Batalkan Transaksi Daring Setelah Akad, Bolehkah?

Banyak masyarakat memanfaatkan platform perdagangan elektronik (e-commerce) untuk membeli barang yang diinginkan. Namun, terkadang ada konsumen yang membatalkan transaksi setelah akad seperti setelah melakukan check-out atau mengeklik oke terhadap barang yang dibeli pada platform e- commerce tertentu.

Apakah itu diperbolehkan dalam syariat Islam?

Pakar fikih Muamalah yang juga anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), Ustaz Oni Sahroni, mengatakan, jika pembatalan transaksi daring dilakukan sebelum melakuan ijab kabul atau akad maka tidak ada konsekuensi apa pun. Sebab, itu merupakan fase musawamah atau tawar-menawar untuk menyepakati harga barang.

Itu disebut juga fase khiyar, yaitu fase bagi pembeli maupun penjual menentukan pilihan akan melanjutkan atau membatalkan transaksi. Artinya, bila belum terjadi transaksi atau belum ada ijab kabul maka pihak penjual atau pembeli boleh membatalkan perjanjian.

Lalu, bagaimana bila ijab kabul telah terjadi dan konsumen telah melakukan transfer pembayaran kepada penjual?

Ustaz Oni mengatakan, bila barang telah masuk dalam inputbarang yang dibeli, konsumen telah menentukan alat bayar, konsumen sudah melakukan checkoutatau mengeklik oketerhadap barang yang dibeli dan melakukan transfer, artinya telah terjadi ijab kabul antara pembeli dan penjual. Dalam kondisi seperti itu, yakni telah terjadi transaksi, salah satu pihak tidak boleh membatalkan perjanjian kecuali mendapatkan persetujuan dari pihak lain.

Jika salah satu pihak melakukan pembatalan, itu harus dilakukan atas persetujuan. Jadi, tidak boleh serta- merta salah satu pihak membatalkan akad kecuali pihak lain menyetujui.Namun, jika salah satu pihak membatalkan, misalnya di platform digital, harus ada sistem yang memberikan perlindungan kepada konsumen. Caranya adalah hak-hak mereka harus dikembalikan.

Kalau uangnya sudah dikirim, segera dikembalikan. Ini harus jelas apa ke rekening e-commerceatau ke rekening si pembeli,” kata Ustaz Oni dalam kajian virtual konsultasi syariah beberapa hari lalu.

Ustaz Oni mengatakan, bila terjadi pembatalan maka transaksinya menjadi batal (infisakh)sehingga tidak ada akad yang mengikat kedua belah pihak. Maka, bila transaksi dibatalkan, hak-hak masing-masing harus dikembalikan.

Bila ada kerugian akibat pembatal an, pihak yang melakukan dan mengakibatkan kerugian harus meng ganti sebesar real cost. Itu seba gaimana dijelaskan dalam Fatwa DSN MUI Nomor 43/DSN-MUI/VIII/2004 tentang Ganti Rugi (Ta’widh).Bila terjadi pembatalan maka barang yang masih dalam tahap pengiriman dan uang yang sudah ditransfer itu harus dihitung ulang dan diberikan ganti rugi jika ada sehingga semaksimal mungkin para pihak itu tidak terzalimi (diperlakukan secara adil). 

Tentang mekanisme pembatalan beserta konsekuensinya, itu telah diatur dalam klausul perjanjian platform daring. Di sana dijelaskan tentang kondisi-kondisi yang memungkinkan konsumen memba talkan dan tidak boleh membatalkan.Ketika terjadi pembatalan, ditentukan pula kondisi-kondisi yang mengharuskan kerugian riil ditanggung oleh konsumen atau pihak penjual. Semua mekanisme tersebut merujuk pada tuntunan syariah seputar pembagian kerugian, khiyar, dan komitmen dengan perjanjian serta merujuk pada asas pemenuhan hak kedua belah pihak semaksimal mungkin serta perlindungan konsumen.

“Dibuat klausul dari awal bahwa kalau barangnya tidak ada, tidak terse dia, ada klausul di awal (uangnya kon sumen) dikembalikan ke mana, dan kalau ada kerugian harus dibuat pa rameter kerugian riil yang harus dikompensasi tersebut,” katanya. 

IHRAM