Syaikh Muhammad bin Umar Bazmul
Soal:
Apa dalil wajibnya membela tanah air kaum muslimin?
Jawab:
Dalil wajibnya hal tersebut ada dari Al-Qur’an, As-Sunnah, ijmak (kesepakatan ulama) dan akal.
Adapun dalil dari Al-Qur’an adalah firman Allah ta’ala:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(-Nya) serta ulil amri di antara kamu” (QS. An-Nisa: 59).
Dan diantara bentuk taat kepada ulil amri adalah membela mereka dalam memerangi pihak-pihak yang membenci dan melawan mereka di negeri-negeri mereka.
Adapun dalil dari As-Sunnah di antaranya hadits riwayat Imam Muslim, nomor 1852, dari Arfajah, ia berkata: aku mendengar Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda:
مَنْ أَتَاكُمْ وَأَمْرُكُمْ جَمِيعٌ عَلَى رَجُلٍ وَاحِدٍ، يُرِيدُ أَنْ يَشُقَّ عَصَاكُمْ، أَوْ يُفَرِّقَ جَمَاعَتَكُمْ، فَاقْتُلُوهُ
“Jika ada orang yang datang kepada kalian, ketika kalian telah sepakat terhadap satu orang (sebagai pemimpin), lalu dia ingin merusak persatuan kalian atau memecah jama’ah kalian, maka perangilah ia”.
Dari Sa’id bin Zaid ia berkata: aku mendengar Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda:
مَنْ قُتِلَ دُونَ مَالِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ وَمَنْ قُتِلَ دُونَ دِينِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ وَمَنْ قُتِلَ دُونَ دَمِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ وَمَنْ قُتِلَ دُونَ أَهْلِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ
“Barangsiapa yang terbunuh ketika mempertahankan hartanya, maka ia syahid. Barangsiapa yang terbunuh ketika mempertahankan agamanya, maka ia syahid. Barangsiapa yang terbunuh ketika mempertahankan darahnya, maka ia syahid. Barangsiapa yang terbunuh ketika membela keluarganya, maka ia syahid” (At-Tirmidzi berkata: hadits ini hasan shahih).
Hadits ini dikeluarkan oleh Abu Daud dalam kitab As-Sunnah, bab Qitalul Lushush, no. 4772, At-Tirmidzi dalam kitab Ad-Diyat, bab Maa jaa-a fi man qatala fahuwa syahid, no. 1421 juga oleh An-Nasa-i dalam kitab Tahrimud Damm, bab man qaatala duuna diinihi, no. 4095. Bagian pertama yaitu “Barangsiapa yang terbunuh ketika mempertahankan hartanya, maka ia syahid”, ini dikeluarkan oleh Al-Bukhari dalam kitab Al-Mazhalim wal Ghashab, bab Qatilun duuna maalihi, no. 2480 dan Muslim dalam kitab Al-Iman bab Ad-Dalil ‘ala man qashada akhdza mali ghayrihi, no. 141.
Perkara yang disebutkan dalam hadits ini adalah tentang membela harta, keluarga dan nyawa sendiri. Maka mati ketika membela tanah air kaum muslimin dan negeri mereka itu min baabil aula (lebih pantas lagi menerima status syahid).
Adapun dalil ijmak, para ulama sepakat bahwa pihak yang memenangkan tampuk kekuasaan dalam suatu negara dan ia menerapkan syariat Allah di sana, maka wajib berbaiat (janji setia) kepadanya lalu mendengar dan taat kepadanya.
Adapun dalil akal, bahwasanya tanah air itu bagaikan rumah. Sebagaimana seseorang akan membela rumah dan tanahnya, maka iapun tentu akan membela tanah airnya yang merupakan negeri kaum muslimin.
Jika ada yang bertanya: bagaimana jika ada negeri muslim yang lain yang memerangi negeri kita yang muslim juga?
Jawabannya, hendaknya kita mengusahakan perdamaian di antara keduanya. Jika tidak bisa, maka perangilah pihak yang bagha (melanggar batasan-batasan Allah) hingga ia kembali menaati batasan-batasan Allah. Allah ta’ala berfirman:
قال تعالى : {وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ (9) إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ (10) } الحجرات: 9 – 11
“Dan jikalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu mendamaikan antara keduanya! Tapi jikalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang bagha itu kamu perangi sampai kembali kepada perintah Allah” (QS. Al Hujurat: 9 – 11).
