Belajar Waras dari “Si Gila” Bahlul

Bahlul adalah tokoh yang hidup di era Khalifah Harun Al-Rasyid, ia lebih waras dari orang yang mengaku waras, tetapi tergila-gila dunia hingga lupa akhirat

“ENTE BAHLUL!!” kata seseorang kepada kawannya. Dalam keseharian, mungkin sering kita mendengar umpatan tersebut.

Ya, banyak orang menggunakan kata “bahlul” untuk mencela orang yang dianggap bodoh, dungu atau gila.

Sebetulnya “bahlul” berasal dari panggilan seseorang yang dipandang sufi yang unik. Ia hidup pada masa Khalifah Harun ar-Rasyid di Baghdad.

Bahkan menurut sebagian riwayat, ia termasuk kerabat Khalifah. Bahlul adalah seorang sufi yang tawadhu’ dan zuhud. Kata-kata dan perilakunya yang terkesan aneh banyak membuat orang terkesima.

Caranya merenung dan berpikir sering di luar nalar. Ia acap bisa bicara sendiri, ketawa sendiri atau menangis sendiri dalam perenungannya.

Ia biasa berpakaian kotor, kumal seperti orang gila. Itulah sebabnya ia sering dipanggil “al-majnun” (si gila).

Jelas, Bahlul bukan tokoh fiktif. Nama aslinya Abu Wahb Amr as-Shairafi al-Kufi.

Ia lahir di Kufah, Iraq. Ia menjalani kehidupan sebagai sufi eksentrik sehingga digelari “bahlul”.

Ia wafat tahun 197 H atau 190 H dalam sebagian riwayat. Biografi Bahlul dapat dilacak di  sejumlah sumber literatur Arab. Antara lain: Al-Bayan wa at-Tabyin (karya Al-Jahiz), Ar-Rijal (karya Ath-Thusi), Lisan al-Mizan (karya Ibnu Hajar Asqalani), Al-A’lam (karya Az-Zirkili), juga dalam ‘Uqala al-Majanin (karya An-Naisaburi).

Sejumlah karya berbentuk kasidah dinisbatkan kepada Bahlul  antara lain: Al-Qashidah al-Bahluliyyah, Qashidah Ibn Arus dan Al-Qashidah al-Fiyasyiyyah.

Alhasil, Bahlul bukan termasuk sosok biasa. Anekdot-anekdotnya mengandung pelajaran berharga ditinjau dari aspek pendidikan akhlak. Juga aspek sosial-politik pada masanya.

Bahlul lebih suka hidup bebas, berkeliaran, dan tinggal di gubuk. Ia sering juga singgah di pekuburan.

Pada mulanya, Bahlul termasuk orang cerdas. Akan tetapi, ia konon mengalami gangguan jiwa, semacam schizophrenia.

Namun demikian, ia bukan hanya mampu menyairkan aforisme yang sarat hikmah yang amat dalam, tetapi juga petuah-petuah bijak yang kadang membuat banyak orang tertegun.

Cacian dan hinaan yang menyakitkan menjadi makanan kesehariannya. Sebutan “Bahlul al-Majnun” sering dilontarkan kepada dia untuk menertawakan dan mempermainkan dirinya.

Akibatnya, ia sering menyendiri di tempat sepi atau kuburan. Ada kisah menarik tentang Bahlul dalam kitab berjudul ‘Uqala al-Majanin karya Abu al-Qasim an-Naisaburi.

Dalam kitab tersebut dinukil kisah penuturan Muhammad bin Ismail bin Abi Fadik.

Dikisahkan: Aku mendengar suatu hari Bahlul sedang di suatu pekuburan. Ia sedang duduk sembari kakinya mempermainkan butiran tanah di sana. “Sedang apa engkau?” Sapa Abu Fadik.

“Aku berada di tengah-tengah kaum yang tidak pernah menyakiti aku. Saat aku tidak berada di antara mereka, mereka  pun tidak menggunjingku.” (An-Naisaburi, ‘Uqala al-Majanin, 1/24).

Demikianlah, orang mati kadang lebih baik daripada orang yang hidup. Orang mati tak mungkin merugikan orang lain.

Berbeda dengan orang yang hidup. Banyak orang yang hidup berlaku lalim terhadap orang lain.

Abu Fadik lalu berkata, “Bahlul, saat ini orang-orang sedang resah karena harga barang-barang sedang naik. Tidakkah kamu berdoa kepada Allah agar harga-harga barang segera turun?”

