Dunia ini makin padat kemelut. Setiap hari begitu banyak musibah berdatangan. Berita kelaparan dan kebanjiran sudah sering kita dengar. Kasus jatuhnya pesawat terbang, tanah longsor, resapan air laut, kerusuhan dan kenakalan remaja, wabah penyakit aneh, sampai kepada peristiwa kekeringan dan terbakarnya ribuan hektar tanah di Sumatera dan Kalimantan beberapa waktu lalu.
Kita sering melihat masalah ini sebagai masalah yang parsial, putus kaitannya dengan Tuhan. Seperti sama sekali tidak kaitannya dengan teguran Tuhan.
Kalaupun ada bolehlah sekadar informasi bibir, Allah sedang menguji kita, ungkapnya, tanpa kita berani mengorek sedikit juga kekeliruan dan kesalahan kronis yang bisa mendatangkan musibah itu sendiri. Kita selalu diantar pada tinjauan materi, tanpa ada penggalian mungkin penyebab kasus yang bersifat immateri, transendental.
Jangan jauhkan Tuhan
Aneh. Padahal, kita juga tidak mau dikatakan sebagai orang yang tidak bertuhan. Tapi ketika masalah itu datang, koreksi kalau-kalau di balik itu ada unsur kemarahan Tuhan sama sekali tidak dipersoalkan.
Selalu yang disodorkan adalah dari itu ke itu juga. Jatuhnya pesawat, misalnya, akibat kelalaian pilot, human error, kesalahan teknis, cuaca buruk, dsb. Padahal tidak menutup kemungkinan ada sesuatu yang mestinya diperhatikan di institusi yang bersangkutan.
Boleh jadi ada aturan-aturan Allah yang dilanggar dan makin banyak terjadi pelanggaran di sana. Sudah banyak tindakan maksiat yang semestinya segera dibenahi dan ditinggalkan. Bukankah fasilitas pesawat juga menyangkut hajat hidup orang banyak. Bagaimana pelayanan seharusnya terhadap para jemaah haji, misalnya?
Betapa tidak mengerikannya ketika melakukan perjalanan yang begitu riskan, disodorkan di hadapan mata kita lenggak-lenggok para gadis. Seolah-olah kita disuruh melupakan semua kemungkinan-kemungkinan terburuk dengan hadirnya senyum manis mereka yang menarik dengan segala keramah-tamahannya yang dibuat-buat itu? Adakah salah bila sebelum pesawat take off ada kesempatan barang sejenak pengumuman untuk berdoa bersama, yang dipandu oleh Sang Pilot? Apa pula salahnya memakai jasa para santri atau kiai, sebelum pesawat memulai penerbangan, dan ketika mendarat dengan selamat? Mengapa harus berat dan malu untuk sebuah perjalanan yang selamat dan menenteramkan seperti itu?
Teguran yang Tuhan berikan merupakan lampu peringatan supaya segera dilakukan koreksi, muhasabah, dan evaluasi. Bukan sekadar evaluasi teknis kedirgantaraan, tapi juga menyangkut sisi pelayanan dan pemenuhan hak-hak penumpang, termasuk di dalamnya peringatan untuk selalu dekat dengan Tuhan.
Jangan pisahkan Tuhan dari mereka dengan alasan sibuk sekalipun. Bukankah Dia yang menggerakkan angin, mengatur gravitasi, dan mengendalikan instrumen konsentrasi Sang Pilot?
Doa kaum dhuafa
Demikian pula dengan kemarau yang panjang dan terbakarnya hutan. Berapa seringnya kita mendengar informasi yang mendirikan bulu roma? Ketika sebagian orang begitu sulit mencari sepetak tanah untuk tempat tinggal anggota keluarganya, masih ada segelintir orang yang dengan enak-enak mengukur tanah ribuan hektar untuk dimilikinya seorang diri.
Bahkan mereka dengan congkaknya ingin terus memperlebar dan memperluas lahan untuk kerajaan bisnisnya? Tidak menutup kemungkinan, semua fenomena yang terjadi di hadapan mata kita hari ini merupakan bentuk ijabah doa kaum dhuafa yang tertindas.