Jika ada yang bertanya: bagaimana jika kita meragukan keislaman pemimpin kita?
Jawabnya, kita hanya menghukumi secara zahir, Allah yang akan mengurus perkara-perkara tersembunyi darinya. Selama kita tidak melihat secara langsung kekufuran yang nyata yang tidak diperselisihkan kekufurannya pada diri pemimpin, maka kaidah mengatakan baqaa-u maa kaana ‘alaa maa kaana(hukum yang awal [bahwa ia seorang muslim] adalah yang berlaku).
Dari Junadah bin Abi Umayyah ia berkata: aku pernah datang kepada Ubadah bin Shamit ketika ia sedang sakit. Aku berkata: “semoga Allah memperbaiki keadaanmu, sampaikan kepadaku hadits yang membuat Allah memberi manfaat kepadamu”. Ubadah berkata: aku mendengar Nabi shallallahu ’alaihi wasallam bersabda:
دَعَانَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَايَعْنَاهُ فَقَالَ: فِيمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةً عَلَيْنَا وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنْ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ
“Suatu ketika Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam memanggil kami, lalu kami mengucapkan baiat (janji setia) kepada beliau untuk menjalankan segala sesuatu yang diwajibkan, kami berbaiat kepada beliau untuk selalu mendengar dan taat, baik suka ataupun tidak suka, baik sulit ataupun mudah dan tidak mencabut ketaatan dari orang yang wajib untuk ditaati, kecuali jika kalian melihat kekufuran yang nyata yang bisa kalian pertanggungjawabkan buktinya di hadapan Allah” (HR. Al-Bukhari dalam kitab Al Fitan bab “Qaulun Nabi shallallahu ’alaihi wasallam: Satarauna…” no. 7056, Muslim dalam kitab Al-Imarat bab Wujubu Tha’atil Umara fi Ghayri Ma’shiyyah no. 1709).
Hadits ini menetapkan bahwa seorang pemimpin muslim menurut hukum asalnya adalah muslim dan tidak dianggap keluar dari agama Islam kecuali dengan bukti yang meyakinkan. “Kecuali kalian melihat kekufuran yang nyata yang bisa kalian pertanggung-jawabkan buktinya di hadapan Allah”. Oleh karena itu, sekedar prasangka atau keraguan semata tidak sah untuk mengkafirkan (menjatuhkan vonis kafir) seorang pemimpin. Jika baru berupa prasangka atau keraguan maka tetap berlaku hukum asal bahwa ia adalah pemimpin muslim.
Dari sini juga, Ahlussunnah wal Jama’ah membedakan antara takfir mu’ayyan (vonis kafir terhadap individu) dan takfir ghayru mu’ayyan (vonis kafir terhadap perbuatan).
Maka hadits ini memuat syarat-syarat untuk bisa menghukumi seorang pemimpin muslim sebagai kafir, yaitu
- “Kecuali kalian melihat..” menunjukkan bukti kekafirannya harus berupa perkara zahir yang bisa dilihat oleh mata;
- Nabi shallallahu ’alaihi wasallam menyebutkan ru’yah di sini dengan wawu jama’ah menunjukkan bukti tersebut bukan hanya dilihat oleh satu orang namun oleh banyak kaum muslimin;
- “Kecuali kalian melihat kekufuran..” maka ia tidak dikafirkan karena melakukan maksiat walaupun dosa besar sekalipun;
- “Kecuali kalian melihat kekufuran yang nyata..” maksudnya kekufuran yang zahir
- “…yang bisa kalian pertanggungjawabkan buktinya di hadapan Allah”, maka tidak semua bukti berlaku di sini. Namun buktinya dari sisi Allah, yaitu berupa nash yang jelas, shahih dan sharih (tegas dan tidak mengandung kemungkinan makna lain).
Jika ada yang mengatakan: Jika pemimpin adalah orang kafir, maka wajibkah membela tanah air?
Jawabannya, tidak perlu membela negara yang ia pimpin dan hukumnya (hukum yang ia buat), karena itu tidak wajib bahkan tidak boleh. Wallahul musta’an.
***
Sumber: Halaman facebook Syaikh Muhammad Umar Bazmul https://www.facebook.com/mohammadbazmool/posts/1409757729142709
Penulis: Yulian Purnama
A
Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/31432-wajib-membela-tanah-air-kaum-muslimin.html