Begini Cara Nabi Syuaib Mengatasi ‘Penyakit Kronis’ Kecurangan dalam Perdagangan

Nabi Syuaib diutus kepada kaum Madyan yang penduduknya terkenal dengan profesi dagang ulung. Hampir seluruh penduduknya sudah akrab dengan dunia perdagangan sejak dini. Namun demikian, penduduk Madyan juga dikenal sebagai penduduk yang gemar melakukan berbagai kecurangan dalam perdagangannya.

Bahkan terdapat kisah yang menyebutkan bahwa kaum Madyan adalah kaum yang pertama kali melakukan praktek monopoli. Dikisahkan, para penduduk Madyan mempunyai tradisi di mana mereka membeli gandum dan bahan-bahan pokok lainnya kemudian menimbunnya sampai masa harga melonjak.

Bahkan yang lebih parah dari melakukan monopoli, kaum Madyan juga memiliki suatu kebiasaan yang buruk. Di setiap pedagang, memiliki dua timbangan; timbangan yang pas dan normal untuk menakar barang-barang yang dibeli dan timbangan kedua adalah timbangan yang dikurangi dengan settingan sedemikian rupa untuk menimbang barang yang akan mereka jual.

Tidak hanya itu, di bawah ini akan diuraikan tiga bentuk kecurangan dalam perdagangan yang dilakukan oleh kaum Nabi Syuaib. Kecurangan yang diungkap di sini tentu saja bukan untuk ditiru, namun dijadikan sebagai refleksi dan pembelajaran bagi manusia di era modern seperti saat sekarang ini bahwa jangan sampai praktek kecurangan yang dilakukan oleh kaum Madyan yang belum tercerahkan itu terjadi hari ini.

Pertama, mencurangi orang lain.

Memperlakukan orang secara tidak adil dan tidak proporsional adalah bentuk nyata kecurangan. Praktek kecurangan inilah yang sering terjadi di kehidupan kaum Madyan. Maka, terkait perilaku ini, al-Qur’an menyebutkan dengan istilah “al-bakhs“. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Nabi Syuaib ketika melarang kaumnya untuk tidak berlakucurang sebagaimana tercermin dalam QS. Hud ayat 85:

…وَلَا تَبْخَسُوا النَّاسَ اَشْيَاۤءَهُمْ وَلَا تَعْثَوْا فِى الْاَرْضِ مُفْسِدِيْنَ

..Janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan jangan kamu membuat kejahatan di bumi dengan berbuat kerusakan.

Ibnu Arabi menjelaskan kata al-bakhs sebagai mengurangi segala sesuatu dari yang seharusnya, nanum tidak hanya terbatas pada timbangan, menipu, mencuri atau mengelabui juga termasuk dalam pengertian al-bakhs.

Menipu dan monopoli menjadi dua bentuk kecurangan yang acapkali dilakukan oleh kaum Madyan. Hal ini sejalan dengan karakter mereka, yakni gemar menumpuk harta dengan cara yang batil.

Kedua, mengurangi timbangan atau takaran

Dalam kitab-kitab tarikh karya ulama, seperti Qashash al-Anbiya karya Ibnu Katsir, disebutkan bahwa ciri utama yang melekat pada kaum Madyan adalah kegemarannya mengurangi timbangan atau takaran.

Tentu saja mengurangi timbangan merupakan dosa yang sangat besar dalam ekonomi, karena dapat merugikan banyak orang. Dalam Islam, praktek semacam ini sungguh tidak dibenarkan.

Oleh karena itu, Nabi Syuaib diperintahkan oleh Allah untuk meluruskan perilaku menyimpang kaum Madyan ini. Hal ini sebagaimana terpatri dalam QS. al-A’raf ayat 85:

Dan kepada penduduk Madyan, Kami (utus) Syuaib, saudara mereka sendiri. Dia berkata, “Wahai kaumku! Sembahlah Allah. Tidak ada tuhan (sembahan) bagimu selain Dia. Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu. Sempurnakanlah takaran dan timbangan, dan jangan kamu merugikan orang sedikit pun. Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Itulah yang lebih baik bagimu jika kamu orang beriman.

