Banyak Bicara, Banyak Bertanya dan Menghamburkan Harta

Ada tiga hal yang Allah ridhai dan tiga hal yang Allah benci. Kali ini kita kaji tiga hal yang Allah benci: banyak bicara, banyak bertanya, dan menghamburkan harta.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ يَرْضَى لَكُمْ ثَلاَثًا وَيَكْرَهُ لَكُمْ ثَلاَثًا فَيَرْضَى لَكُمْ أَنْ تَعْبُدُوهُ وَلاَ تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَأَنْ تَعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا وَيَكْرَهُ لَكُمْ قِيلَ وَقَالَ وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ وَإِضَاعَةَ الْمَالِ

Sesungguhnya Allah meridhai tiga hal dan membenci tiga hal bagi kalian. Dia meridhai kalian untuk menyembah-Nya, dan tidak menyekutukan sesuatu pun dengan-Nya, serta berpegang teguhlah kalian dengan tali Allah dan tidak berpecah belah. Dia pun membenci tiga hal bagi kalian, menceritakan sesuatu yang tidak jelas sumbernya, banyak bertanya, dan membuang-buang harta.” (HR. Muslim no. 1715)

Ada tiga hal yang Allah benci sebagaimana dalam hadits:

  • Qila wa qaal.
  • Banyak bertanya.
  • Menghamburkan harta.

Qila wa Qaal

Maksudnya adalah perkataan yang tidak ada manfaat. Ini yang sering jadi bahan pembicaraan di warung kopi. Katanya ada berita seperti ini dan seperti itu. Namun asal usulnya tidak jelas.

Sebagaimana dinukil dari Ibnu Battol, Imam Malik berkata,

وَهُوَ الإَكْثَارُ مِنَ الكَلاَمِ وَالإِرْجَافِ، نَحْوُ قَوْلُ النَّاسِ: أَعْطَى فُلاَنٌ كَذَا وَمَنَعَ كَذَا، وَالخَوْضُ فِيْمَا لاَ يَعْنِى

“Banyak bicara dan menyebar berita yang membuat orang ketakutan. Seperti dengan mengatakan, “Si fulan memberi ini dan tidak mendapat ini.” Begitu pula maksudnya adalah menceburkan diri dalam sesuatu yang tidak manfaat.” (Syarh Ibn Battol, 12: 48)

Ibnu Hajar mengatakan bahwa yang dimaksud adalah,

حِكَايَة أَقَاوِيل النَّاس وَالْبَحْث عَنْهَا كَمَا يُقَال قَالَ فُلَان كَذَا وَقِيلَ عَنْهُ كَذَا مِمَّا يُكْرَه حِكَايَته عَنْهُ

“Menceritakan perkataan orang banyak, lalu membahasnya. Juga bisa dikatakan seperti seseorang berkata bahwa si fulan berkata seperti ini atau seperti itu dan sebenarnya hal itu tidak disukai sebagai bahan cerita.” (Fath Al-Bari, 11: 306-307)

Imam Nawawi menyatakan,

الْخَوْض فِي أَخْبَار النَّاس ، وَحِكَايَات مَا لَا يَعْنِي مِنْ أَحْوَالهمْ وَتَصَرُّفَاتهمْ

“Yang dimaksud adalah menceburkan diri dalam berita-berita yang dibicarakan orang, dalam hal yang tidak manfaat yang membicarakan aktivitas atau gerak-gerik orang lain.” (Syarh Shahih Muslim, 12: 11)

Larangan ini sama dengan perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meninggalkan hal yang diharamkan. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ

Di antara tanda kebaikan islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat” (HR. Tirmidzi no. 2317 dan Ibnu Majah no. 3976. Imam Nawawi menghasankan hadits ini dalam Al-Arba’in An-Nawawiyah)

Banyak Bertanya

Yang dimaksud adalah banyak bertanya pada sesuatu yang tidak terjadi atau sesuatu yang tidak dibutuhkan.

Juga bisa bermakna, sual yang dimaksud dalam hadits adalah meminta-minta atau mengemis. Sehingga maknanya adalah dilarang meminta-minta atau mengemis harta orang lain. (Lihat Syarh Shahih Muslim, 12: 11)

Perlu diketahui bahwa profesi pengemis benar-benar dicela dalam berbagai hadits.

