“Manusia sekarang adalah bentuk sempurna dari sisa-sisa kehidupan purbakala yang berkembang dari jenis hominid, bangsa kera (monyet).” (Buku Sejarah SMA)
KUTIPAN di atasadalah penegasan sebuah Buku Sejarah untuk kelas X yang mengacu pada kurikulum 2013. Pendapat itu dikutip dari pernyataan Charles Darwin (1809-1882). Ditampilkanlah gambar “nenek moyang bangsa Indonesia” berupa sebuah keluarga homo erectus yang mulutnya monyong, tanpa balutan baju dan celana.
Entah bagaimana prosesnya, mulut kita sekarang tidak monyong, seperti gambar itu?
Konon, seperti dikatakan dalam buku pelajaran ini, kesimpulan bahwa nenek moyang bangsa Indonesia itu berasal dari bangsa kera (sejenis monyet) adalah hasil pendekatan sains. Artinya, secara saintifik terbukti, bahwa manusia adalah keturunan monyet. Lalu dikatakan pula, pendekatan sains berbeda dengan pendekatan agama.
“Agama berada dalam tingkat eksistensial dan transendental (soal rasa, soal hati), sedangkan sains berada dalam tingkat faktual (soal pembuktian empiris). Dengan kata lain, agama dan sains memiliki otonomi masing-masing… Singkatnya, agama dan sains (ilmu pengetahuan) tidak perlu dicampuradukkan.”
Ironis! Dengan UUD 1945 pasal 31 (3), UU No 20/2003 dan No 12/2012 yang menargetkan terbentuknya manusia beriman dan bertaqwa serta berakhlak mulia, materi pelajaran seperti itu masih dipertahankan. Konsep “manusia dari monyet” sebenarnya keliru secara keilmuan, baik secara ontologis, epistemologis, dan sekaligus aksiologis.
Secara ontologis, konsep ini hanya mendefinisikan “manusia” sebagai entitas materi semata. Bukti-bukti sejarah manusia hanya dilihat dari aspek tulang belulang.
Itu jelas keliru. Sebab, unsur utama manusia adalah Ruh, yang tidak diakui oleh konsep ilmu sekular sebagai objek ilmu, karena merupakan objek non-inderawi (insensible).
Secara epistemologis, konsep manusia dari monyet itu pun keliru. Sama sekali tidak ada bukti empiris dan rasional, bahwa manusia dari monyet.
Hingga kini, tidak ada bukti ilmuwan bisa mengubah monyet jadi manusia. Silakan kuliahkan monyet sampai ketingkat doktoral, tak akan dia berubah jadi manusia.
Atau, jika kita mau, kawinkanlah monyet dengan manusia terpandai. Tak akan lahir anak monyet berakal dan beradab.
Sejarah manusia dahulu kala, hanya bisa dipastikan melalui berita yang benar (khabar shadiq). Semua rekayasa objek purbakala hanya menghasilkan kesimpulan ke tingkat dugaan (dhan).
Sebagian ilmuwan merujuk kepada tingkat persamaan struktur gen manusia dan simpanse yang mencapai 99 persen. Toh, yang 1 persen itu pun tak pernah bisa dipenuhi oleh simpanse. Dengan cara apa pun, monyet tidak pernah jadi manusia.
Secara aksiologis, konsep manusia dari monyet ini pun tak membawa manfaat besar bagi manusia. Hasilnya hanya dugaan, bahwa nenek moyang bangsa Indonesia berasal dari daratan China dan sekitarnya.
Jika hanya begitu kesimpulannya, untuk apa trilyunan rupiah dikucurkan untuk penelitian semacam itu?
****
Sekolah-sekolah dan pesantren Islam sepatutnya memahami dampak negatif dari kurikulum yang memaksa guru dan anak didik berpikir paradoks dan sekular: memisahkan kebenaran agama dan kebenaran sains. Padahal, pandangan ini jelas dalah dan bukan kebenaran saintifik.
Konsep itu hanya anggapan dan dugaan; berasal dari rekayasa berbagai fakta empiris. Tidak ada bukti empiris dan rasional yang memastikan manusia berasal dari monyet.
Pencarian manusia tentang asal-usulnya harusnya merujuk kepada kabar dari Sang Pencipta, Allah SWT. Penolakan wahyu Ilahi sebagai sumber ilmu telah memalingkan manusia dari sejarahnya sendiri.
Manusia adalah keturunan Nabi Adam a.s. Manusia itu Bani Adam, bukan bani monyet, dan kebutuhan primer manusia tertinggi adalah ibadah; bukan makan dan minum.
Untuk beribadah, liya’budun – bukan liya’kulun — (QS 51:56) itulah, maka manusia dicipta; bukan hidup untuk makan! Sebab kalau hanya “untuk makan”, itu tujuan hidup monyet.
Saat berpuasa, seorang Muslim rela meninggalkan kebutuhan makan-minum, demi ibadah. Seorang Ibu rela menyabung nyawa, demi keselamatan anak tercintanya.
Mujahid ikhlas mengorbankan jiwa, demi cita-cita mulia. Kebutuhan ibadah lebih tinggi daripada kebutuhan jasadiah, makan-minum.
Adam a.s. dicipta dan diturunkan ke dunia untuk menjadi khalifah fil-ardh. Tugasnya, dan para Nabi sesudahnya, menegakkan kalimah Tauhid; agar manusia hanya menyembah Allah semata (QS 16:36); bukan menyembah tuyul atau genderuwo.
Sebagai khalifah, manusia bertugas memakmurkan bumi; bukan merusaknya. Jadi, silakan Anda pilih: Bani Adam atau Bani monyet?*
Direktur Attaqwa College, Depok