Abdul Fattah As-Samman dalam buku Harta Nabi menjelaskan, Nabi Muhammad SAW menggunakan sejumlah barang yang difungsikan untuk tidur. Misalnya sebagaimana yang disebutkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Sayyidah Aisyah, “Tempat Rasulullah biasa berbaring tidur terbuat dari tikar anyaman daun kurma,”.
Sedangkan berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah, dia berkata, “Ketika aku berbaring bersama Rasulullah dalam satu selimut, tiba-tiba aku mengalami menstruasi. Sehingga aku pun keluar secara perlahan mengambil pakaian yang terkena darah haidku. Rasulullah bertanya kepadaku, ‘Apakah kamu sedang haid?’. Aku menjawab, ‘Ya’. Rasulullah kemudian memanggilku lalu aku berbaring lagi bersama beliau dalam satu selimut,”.
Dijelaskan pula bahwa tikar Nabi yang pada era sekarang barangkali menyerupai alas ranjang. Sedangkan alas ranjang mempunyai papan dan tiang penyangga. Muhammad bin Umar berkata, “Para sahabat kami berkumpul di Madinah. Mereka tidak berbeda pendapat mengenai ranjang Nabi bahwa papan-papannya dibeli Abdullah bin Ishaq Al-Ishaqi dari mawali Muawiyah bin Abu Sufyan. Dia membeli papan-papan ranjang Nabi seharga 4.000 dirham,”.
Diriwayatkan oleh Sayyidah Aisyah, dia berkata, “Kaum Quraisy di Makkah tidak ada yang lebih mereka senangi dari ruang ranjang untuk tidur. Tatkala Rasulullah hijrah ke Madinah dan singgah di rumah Abu Ayyub, beliau bersabda, ‘Wahai Abu Ayyub, apakah kamu tidak mempunyai ranjang?’, Abu Ayub berkata, ‘Demi Allah, aku tidak punya’.
Tatkala berita tersebut disampaikan kepada As’ad bin Zurarah, maka As’ad segera mengirim ke rumah Ayyub ranjang berpenyangga. KAyu penyangganya dari pohon jati dan bagian kepalanya dihias dengan gelang-gelang. Rasulullah tidur di atas ranjang tersebut, sampai beliau pindah ke rumah beliau sendiri, ranjang tersebut masih ada. Ranjang itu lalu diberikan padaku.
Rasulullah biasa tidur di atas ranjang itu sampai meninggal. Jasad beliau diletakkan di atasnya dan dishalati di atasnya. Manusia sering menggunakan ranjang tersebut untuk membawa mayit ke makam. Dengan ranjang itu pula, jasad Sayyidina Abu Bakar dan jasad Sayyidina Umar bin Khattab dibawa ke makam. Kaum Muslimin sering menggunakannya untuk mengantarkan jenazah ke keburnya, karena berharap mendapat berkah dari Allah dengannya,”.
Diriwayatkan oleh Sayyidah Aisyah, dia berkata, “Aku pernah tidur terlentang di kasur, lalu Rasulullah datang. Beliau mengambil tempat di tengah kasur kemudian shalat. Karena aku tidak senang tubuhku berada di arah kiblat menghalangi shalat beliau, maka aku beranjak dari arah kedua kaki kasur, hingga aku menarik selimutku,”.
Masih dari hadis yang diriwayatkan oleh Sayyidah Aisyah, dia berkata, “Seorang perempuan dari Anshar bertamu ke rumahku, lalu dia melihat tikar Rasulullah terbuat dari daun kurma yang dapat dilipat. Maka dia bergegas keluar rumah lalu mengirim tikar berisi bulu domba. Ketika Rasulullah datang, maka beliau bertanya kepadaku, ‘Apakah ini, wahai Aisyah?’. Aku menjawab, ‘Wahai Rasulullah, tadi ada seorang perempuan Anshar datang kepadaku. Tatkala melihat tikar engkau, maka dia bergegas pergi lalu mengirimkan barang ini kepadaku’.
Nabi kemudian bersabda, ‘Kembalikanlah ia, Wahai Aisyah. Demi Allah, seandainya aku menghendaki, niscaya Allah menjalankan bersamaku gunung dari emas dan perak’,”.
Dijelaskan bahwa barangkali penolakan tersebut kembali pada konsistensi Rasulullah yang ingin menjalani hidup dengan ubudiyah (peribadahan). Hadis tersebut juga membantah anggapan bahwa tikar yang dapat dilipat dan dibentangkan menunjukkan kondisi kehidupan Rasulullah adalah sempit dan fakir.
Barangkali, kata Abdul Fattah, Rasulullah memilih tikar tipe tersebut sebab mudah dilipat ketika hendak mendirikan shalat malam. Yang jelas, tikar itu bukanlah tikar kamar keluarga, dalam arti bukan tikar untuk tidur Rasulullah bersama istri beliau.
Hal ini bahkan lebih jelas tatkala hadis riwayat Ibnu Majah dibaca, berikut hadisnya dari Ibnu Umar yang berkata, “Ketika Nabi beriktikaf, maka beliau membentangkan tikar beliau, atau beliau membentangkan kasur di balik tiang,”.