PEMAHAMAN tentang ayat-ayat al-Qur’an masih terjadi perbedaan diantara kaum Muslimin. Perbedaan tersebut kemudian ditangkap oleh orang-orang di luar Islam sebagai bukti bahwa al-Qur’an memang banyak pertentangan.
Kemudian mereka menyamakan al-Qur’an dengan kitab-kitab terdahulu yang di dalamnya memang banyak pertentangan.
Sebagai contoh pada Bibel, terjadi pertentangan yang sangat banyak. Misalnya dua ayat tentang siapa yang membujuk Daud agar memusuhi orang Israel. Pada II Samuel 24:1 disebutkan yang membujuk adalah Tuhan sedangkan dalam I Tawarikh 21:1 disebutkan yang membujuk adalah iblis. Matius 11:13-14 menyebutkan bahwa Yohanes Pembabtis adalah Elia tapi dalam Matius 17:11-13 dan Yohanes 1:21 disebutkan bahwa Yohanes Pembabtis bukanlah Elia.
Demikian juga masalah siapa yang membawa salib. Dalam Matius, Markus, dan Lukas disebutkan Simon yang membawa salib. Tapi di dalam Yohanes, disebutkan Yesus yang membawa salibnya.
Selain contoh di atas masih banyak pertentangan antar ayat lainnya dalam Bible. Bahkan ada ayat yang bertentangan dengan beberapa halaman sebelumnya.
Tentu hal tersebut tidak akan terjadi dalam al-Qur’an sebagai kitab yang terpelihara. Karena Allah menegaskan dalam firman-Nya:
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an? Kalau kiranya al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (al-Nisa’[4]: 82).
Ayat di atas menegaskan bahwa tidak mungkin terjadi pertentangan antara ayat yang satu dengan lainnya dalam al-Qur’an. Allah telah berjanji memelihara kitabnya (Al-Hijr[15]: 9), termasuk didalamnya menjaga dari berbagai pertentangan.
Harus Paham Makna Ayat
Namun tidak dipungkiri, ada beberapa ayat yang zhahirnya terkesan bertentangan, namun sesungguhnya maknanya tidak. Artinya, untuk memahami ayat-ayat yang zhahirnya terkesan bertentangan, harus dikembalikan pada masing-masing makna sesuai kondisi atau keadaannya.
Contoh dalam Qur’an dinyatakan tidak ada paksaan untuk masuk Islam (al-Baqarah [2]:256). Tapi di ayat lain diperintahkan untuk memaksa orang-orang masuk Islam bila perlu dengan kekerasan /memeranginya (at-Taubah [9]:5, dan at-Taubah [9]:29).
Untuk memahami masalah tersebut harus mengetahui asbabul nuzul ayat masing-masing. Surat at-Taubah ayat 5, turun ketika sebelumnya telah ada perjanjian antara orang-orang muslim dan orang-musyrikin di dekat Masjidil Haram. Namun Allah beserta Rasul-Nya telah menyatakan memutuskan hubungan itu. Hal ini dikarenakan kaum musyrikin tidak bisa menepati janjinya. (Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur‘anil ‘Azhim)
Jadi umat muslim diperintahkan untuk memerangi dan membunuh kaum musyrikin karena mereka inkar janji. Perintah memerangi bukan untuk memaksa kaum musyrikin memeluk agama Islam.
Disebutkan dalam beberapa ayat bahwa tidak ada hubungan nasab antara manusia pada hari kiamat, sementara di ayat yang lain disebutkan ada hubungan nasab. Hubungan nasab yang diakui ada yaitu hubungan nasab yang terjalin sejak hidup di dunia. Seperti dalam firman Allah Azza wa Jalla: “Pada hari ketika manusia lari dari saudaranya, dari ibu dan bapaknya [Abasa [80]:34-35]
Sedangkan yang dinafikan yaitu manfaat dari hubungan nasab itu. Karena banyak orang kafir menyangka bahwa hubungan nasab mereka bisa mendatangkan manfaat bagi mereka. Allah Azza wa Jalla berfirman: “(yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih. [asy-Syu’arâ`[26]:88-89]
Semisal dengan ini, disebutkan bahwa ada juga nasab yang bermanfaat di hari kiamat, yaitu bahwa anak-anak kaum Mukminin akan diangkat dan disamakan derajatnya dengan orang tua mereka, meskipun si anak belum mencapai derajat orang tua. Allah Azza wa Jalla mengumpulkan bagi penduduk surga, orang-orang yang baik dari keluarganya seperti orang tua, pasangan dan anak-anak mereka. Hal ini terjadi karena mereka semua beriman dan memiliki watak dasar yang baik. (Syaikh Abdurrahmân bin Nâshir as-Sa`di, Al-Qawâidul Hisân, 41).