Secara materi mereka tidak mempunyai kekuatan tindakan untuk melawan. Akan tetapi ketika mereka mengangkat kedua tangannya seraya membisikkan untaian doa, para malaikat mengaminkannya sebagai catatan hitam yang akan dijawab pada masanya:
اَللَّهُمَّ اقْسِمْ لَنَا مِنْ خَشْيَتِكَ مَاتَحُوْلُ بَيْنَنَا وَبَيْنَ مَعْصِيَتِكَ وَمِنْ طَاعَتِكَ مَا تُبَلِّغُنَابِهِ جَنَّتَكَ وَمِنَ الْيَقِيْنِ مَاتُهَوِّنُ بِهِ عَلَيْنَا مَصَائِبَ الدُّنْيَا. اَللَّهُمَّ مَتِّعْنَا بِأَسْمَاعِنَا وَأَبْصَارِنَا وَقُوَّتِنَا مَا أَحْيَيْتَنَا وَاجْعَلْهُ الْوَارِثَ مِنَّا وَاجْعَلْهُ ثَأْرَنَا عَلَى مَنْ عَاداَنَا وَلاَ تَجْعَلْ مُصِيْبَتَنَا فِى دِيْنِنَاوَلاَ تَجْعَلِ الدُّنْيَا أَكْبَرَ هَمِّنَا وَلاَ مَبْلَغَ عِلْمِنَا وَلاَ تُسَلِّطْ عَلَيْنَا مَنْ لاَ يَرْحَمُنَا
“Ya Allah, anugerahkanlah untuk kami rasa takut kepada-Mu, yang dapat menghalangi antara kami dan perbuatan maksiat kepada-Mu, dan (anugerahkanlah kepada kami) ketaatan kepada-Mu yang akan menyampaikan Kami ke surga-Mu dan (anugerahkanlah pula) keyakinan yang akan menyebabkan ringannya bagi kami segala musibah dunia ini. Ya Allah, anugerahkanlah kenikmatan kepada kami melalui pendengaran kami, penglihatan kami dan dalam kekuatan kami selama kami masih hidup, dan jadikanlah ia warisan dari kami. Jadikanlah balasan kami atas orang-orang yang menganiaya kami, dan tolonglah kami terhadap orang yang memusuhi kami, dan janganlah Engkau jadikan musibah kami dalam urusan agama kami, dan janganlah Engkau jadikan dunia ini sebagai cita-cita terbesar kami dan puncak dari ilmu kami, dan jangan Engkau jadikan orang-orang yang tidak menyayangi kami berkuasa atas kami.” (HR Tirmidzi dan Hakim).
Selain itu masih ada lagi hadist Rasulullah yang yang menjelaskan keberpihakan Allah kepada kelompok dhuafa ini.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu
ثَلَاثَةٌ لاَ تُرَدُّ دَعْوَتُهُمُ الصَّائِمُ حَتَّى يُفْطِرَ وَالْإِمَامُ الْعَادِلُ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ يَرْفَعُهَا اللَّهُ فَوْقَ الْغَمَامِ وَيَفْتَحُ لَهَا أَبْوَابَ السَّمَاءِ وَيَقُولُ الرَّبُّ : وَعِزَّتِي لَأَنْصُرَنَّكِ وَلَوْ بَعْدَ حِينٍ
“Ada tiga golongan manusia yang do’anya tidak akan ditolak : Orang yang berpuasa sampai ia berbuka, pemimpin yang adil, dan do’anya orang yang dizhalimi, Allah akan mengangkat doanya sampai di atas awan dan dibukakan pintu-pintu langit untuknya, dan Allah berfirman : Demi keagungan-Ku, Aku benar-benar akan menolongmu meskipun tidak serta merta.” (HR. Tirmidzi).
Kembali kepada Allah
Kembali kepada Allah merupakan jawaban yang paling tepat. Kepada mereka yang sering nyeplos membuat statemen yang melewati batas kewajaran, harus ditutup dengan istighfar.
Ungkapan yang sering kelewat yang sebenarnya hanya hak Allah hanyalah cermin kerenggangan dan keangkuhan terhadap Yang Maha Penguasa. Kendati hal itu sering terjadi di luar kesadaran manusiawinya.
Bukankah di sekililing kita begitu banyak kata-kata :yang bisa menodai akidah? Ketika di jalan, di kantor, di kantin, saat bergurau kala nongkrong, dimana saja sering lepas kendali dengan ucapan kasar dan kotor.
Padahal sekalipun terhadap udara yang memenuhi ruangan, kita masih dianjurkan untuk memohon kebaikan-kebaikannya. Seperti termaktub dalam sabda Nabi ﷺ
اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ خَيْرَهَا وَخَيْرَ مَا فِيْهَا وَخَيْرَ مَا أُرْسِلْتَ بِهِ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّهَا وَشَرِّ مَا فِيْهَا وَشَرِّ مَا أُرْسِلْتَ بِهِ
Artinya: “Ya Allah, sungguh aku mohon kepadaMu kebaikan angin ini, kebaikan apa yang ada padanya, dan kebaikan pada tujuan angin ini dihembuskan. Aku berlindung kepadaMu dari keburukan angin ini, keburukan apa yang ada padanya, dan keburukan tujuan angin ini dihembuskan.” (HR: Muslim)
Sewajarnya kita memang tidak perlu membesar-besarkan apa yang menjadi karya manusia. Sebaliknya tidak menganggap kecil sesuatu yang dari Sang Maha Akbar. Nyamuk, kuman, angin dan asap, bukankah semuanya hanya kecil saja? Tapi ternyata mereka bisa mendatangkan kesulitan dan kematian.*