Apa Hukum Autopsi dalam Islam?

Apa hukum autopsi dalam Islam? Dan Bagaimana hukum autopsi untuk pembelajaran dan identifikasi penyebab kematian? Hal ini jamak kita jumpai praktiknya di Indonesia.

Kata Autopsi sudah tak asing lagi didengar di dunia investigasi. Autopsi pada umumnya merupakan proses pembedahan mayat yang dilakukan oleh tim forensik untuk mengetahui sebab kematian seseorang yang masih samar atau menyelidiki dalam jenazah yang meninggal karena tindak kekerasan seperti diracun, KDRT atau dalam kasus kekerasan seksual.

Selain dalam investigasi, autopsi kadang juga dilakukan untuk pembelajaran khususnya di bidang ilmu kedokteran. Autopsi jenis ini sering dikenal dengan istilah autopsi anatomis.

Hukum Autopsi dalam Islam

Tentunya dalam proses autopsi ini, mau tidak mau yang dilakukan adalah dengan membedah, merobek atau menyayat organ-organ si mayyit guna dianalisis lebih lanjut. Sekilas perlakuan ini merupakan tindakan yang bertentangan dengan nilai syariat karena merupakan tindakan yang mencelakai seseorang, dalam hadis disebutkan:

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كَسْرُ عَظْمِ الْمَيِّتِ كَكَسْرِهِ حَيًّا

Dari Aisyah RA, Rasulullah SAW bersabda: “Memecah tulang orang yang mati itu hukumnya sama dengan memecah tulangnya orang yang masih hidup” (HR. Abu Daud, No. 2794)

Para ulama menafsirkan hadis tersebut bahwa hukum daripada melukai mayyit adalah haram sebagaimana hukum melukai orang yang masih hidup, hal tersebut dikarenakan si mayyit masih bisa merasakan sakit ketika tubuhnya disayat atau dibedah. (Syariful Haq, Aunul Ma’budJuz.9, Hal.18)

Dari hadis itulah kemudian Imam Ahmad dan Imam Malik bertendensi untuk tidak memperbolehkan membedah mayyit walaupun dengan tujuan mengeluarkan janin yang ada didalamnya, sedangkan Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah berpendapat hal tersebut diperbolehkan:

يرى المالكية والحنابلة عملاً بحديث: «كسر عظم الميت ككسره حياً» أنه لا يجوز شق بطن الميتة الحامل لإخراج الجنين منه؛-الى ان قال- وأجاز الشافعية شق بطن الميتة لإخراج ولدها، وشق بطن الميت لإخراج مال منه. كما أجاز الحنفية كالشافعية شق بطن الميت في حال ابتلاعه مال غيره

“Ulama’ Malikiyyah dan dan Hanabilah dengan bertendensi kepada hadis diatas bahwa tidak diperbolehkan menyayat perutnya jenazah yang hamil karena untuk mengeluarkan bayi yang ada didalamnya. 

Sedangkan Ulama Syafi’iyyah memperbolehkan pembedahan perut mayyit untuk mengeluarkan janin aatau untuk mengeluarkan harta dari perut tersebut. hal itu sebegaimana legalitas yang disampaikan oleh Hanafiyyah bahwa membedah perut mayyit diberbolehkan jika ia mene” (Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu, Juz.04, Hal.508)

Berlandaskan kepada pendapat-pendapat tersebut maka hukum pada autopsi dapat ditandzirkan kepada perumusan hukum membedah perut mayyit karena tujuan ingin mengeluarkan janin. Yakni diperbolehkan menurut ulama Syafiiyyah dan Hanafiyyah, dan tidak diperbolehkan menurut ulama’ Malikiyah dan Hanabillah.

وبناء على هذه الآراء المبيحة: يجوز التشريح عند الضرورة أو الحاجة بقصد التعليم لأغراض طبية، أو لمعرفة سبب الوفاة وإثبات الجناية على المتهم بالقتل ونحو ذلك لأغراض جنائية إذا توقف عليها الوصول إلى الحق في أمر الجناية، للأدلة الدالة على وجوب العدل في الأحكام، حتى لا يظلم بريء، ولا يفلت من العقاب مجرم أثيم.

Berlandaskan pada pendapat yang memperbolehkan hal tersebut, maka diperbolehkan pula membedah mayyit (Autopsi) karena darurat atau adanya hajat seperti pembelajaran ilmu kedokteran, atau untuk mengetahui sebab kematian, atau menetapkan hukum pidana kepada tersangka pelaku pembunuhan dan kepentingan-kepentingan hukum pidana lain yang mana kebenarannya tidak bisa terungkap kecuali dengan melakukan autopsi. 

Hal tersebut karena terdapat dalil-dalil yang menunjukkan wajibnya berlaku adil dalam memutuskan hukum, sehingga orang yang tak bersalah tidak sampai terdzolimi dan orang yang bersalah tidak sampai lepas dari hukuman” (Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu,  Juz.04, Hal.508)

Demikian pembahasan mengenai apa hukum autopsi dalam Islam karena pembelajaran dan identifikasi penyebab kematian, Wallahu A’lam bisshowab.

BINCANG SYARIAH