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ حَتَّى يَأْتِىَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيْسَ فِى وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ

Jika seseorang meminta-minta (mengemis) pada manusia, ia akan datang pada hari kiamat tanpa memiliki sekerat daging di wajahnya.” (HR. Bukhari no. 1474 dan Muslim no. 1040)

Dari Hubsyi bin Junadah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ سَأَلَ مِنْ غَيْرِ فَقْرٍ فَكَأَنَّمَا يَأْكُلُ الْجَمْرَ

Barangsiapa meminta-minta padahal dirinya tidaklah fakir, maka ia seakan-akan memakan bara api.” (HR. Ahmad 4: 165. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth berkata bahwa hadits ini shahih dilihat dari jalur lain)

Dari Samurah bin Jundub, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْمَسْأَلَةُ كَدٌّ يَكُدُّ بِهَا الرَّجُلُ وَجْهَهُ إِلَّا أَنْ يَسْأَلَ الرَّجُلُ سُلْطَانًا أَوْ فِي أَمْرٍ لَا بُدَّ مِنْهُ

Meminta-minta adalah seperti seseorang mencakar wajahnya sendiri kecuali jika ia meminta-minta pada penguasa atau pada perkara yang benar-benar ia butuh.” (HR. An-Nasa’i no. 2600, Tirmidzi no. 681, dan Ahmad 5: 19. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Intinya, sebagaimana kata Imam Al-Qurthubi yang dimaksud dengan kats-ratu as-sual adalah:

  • Banyak mengemis harta.
  • Banyak bertanya masalah fikih pada hal yang belum terjadi. Dulu para ulama tidak menyukai hal ini dan mereka menganggap hal itu menyusah-nyusahkan diri.
  • Banyak bertanya yang tidak manfaat mengenai keadaan orang lain yang tujuannya hanya ingin mengorek aib orang lain dan menelusuri kejelekannya.

Imam Al-Qurthubi mengatakan bahwa seluruh makna tersebut bisa dipakai. (Al-Mufhim li Maa Asykala min Talkhis Kitab Muslim, 5: 164, dinukil dari Kunuz Riyadh Ash-Shalihin, 21: 132)

Menghamburkan Harta

Allah Ta’ala berfirman,

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-A’raf: 31)

Yang dimaksud dengan idha’ah al-maal (menghamburkan harta) adalah menyalurkan harta bukan pada jalan yang syar’i dan tujuannya adalah untuk memusnahkan harta. (Lihat Syarh Shahih Muslim, 12: 11)

Menghamburkan harta dilarang baik pada harta yang jumlahnya sedikit atau banyak. Karena harta disebut maal, maksudnya adalah sesuatu yang dimiliki. Jika yang dimiliki adalah sesuatu yang nilainya hanya satu dirham, maka tidak boleh dibuang begitu saja di tengah lautan. Menghamburkan seperti itu diharamkan.

Termasuk pula dalam idha’atul adalah jika harta semacam itu dilarang disalurkan untuk jalan kebaikan, atau malah disalurkan untuk maksiat pada Allah. Hal semacam ini tidak ada khilaf (selisih pendapat) di kalangan para ulama. (Demikian perkataan Imam Al-Qurthubi dalam Al-Mufhim li Maa Asykala min Talkhis Kitab Muslim, 5: 164, dinukil dari Kunuz Riyadh Ash-Shalihin, 21: 134)

Naskah Khutbah Jumat, 13 Dzulqa’dah 1436 H di Masjid Jami’ Al-Adha Pesantren Darush Sholihin

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Sumber https://rumaysho.com/11743-banyak-bicara-banyak-bertanya-dan-menghamburkan-harta.html

Banyak Bicara, Satu dari Tiga Sifat yang Dibenci Allah

MENGAPA orang bijak sering digambarkan sebagai seorang yang lebih sedikit bicara dan kalaupun berbicara, dia tidak nampak terlalu mengumbar kata sehingga terkesan bertele-tele dan berputar-putar disitu.  Ya mungkin karena sejak kecil kita sudah terbiasa dikesankan bahwa pembual atau pembohong itu identik dengan yang banyak omong, atau malah disamakan dengan penjual obat.