“Demi Allah. Aku tak peduli berapa pun harga barang-barang naik. Sungguh Allah telah menuntut kita untuk beribadah kepada-Nya sebagaimana yang Dia perintahkan kepada kita. Sungguh Allah pun pasti memberi kita rejeki sebagaimana yang telah Dia janjikan kepada kita,” jawab Bahlul (Ibnu Hamdun, At-Tadzkirah al-Hamduniyyah, 1/320).

Lalu Bahlul pun pergi sambil bersyair:

Wahai yang menikmati dunia dan hiasannya,

Kedua matanya tak pernah terlelap dari ragam nikmatnya,

Kau habiskan usia tuk perkara yang tak kau tahu,

Apa yang akan kau katakan saat berjumpa dengan Tuhanmu?

(An-Naisaburi, ‘Uqala al-Majanin, 1/24).

***

Ada cerita menarik lainnya tentang Bahlul.

Suatu hari, Bahlul datang ke Istana Khalifah Harun dan melihat bahwa singgasananya dalam keadaan kosong. Lalu tanpa ragu-ragu dan tanpa takut ia duduk di singgasana Khalifah.

Tiba-tiba orang-orang dengan segera mencambuk dia dan menarik dirinya dari singgasana. Bahlul pun menangis. Khalifah  Harun ar-Rasyid datang.

Khalifah mendekat dan bertanya mengapa Bahlul menangis. Seorang budak menceritakan kejadiannya.

Khalifah Harun pun memarahi mereka dan mencoba untuk menghibur Bahlul. Bahlul berkata bahwa ia tidak menangisi keadaannya, tetapi ia justru menangisi keadaan Harun.

Ia berkata, “Aku duduk di kursi Kekhalifahan hanya untuk sesaat saja. Lalu aku menerima pukulan dan menanggung kemalangan seperti tadi. Adapun engkau telah duduk di singgasana itu sekian selama! Alangkah banyak kesulitan yang mesti kau tanggung nanti. Namun, masih saja engkau tidak takut akan akibatnya.”

Mendengar itu, Harun ar-Rasyid pun menangis. Dalam kisah lain diceritakan, suatu hari, seorang pejabat Istana mengejek Bahlul, “Khalifah telah mengangkat kamu menjadi amir (pemimpin) para anjing, ayam dan babi!”

Dengan enteng Bahlul menjawab; “Baiklah. Berarti mulai sekarang, kamu jangan melanggar perintahku karena kamu telah menjadi bawahanku!”

Semua orang tertawa mendengar kata-kata Bahlul. Pejabat itu pun merasa malu.

Suatu waktu Bahlul keluar menuju kota (Baghdad). Di tengah perjalanan ia bertemu dengan anak-anak.

Mereka melempari Bahlul sembari meneriakkan “Bahlul gila..Bahlul gila..!” Bahlul tak membalas kecuali dengan sebuah syair:

“Cukuplah kupasrah pada-Mu, Tuhanku,

Dari segala apa yang mereka lakukan padaku,

Tak ada tempat pelarian yang abadi, kecuali menuju-Mu.” (An-Naisaburi, ‘Uqala al-Majanin, 1/24).

***

Dalam riwayat lain diceritakan sebuah kisah Bahlul dengan Khalifah Harun ar-Rasyid.

“Hai Bahlul, kapan kau sembuh dari gilamu? Tanya Khalifah Harun ar-Rasyid.

Bahlul balik bertanya;  ”Aku atau engkau yang gila, wahai Harun?

Khalifah menukas; “Engkau yang gila karena setiap hari duduk di atas kuburan.”

Bahlul menjawab: “Aku yang waras. Engkau yang gila!”

“Mengapa begitu?” kata Harun.

Bahlul menjawab: “Ya, karena aku tahu istana (kekuasaan)-mu akan musnah. Lalu semua orang, termasuk engkau, pada akhirnya akan masuk ke kuburan ini.”

“Oleh karena itu aku mempersiapkan diri untuk tinggal kekal di sini. Sebaliknya, engkau malah terus menyibukkan diri dengan membangun istanamu yang bakal punah!”

Sebagian kisah terakhir ini antara lain dinukil oleh Abu Qasim an-Naisaburi dalam kitabnya, ‘Uqala al-Majanin.

Demikianlah Bahlul. Sungguh ia bukan orang gila.

Ia bahkan lebih waras daripada orang yang mengaku waras, tetapi tergila-gila oleh dunia hingga lupa akhirat.*/ Arief B. Iskandar, Ma’had Wakaf Darun Nahdhah al-Islamiyah Bogor

HIDAYATULLAH