“Ayat ini bertentangan dengan Sains! Hadis ini tidak masuk akal!”
Demikianlah, salah satu ucapan yang menggambarkan kesalahpahaman terhadap Islam yang sering ditemukan di kalangan para intelektual dan semisalnya. Miskonsepsi tersebut adalah dugaan adanya pertentangan antara sains dan syariat atau pertentangan antara ilmu pengetahuan dan agama.
Sebagian orang merasa tidak memiliki masalah terhadap syariat dan informasi-informasi di dalamnya. Mereka menganggap bahwa agama adalah salah satu sumber pengetahuan. Akan tetapi, di benaknya ia merasa ada pertentangan antara dalil tertentu dengan fakta ilmiah tertentu. Kemudian ia menganggap bahwa fakta ilmiah tersebut harus didahulukan.
Sebagian orang lainnya menganggap bahwa dalil apa pun sudah pasti benar, tanpa mengecek validitas dalil tersebut. Oleh karenanya, apabila ia temukan pertentangan antara agama dan sains, ia langsung buru-buru menyalahkan sains, dan membela dalil tersebut. Padahal, bisa jadi, dalil yang ia gunakan tidak sahih dan sains yang ia salahkan adalah fakta aksiomatis yang tidak bisa diganggu gugat kebenarannya.
Lantas, bagaimanakah posisi yang tepat dalam masalah ini? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kami sajikan dalam bentuk poin-poin.
Pertama: Kepastian dalil agama dan sains bertingkat-tingkat
Di antara faktor yang melahirkan permasalahan ini adalah anggapan bahwa dalil agama dan sains berada dalam satu tingkatan kekuatan, baik dari sisi validitas informasi ataupun penafsirannya. Padahal, faktanya tidaklah demikian. Dalil agama dan sains keabsahannya bertingkat-tingkat.
Dalil agama ada yang pasti benar dari sisi periwayatan dan penafsirannya, ada pula yang bersifat dugaan. Sebagai contoh, Al-Qur’an, dari awal hingga akhir, diriwayatkan secara mutawātir, yaitu sekelompok orang meriwayatkan dari sekelompok orang sampai bersambung ke Nabi ﷺ. Oleh karena itu, tingkat validitas seluruh informasinya adalah pasti. Namun, pemahaman terhadap dalālah atau maksud dari ayat-ayatnya bertingkat-tingkat. Ada yang pasti, tidak ada perselisihan dalam memahami maksud ayat tersebut. Ada pula yang bersifat dugaan, sehingga perlu dikembalikan tafsirnya kepada ulama untuk memahami maksudnya dengan benar.
Contoh ayat yang maksudnya pasti adalah,
Allah Ta’āla berfirman
قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ
“Katakanlah, ‘Dialah Allah Yang Maha Esa.’” (QS. Al-Ikhlas: 1)
Maksud ayat tersebut bersifat pasti, yaitu Allah adalah Esa. Ayat tersebut tidak dapat dipahami dengan pemahaman lainnya. Seseorang tidak bisa mengalihkan maknanya ke makna lain, seperti Allah tidak esa, atau Allah adalah dua.
Contoh dugaan pertentangan ayat Al-Qur’an dan sains
Adapun ayat berikut adalah contoh pemahaman maksud ayat yang tidak pasti, sehingga perlu dikembalikan maknanya kepada ulama tafsir. Allah Ta’āla berfirman,
حَتَّىٰٓ إِذَا بَلَغَ مَغْرِبَ ٱلشَّمْسِ وَجَدَهَا تَغْرُبُ فِى عَيْنٍ حَمِئَةٍۢ …
“Hingga ketika dia telah sampai di tempat matahari terbenam, dia melihatnya terbenam di dalam laut yang berlumpur hitam…” (QS. Al-Kahfi: 86)
Pemahaman secara tekstual terhadap ayat tersebut adalah bahwasanya matahari terbenam di laut yang berlumpur hitam. Sedangkan konsensus sains mengatakan bahwa bumi berotasi mengitari matahari, bukan matahari yang masuk ke dalam bumi. Pertanyaannya, apakah pemahaman bahwa matahari terbenam ke dalam laut berlumpur tersebut benar atau salah? Jawabannya tentu saja salah.