Memang demikianlah nyatanya, orang bijak atau yang terasah kecerdasan serta emosinya, lebih memilih untuk banyak mendengar daripada bicara. Bukan tidak suka atau tidak mau bicara, tetapi bicara jika memang harus dan perlu dan tidak bicara jika tidak benar-benar memahami masalahnya.

Seakan memang begitulah alasan mengapa Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan dua telinga dan satu mulut, agar lebih banyak kata yang kita serap daripada yang disuarakan.

Keselamatan seseorang terletak pada kemampuannya dalam menjaga lidahnya, akalnya diletakkan di depan lidahnya, bukan di belakang, maknanya dia selalu berpikir sebelum menyatakan sesuatu.  Apalagi dijaman teknologi digital sekarang ini, semua semakin tidak berjarak lagi.

Apa yang kita sampaikan saat ini dalam hitungan menit sudah merebak dimana-mana. Fatalnya karena merasa ingin menjadi yang pertama, orang sering tak merasa harus mendengar tuntas dan memahami sepenuhnya isi lalu membagikan kesahalan pada khalayak luas.

Dahulu, kita sering terperangah ketika mendengar seseorang bicara. Dia yang selama ini banyak diam dan kita anggap biasa-biasa saja, tetiba kita baru menyadari ternyata dia seorang yang bijak dan dalam ilmunya.

Mengapa sekarang yang terjadi malah sebaliknya, seseorang justru karena ingin dianggap ada atau diakui sebagai berilmu atau faham tentang sesuatu, maka dia berani bicara di depan forum tentang sesuatu yang bukan saja diluar kompetensinya?  Bahkan dia tidak faham sama sekali apa yang disampaikannya.

Ya.. Orang jadi gandrung ingin dianggap tahu dengan bicara, bukan bicara karena tahu.  Ini tingkat kebodohan yang paling tinggi, karena justru dengan banyak bicara, orang justru makin tau kadar keilmuannya, atau dengan kata lain, dia tengah membuka auratnya sendiri.

Bahkan yang paling menjijikkan seorang ‘akademisi’ yang notabene terbiasa berpikir berdasar ilmu, berani menyatakan atau menafsirkan sesuatu tanpa dasar pengetahuan, bahkan menyangkut agama yang diyakininya.

Lebih baik dia membaca dan menelaah hadits Rasulullah ﷺ di bawah ini:

أَلَا أُخْبِرُكَ بِمَلَاكِ ذَلِكَ كُلِّهِ

كُفَّ عَلَيْكَ هَذَا

ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ يَا مُعَاذُ، وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِي النَّارِ عَلَى وُجُوهِهِمْ أَوْ عَلَى مَنَاخِرِهِمْ إِلَّا حَصَائِدُ

Diriwayatkan dari sahabat Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, dalam sebuah hadits yang panjang, di akhir hadits disebutkan, beliau ﷺ bersabda, “Maukah Engkau aku kabarkan dengan sesuatu yang menjadi kunci itu semua?” Aku menjawab, “Ya, wahai Nabi Allah.” Lalu beliau memegang lisannya, dan bersabda, “Tahanlah (lidah)-mu ini.” Aku bertanya, “Wahai Nabi Allah, (apakah) sungguh kita akan diadzab disebabkan oleh perkataan yang kita ucapkan?”  Beliau menjawab, “(Celakalah kamu), ibumu kehilanganmu wahai Mu’adz! [1] Tidaklah manusia itu disungkurkan ke dalam neraka di atas muka atau hidung mereka, melainkan karena hasil ucapan lisan mereka.” (HR: Tirmidzi no. 2616)

Dalam hadits lain Rasulullah ﷺ bersabda

لمسْلِمُ مَنْ سَلِمَ المسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ , و المهاجِرَ مَنْ هَجَرَ مَا نهَى اللهُ عَنْهُ

“Yang disebut dengan muslim sejati adalah orang yang selamat orang muslim lainnya dari lisan dan tangannya. Dan orang yang berhijrah adalah orang yang berhijrah dari perkara yang dilarang oleh Allah.” (HR: Bukhari no. 10 dan Muslim no. 40).

Ulama pewaris Nabi?

