KALAU Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallaam menyuruh manusia berlaku adil, itu setelah beliau terlebih dahulu mempraktikkannya di rumah, kepada istri, anak, cucu, dan pembantunya.
Beliau tak pernah menyimpang dari kebenaran dalam urusan sekecil apa pun, apalagi perkara besar. Hari-harinya dibagi sama rata untuk semua istrinya. Beliau tidak ingin diantara mereka ada yang mendapat jatah lebih banyak dibanding yang lain, baik dalam hal nafkah maupun pergaulan.
Di samping adil dalam segala urusan hidup, beliau juga adil dalam urusan membagi cinta kepada mereka. Beliau berusaha agar masing-masing dari mereka merasakan sentuhan yang sama dari beliau dalam urusan cinta.
Hanya, hati memang berada di luar batas kemampuan manusia. Bagaimanapun Rasulullah berusaha meletakkan hati di posisi netral, tetap saja ia condong ke kiri atau ke kanan.
Hal ini membuat beliau cemas dan gelisah, lalu mengadukannya kepada Tuhan. Mengakui kelemahannya ini beliau lalu berdoa, “Ya Allah, inilah pembagian yang mampu aku lakukan, maka janganlah Kau siksa aku dalam apa yang tak mampu aku lakukan.”
Rasulullah tinggal bersama masing-masing istrinya tanpa dibeda-bedakan. Saking cermatnya keadilan beliau, sampai-sampai kalau mau berpegian atau berperang, beliau mengundi mereka. Siapa yang anak panahnya keluar, dialah yang berhak ikut bersama beliau.
Satu dari sejumlah bukti komitmen Rasulullah untuk berlaku adil kepada istri-istrinya terekam ketika suatu hari, setelah turun firman Allah dalam surat Al-Ahzab ayat 51:
“Kamu boleh menangguhkan menggauli siapa yang kamu kehendaki di antara mereka (isteri-isterimu) dan (boleh pula) menggauli siapa yang kamu kehendaki. Dan siapa-siapa yang kamu ingini untuk menggaulinya kembali dari perempuan yang telah kamu cerai, maka tidak ada dosa bagimu. Yang demikian itu adalah lebih dekat untuk ketenangan hati mereka, dan mereka tidak merasa sedih, dan semuanya rela dengan apa yang telah kamu berikan kepada mereka. Dan Allah mengetahui apa yang (tersimpan) dalam hatimu. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.”
Beliau lalu meminta izin kepada salah seorang istrinya. Tetapi, Aisyah berkata, “Sungguh, aku tidak akan melunakkanmu kepada seorang pun!”
Sedangkan hadits tentang keadilan Rasulullah kiranya tak perlu di deretkan lagi di sini, sebab keadilan adalah salah satu prinsip dasar risalah Islam. [Nizar Abazhah]
– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2290730/belajar-adil-dari-rumah-tangga-rasulullah#sthash.kYNZJCb3.dpuf