Dalam ayat lain, Hud ayat 84, secara tegas Allah berfirman bahwa Nabi Syuaib diutus untuk melakukan perubahan terhadap laku kaum Madyan, khususnya yang suka mengurangi timbangan. Karena, sebagaimana ditegaskan oleh Imam Ar-Razi, bahwa kebiasaan para Nabi setiap melihat kaumnya melakukan satu bentuk penyimpangan melebihi lainnya, maka disitulah dakwah yang ditekankan kepada para Nabi.

Ketiga, melakukan pungutan liar.

Pungutan liar merupakan penyakit kronis yang sudah lama menjangkiti di hampir semua bidang, terutama yang berkaitan dengan perdagangan dan sejenisnya. Bahkan kisah kaum Madyan ini semakin menyadarkan kepada kita bahwa pungutan liar memang penyakit lama yang harus disembuhkan.

Dalam QS. al-A’raf ayat 86, Allah berfirman: “Dan janganlah kamu duduk di setiap jalan dengan menakut-nakuti dan menghalang-halangi orang-orang yang beriman dari jalan Allah dan ingin membelokkannya.

Ayat tersebut masih membahas tentang kisah Nabi Syuaid, tepatnya menggambarkan perilaku kaum Madyan kala itu. Lantas apa hubungannya dengan pungutan liar? Mari kita tujukan peratian kita pada ungkapan “ duduk di setiap jalan“.

Terkait kata tersebut, setidaknya ada tiga penafsiran yang berbeda-beda. Pertama, mengartikan kata “duduk di setiap jalan” sebagai ancaman dan menakut-nakuti orang yang akan menuju rumah Nabi Syuaib. Kedua, larangan untuk membegal dan merampok harta orang lain. Ketiga, melakukan pungutan liar.

Dari ketiga penafsiran di atas, penulis lebih condong pada kelompok ketiga, yang mengartikannya dengan pungutan liar. Ini sebagaimana pendapat Abullah Halim Umar, pakar ekonomi universitas al-Azhar.

Jadi, kala itu, praktek yang menjamur adalah pungutan liar setiap kali ada pedagang yang melintas di jalan. Senada dengan perilaku ini dan juga terjadi hari ini adalah sogokan, suap, korupsi dan lainnya.

Jika beberapa hari ini viral ada anggota KPPS yang kritis tentang dana Bimtek yang diduga kuat disunat oleh oknum tertentu, tentu kita patut sedih karena praktek kaum Madyan jaman Nabi Syuaib yang sudah terjadi ratusan ribu tahun lalu masih saja dipraktekkan hari ini.

Cara Nabi Syuaib Mengatasi Kecurangan

Tiga bentuk kecurangan secara garis besar di atas tidak membuat Nabi Syuaib berpangku tangan saja. Ada beberapa hal yang dilakukan oleh Nabi Syuaib dalam mengatasi persoalan tersebut.

Pertama, melarang dengan menggunakan argumentasi rasional dan mengaitkanya dengan keimanan kepada Allah SWT. Larangan tersebut adalah strategi Nabi Syuaib untuk melakukan dakwahnya.

Kedua, mengingatkan kaum Madyan akan nikmat-nikmat Allah. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam QS. al-A’raf ayat 86. Maksud cara ini adalah menyadarkan kepada kaum Madyan akan sebuah fakta bahwa uang dan kekayaan yang mereka kejar, bahkan sampai dengan cara yang curang, bukanlah tujuan yang harus dicapai dengan mengorbankan seluruh tenaga dan nyawa, tetapi hanyalah sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Ketiga, mengingatkan akan adanya azab dari Allah SWT itu ada dan nyata. Bahkan, dalam konteks ini, Allah sudah berfirman bahwa terdapat kaum yang ditimpa azab karena terus ingkar kepada keesaan Allah SWT seperti kaum Nuh, Hud dan Saleh.

ISLAMKAFFAH