Pertarungan Ingin Marah dan Ingin Ramah

BERTEBARAN di media sosial postingan tentang Islam marah dan Islam ramah. Sesungguhnya postingan seperti ini tak harus ada andai keberagamaan kita adalah keislaman gaya Rasulullah yang sejuk, ramah dan damai. Tulisan ini saya buat setelah mengikuti diskusi meja bundar dengan beberapa pembesar negeri ini seusai makan pagi tadi.

Memang melihat permasalahan bangsa dan kehidupan kita sendiri kadang mendorong kita untuk marah. Banyak yang tidak sesuai dengan keinginan kita. Tapi, bacalah sejarah dan berkacalah pada masa lalu, banyakkah masalah yang bisa diselesaikan dengan marah? Apakah Rasulullah pernah menyelesaikan masalah dengan marah? Ataukah beliau itu super ramah dan menyelesaikan masalah dengan keramahan?

Kata para pujangga: “Mengubah dengan cinta adalah mengubah dengan kelembutan. Pengaruhnya adalah pada hati yang belajar mengabadikan cinta dan kelembutan itu sebagai jalan hidup.” Kalimat indah ini benar. Lihatlah fakta santri-santri pesantren tradisional yang diajar oleh kiai peduh cinta dan kasih sayang. Sang santri tak beringas dalam hidup, tak kasar dalam bersikap dan penuh tebaran senyum dalam kehidupan.

Percayalah bahwa banyak hikmah di balik keramahan dan yakinlah bahwa banyak musibah di balik amarah. Perbanyak membaca kisah para teladan agama yang penuh damai dalam sejarah karena apa yang kita baca sering kali adalah apa yang akan lakukan. “You are what you read,” kata para psikolog. Buku bacaan Anda apa? Jangan-jangan hanya buku matematika. Ah maaf guyon.

Saya yakin banyak buku atau tulisan yang telah Anda baca. Namun, sebanyak-banyaknya buku yang kita baca, yakinlah bahwa masih lebih banyak buku yang belum kita baca. Karena itu, orang berotak normal tak akan marah dan membenci orang yang memiliki buku bacaan yang berbeda dan memiliki pandangan yang berbeda. Tetaplah ramah, wahai para orang waras. Salam, AIM.[*]

 

MOZAIK