Para ahli tafsir bersepakat bahwa maksud matahari terbenam ke dalam laut adalah terbenam dari perspektif orang yang melihatnya. Maknanya, orang yang menyaksikan matahari terbenam di sore hari seakan-akan melihatnya masuk ke dalam laut yang berlumpur hitam. Hal ini menunjukkan luasnya penggunaan ekspresi kalimat dalam khazanah bahasa Arab.
Hal ini sebagaimana dijelaskan Syekh Ibnu Al-‘Utṣaimīn rahimahullah dalam menafsirkan ayat tersebut,
﴿وَجَدَهَا تَغْرُبُ﴾ في هذه العين، ومعلوم أنها تغرب في هذه العين الحمئة حسب رؤية الإنسان، وإلَّا فهي أكبر من الأرض، وأكبر من هذه العين الحمئة وأعظم، …لكن لا حرج أن الإنسان يُخْبِر عن الشيء حسب رؤيته إياه.
“‘Dia melihatnya terbenam …’ ke dalam air laut tersebut. Sebagaimana diketahui, bahwa matahari terbenam ke dalam laut berlumpur hitam berdasarkan penglihatan manusia, karena matahari lebih besar dibandingkan bumi dan laut berlumpur hitam tersebut. Akan tetapi, tidak mengapa seseorang mengabarkan sesuatu berdasarkan perspektif ia melihat.” [1]
Oleh karena itu, dugaan pertentangan di sini muncul dari kekeliruan memahami maksud ayat. Apabila ayat dipahami secara tepat, maka hilanglah dugaan pertentangan tersebut.
Contoh dugaan pertentangan hadis dan sains
Adapun hadis, maka validitasnya bertingkat dari sisi periwayatan dan pemahaman. Berdasarkan periwayatannya, ada hadis yang derajatnya sahih dan ada yang di bawah itu. Demikian pula, dari sisi penafsiran maksud hadis, ada yang bersifat pasti dan ada yang bersifat dugaan.
Sebagai contoh adalah hadis yang diriwayatkan secara marfū‘ oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
من حدّث حديثًا فعطس عنده فهو حقٌّ
“Barangsiapa yang berbicara suatu ucapan kemudian bersin, maka ucapan tersebut benar.”[2]
Hadis ini menunjukkan bahwa barangsiapa yang bersin ketika berbicara, maka ucapannya benar dan jujur. Apakah hal ini terbukti benar?
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Seandainya ada yang menilai hadis ini sahih, tetap secara insting inderawi terasa palsu. Sebab, kita menyaksikan ada orang yang bersin, sedangkan kebohongan tetap berjalan. Seandainya ada seratus orang bersin ketika meriwayatkan sebuah hadis Nabi ﷺ, maka tidak dapat dianggap sahih hanya karena bersin, dan seandainya mereka bersin ketika bersaksi sebuah persaksian dusta, tidak bisa dibenarkan persaksiannya.” [3]
Perhatikanlah bagaimana Ibnul Qayyim rahimahullah menjadikan indera dan observasi terhadap realita sebagai bukti kebatilan hadis tersebut. Demikianlah faktanya, hadis tersebut berstatus sangat lemah atau bahkan palsu, sebagaimana dijelaskan beberapa ulama seperti Asy-Syaukāni [4] dan Al-Albāni [5]. Sehingga, tidak dapat dikatakan adanya pertentangan antara hadis dan sains. Karena hadis tersebut tidak sahih, artinya ia bukan ucapan Nabi ﷺ.
Oleh karena itu, hakikat pertentangan di sini adalah antara observasi inderawi yang pasti dan dalil yang lemah, sehingga yang harus dimenangkan adalah observasi inderawi yang pasti.
***
Penulis: Faadhil Fikrian Nugroho
Artikel: Muslim.or.id
Sumber:
Disarikan dari kitab Zukhruf Al-Qaul bab 8 berjudul Hāẓa Mukhālifun lil-‘Ilmi dan The Divine Reality Chapter 12 berjudul Has Science Disproved God?
Catatan kaki:
[1] Tafsīr Ibn Al-‘Utṣaimīn, Al-Kahf, hal. 127.
[2] HR. Abu Ya’la di dalam Musnad Abi Ya’la, no. 6352.
Sumber: https://muslim.or.id/93297-apakah-sains-bertentangan-dengan-agama-bag-1.html
Copyright © 2024 muslim.or.id