.
Namun banyak kita jumpai sebagian dari saudara-saudara kita terkadang berlebihan dalam mencari tahu sebab atau alasan suatu ibadah agar dapat dipahami oleh akal manusia. Bahkan sampai pada titik bahwa dia tidak mau mengamalkan suatu ibadah tertentu sampai akalnya mengerti maksud atau alasan mengapa syariat menjadikannya sebagai suatu ibadah. Tentu hal ini termasuk perkara yang berlebihan.
Memang benar memahami suatu hikmah dari ibadah dapat membuat hati semakin yakin dan khusyuk mengamalkannya. Namun ketika hikmahnya tidak kita ketahui, wajib bagi kita untuk tetap tunduk dan patuh kepada syariat Allah dan meyakini di sana ada hikmah yang tidak kita ketahui. Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Hanya ucapan orang-orang beriman, yaitu ketika mereka diajak menaati Allah dan Rasul-Nya agar Rasul-Nya tersebut memutuskan hukum di antara kalian, maka mereka berkata: sami’na wa atha’na (Kami telah mendengar hukum tersebut dan kami akan taati). Merekalah orang-orang yang beruntung” (QS. An-Nur: 51).
Para sahabat Nabi tetap tunduk dan taat terhadap ajaran Nabi Shallallahu’alaihi wasallam, walaupun tidak tahu hikmahnya. Umar bin Khathab Radhiallahu’anhu ketika hendak mencium hajar aswad beliau berkata,
إنِّي لَأَعْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ لَا تَضُرُّ وَلَا تَنْفَعُ وَلَوْلَا أَنِّي رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُكَ مَا قَبَّلْتُكَ
“Aku tahu betul engkau adalah sebongkah batu. Tidak bisa memberi bahaya dan tidak bisa memberi manfaat. Andaikan bukan karena aku melihat Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam menciummu, aku tidak akan menciummu” (HR. Bukhari no.1605, Muslim no.1270).
Allah Ta’ala terkadang menjelaskan langsung sebab atau alasan suatu ibadah pada Al-Quran dan As-Sunnah. Terkadang juga dapat diketahui lewat perantara seorang ulama atau ahli ilmu. Dan terkadang juga alasan atau sebab tersebut belum diketahui atau tidak diketahui sama sekali.
Untuk sebab yang belum atau tidak diketahui, terkadang para ulama menamainya dengan ‘illatun ta’abbudiyah (sebab yang hanya dalam rangka beribadah). Bisa jadi, hikmah yang belum diketahui ini adalah ujian bagi sebagian orang, apakah dia benar-benar beribadah kepada Allah Ta’ala atau beribadah kepada hawa nafsu dan akalnya sehingga tidak mau beribadah kecuali cocok dengan hawa nafsu dan akalnya.
Seperti halnya di sebagian mazhab fiqih menyebutkan hukum memakan daging unta dapat membatalkan wudu seseorang dengan dalil hadis yang diriwayatkan oleh Sahabat Jabir bin Samurah Radhiyallahu’anhu,
عن جابرِ بنِ سَمُرةَ رَضِيَ اللهُ عنه: ((أنَّ رجلًا سأل رسولَ الله صلَّى اللهُ عليه وسلَّم: أأتوضَّأُ مِن لُحومِ الغنَم؟ قال: إنْ شئتَ فتوضَّأ، وإن شئتَ فلا توضَّأ. قال: أتوضَّأُ مِن لُحومِ الإبِلِ؟ قال: نعَم، فتوضَّأْ من لحومِ الإبِلِ. قال: أُصلِّي في مرابِضِ الغنَم؟ قال: نعَم. قال: أصلِّي في مبارِكِ الإبلِ؟ قال: لا
“Seseorang pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, ‘Apakah aku berwudu ketika setelah makan daging kambing?’ Maka beliau menjawab, ‘Jika engkau mau maka berwudulah dan jika engkau tidak mau maka tidak berwudu.’ Lalu laki-laki tersebut kembali bertanya, ‘Apakah aku berwudu ketika setelah makan daging unta?’ Maka beliau menjawab, ‘Ya, berwudulah dari makan daging unta.’ Lalu dia menanyakan, ‘Apakah aku boleh salat di kandang kambing?’ Beliau menjawab, ‘Ya.’ Lalu di menanyakan lagi, ‘Apakah aku boleh salat di tempat menderungnya unta (kendang unta)?’ Beliau menjawab, ‘Tidak’” (HR. Muslim, no.360).
Maka dari sini sebagian ulama mengatakan bahwa alasan daging unta membatalkan wudu adalah ta’abbud (dalam rangka beribadah), dikarenakan akal kita tidak mengetahui maksudnya. Apa bedanya antara daging biri-biri, daging kuda, daging sapi, dan daging-daging lainnya? Maka kita tidak mengetahuinya.
Dari sini kita dapat menarik kesimpulan bahwa jika ada suatu ibadah yang memang benar ditetapkan oleh syariat, dan akal kita belum dapat memahami apa maksud dan tujuan syariat ibadah tersebut, maka tidak ada alasan bagi kita untuk tidak mau mengerjakan bahkan menolak hukumnya dengan dalih akal belum atau tidak bisa memahaminya. Karena kita sebagai seorang mukmin yang beriman yakin bahwa tidaklah Allah Ta’ala menurunkan syariat bagi makhluknya melainkan pasti memiliki hikmah atau tujuan yang agung, walaupun tidak diketahui oleh makhluknya.
Oleh karena itu, Allah Ta’ala menyebutkan di antara serangkaian dari sifat orang yang muttaqin (orang yang bertakwa) yang mendapat petunjuk dan hidayah-Nya adalah orang yang beriman kepada hal yang gaib dan yang telah Allah turunkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berupa Al-Quran dan As-Sunnah.
Allah Ta’ala berfirman di surat Al-Baqarah,
الۤمّۤ ۚ ذٰلِكَ الْكِتٰبُ لَا رَيْبَ ۛ فِيْهِ ۛ هُدًى لِّلْمُتَّقِيْنَۙ الَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيْمُوْنَ الصَّلٰوةَ وَمِمَّا رَزَقْنٰهُمْ يُنْفِقُوْنَ ۙ وَالَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِمَآ اُنْزِلَ اِلَيْكَ وَمَآ اُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ ۚ وَبِالْاٰخِرَةِ هُمْ يُوْقِنُوْنَۗ اُولٰۤىِٕكَ عَلٰى هُدًى مِّنْ رَّبِّهِمْ ۙ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ
“Alif Lam Mim. Kitab (Al-Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa. (yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, melaksanakan salat, dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Dan mereka yang beriman kepada (Al-Quran) yang diturunkan kepadamu (Muhammad) dan (kitab-kitab) yang telah diturunkan sebelum engkau, dan mereka yakin akan adanya akhirat. Merekalah yang mendapat petunjuk dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang beruntung” (QS. Al-Baqarah: 1-5).
Wallahu a’lam.
Sumber:
Disarikan dari kitab Manzhumah Ushulil Fiqhi wa Qawaidhi karya Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin Rahimahullah, hal. 94-96 dan hal. 154-155 (cetakan ketiga tahun 1443 H, penerbit Daar Ibnul Jauzi) dengan tambahan contoh dan penjelasan dari penulis dan Tafsir Syekh As-Sa’di Rahimahullah.
Penulis: Muhammad Bimo P.
Sumber: https://muslim.or.id/67459-apakah-ibadah-harus-diketahui-hikmahnya.html