Ulama adalah pewaris Nabi tidak semata karena ilmunya, yang terpenting adalah kehati-hatiannya, justru inilah yang membedakannya dengan orang jahil atau bodoh. Dien adalah wilayah Allah dan Rasul-Nya, seseorang tidak bebas membuat tafsiran yang disandarkan pada akalnya, sedalam apapun ilmunya.

Bagaimana mungkin seseorang bisa mengatakan bahwa Dien ini belum sempurna? Lalu apakah ‘kesempurnaan’ itu menjadi kewenangan tiap orang?

Kesesatan di atas kesesatan!

Banyak bicara adalah satu di antara tiga sifat yang dibenci Allah Subhanahu wa Ta’ala, selain dari menyia-nyiakan harta dan banyak bertanya, demikian hadits Rasulullah ﷺ dari Abu Hurairah yang diriwayatkan Imam Malik.

Rasulullah bersabda diriwayatkan dari Abdullah bin Umar;

من كثر كلامه كثر سقطه ومن كثر سقطه كثرت ذنوبه ومن كثرت ذنوبه كانت النار أولى به

“Barangsiapa yang banyak bicaranya niscaya akan banyak salahnya, dan barangsiapa yang banyak salahnya maka akan banyak dosanya, dan barangsiapa yang banyak dosanya maka lebih pantas masuk Neraka.” (Diriwayatkan Al-Uqaili dalam Adh Dhu’afa (336), Ath Thabrani dalam Al Ausath (502))

Jika yang ingin dicapai adalah penguatan akidah umat, maka ada banyak hal yang bisa diungkapkan. Akidah ini yang lebih akan menyelamatkan umat, yaitu menjauhkan umat dari menyekutukan Allah dengan apapun, juga membentengi umat dari serbuan pemurtadan yang makin masif dilakukan non-muslim.

Tetapi memang ada orang-orang dari internal Muslimin sendiri yang ada penyakit di hatinya, mereka lebih suka membuat kebingungan, kebimbangan dikalangan umat Islam sendiri. Mereka tak berani tegas menyatakan membenci Islam, tetapi mengarahkan umat untuk membenci Arab.

Mereka menolak apapun yang berbau Arab dengan alasan itu budaya asing, tetapi keseharian mereka bergelut dengan budaya Barat.  Setiap hari mereka terus bicara dan menulis, dan semakin jelas buat kita, betapa mereka penuh dengan kebencian dan tipu muslihat.

Mereka tidak mengutip ayat Al-Quran, kecuali untuk lalu diputarbalikkan arti dan tafsirnya.  Mereka lebih suka pada ayat-ayat yang tersamar, bukan ayat yang jelas dan tegas.

*هُوَ الَّذِيْٓ اَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتٰبَ مِنْهُ اٰيٰتٌ مُّحْكَمٰتٌ هُنَّ اُمُّ الْكِتٰبِ وَاُخَرُ مُتَشٰبِهٰتٌ ۗ فَاَمَّا الَّذِيْنَ فِيْ قُلُوْبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُوْنَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاۤءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاۤءَ تَأْوِيْلِهٖۚ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْلَهٗٓ  اِلَّا اللّٰهُ  ۘوَالرّٰسِخُوْنَ فِى الْعِلْمِ يَقُوْلُوْنَ اٰمَنَّا بِهٖۙ  كُلٌّ مِّنْ عِنْدِ رَبِّنَا ۚ وَمَا يَذَّكَّرُ اِلَّآ اُولُوا الْاَلْبَابِ*

“Dialah yang menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad). Di antaranya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok Kitab (Al-Qur’an) dan yang lain mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong pada kesesatan, mereka mengikuti yang mutasyabihat untuk mencari-cari fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. Dan orang-orang yang ilmunya mendalam berkata, “Kami beriman kepadanya (Al-Qur’an), semuanya dari sisi Tuhan kami.” Tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang yang berakal.” (QS: Ali Imran, ayat 7).

Kita semua berlindung kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala atas Negeri ini dari rencana jahat para pembuat kerusakan, yaitu merusak akhlak dan akidah umat. Jika mereka tidak segera sadar dan bertobat, semoga  Allah mengadzab mereka di dunia dan akherat.. aamiin.*/Hamid Abud Attamimi

HIDAYATULLAH