Muhkamat dan Mutasyabihat
Selain dibawa kepada pemahaman makna, yang perlu diketahui yaitu dalam al-Qur’an ada ayat yang sifatnya muhkamat, yaitu pasti dan mutasyabihat, yang samar-samar. Di antara ayat-ayat mutasyabihat diantaranya berkaitan dengan sifat-sifat Allah. Apabila ayat-ayat tersebut diartikan secara literal, akan menimbulkan pengertian bahwa Allah memiliki sifat kekurangan dan menyerupai makhluk-Nya.
Contoh ayat mutasyabihat seperti ayat, “Tuhan yang Maha Pemurah, ber-istiwa’ di atas ‘Arsy”. (Thaha[20]: 5). Dalam ayat lain Allah berfirman,” Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke manapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui. (al-Baqarah[2]: 115).
Demikian pula dengan ayat, Dan Ibrahim berkata: “Sesungguhnya aku pergi menuju kepada Tuhanku, dan dia akan memberi petunjuk kepadaku”. (al-Shaffat [37]: 99). Nabi Ibrahim dalam ayat tersebut mengatakan akan pergi ke Palestina.
Dari ketiga ayat di atas terkesan keberadaan Allah ada di tiga tempat. Ayat pertama menyimpulkan, Allah ada di Arsy. Ayat kedua Allah ada di berbagai arah di muka bumi. Dan ayat terakhir menyimpulkan Allah ada di Palestina.
Ayat-ayat tersebut menurut para ulama bersifat mutasyabihat sehingga maknanya tidak boleh diartikan secara literal. Sebab jika diartikan secara literal akan menimbulkan pengertian yang paradoks. Padahal terjadinya pertentangan dalam al-Qur’an itu tidak mungkin. Karenanya, harus meninggalkan maksud literal ayat-ayat mutasyabihat tersebut, dan mengembalikan pemahamannya kepada ayat yang muhkamat. Dalam hal ini ayat yang muhkamat yaitu firman Allah yang artinya:”Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia.” (al-Syura[42]: 11).
Berangkat dari ayat yang muhkamat ini, maka akan dapat disimpulkan bahwa Allah itu ada tanpa tempat dan tanpa arah, karena tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya.
Kesimpulan
Apabila ditemukan nash-nash yang terkesan bertentangan, tidak boleh menyalahkan nash. Salahkan diri sendiri akibat kurangnya ilmu dan pemahaman, atau dangkalnya penelitian dan pembahasan. Kita harus ber-husnudhdhan (berbaik sangka) pada nash, dan ber-su’udhdhan(berburuk sangka) pada diri sendiri.
Dalam salah satu cabang ilmu Al-Qur’an diketemukan cabang pembahasan tentang hal itu, yaitu dalam pembahasan Ta’arudl Al-Qur’an. Para ulama ketika membahas ilmu tersebut dibingkai semangat untuk menggabungkan makna ayat sehingga bisa dipahami tanpa mempertentangkan antara satu dengan yang lainnya.
Hanya orang-orang yang tidak paham atau mengikuti hawa nafsunya yang menggunakan metode mempertentangkan antara satu nash dengan nash lainnya.
Oleh karena itu, menjadi kewajiban kita untuk membawa nash yang mutasyaabih (samar) kepada nash yang muhkam (jelas).*
Oleh: Bahrul Ulum, Peneliti Institut Pemikiran dan Peradaban Islam (InPas) dan Sekretaris MIUMI Jawa Timur