Keutamaan Mengajar

Mengajar adalah bagian penting dari proses pendidikan. Saking pentingnya mengajar (menyebarkan ilmu), Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang ditanya tentang suatu ilmu pengetahuan lalu ia menyembunyikannya, maka pada hari kiamat kelak Allah SWT akan mengekangnya dengan kekang api neraka.” (HR Abu Dawud dan Imam Tirmidzi).

Sebaliknya, beruntunglah bagi para guru yang gemar mengajarkan ilmu kepada para muridnya. Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa mengajarkan suatu ilmu, maka dia mendapatkan pahala dari orang-orang yang mengamalkannya dengan tidak mengurangi sedikit pun pahala orang yang mengerjakannya itu.” (HR Ibnu Majah).

Siapa sosok pengajar yang patut diteladani? Muhammad Rasulullah SAW. Beliau menyatakan sendiri dalam sabdanya: “Sungguh aku telah diutus (oleh Allah SWT) sebagai seorang pengajar.” (HR Ibnu Majah).

Ada beberapa inspirasi yang bisa guru pelajari dari potret pengajaranRasulullah SAW. Pertama, Rasulullah SAW adalah pribadi pengajar yang punya sifat kasih sayang, menjauhi kesulitan, menyukai kemudahan, senantiasa berbuat baik dan mencurahkan kebaikan kepada orang lain (QS at-Taubah: 128).

Kedua, pengajar hendaknya memiliki kemampuan berbicara yang jelas dan tak tergesa-gesa. Imam Tirmidzi dalam Kitab Asy-Syamailmeriwayatkan, dari Aisyah RA bahwasanya ia berkata: “Rasulullah SAWtidak pernah berkata dengan tergesa-gesa sebagaimana yang biasa kalian lakukan. Akan tetapi, beliau berkata dengan ucapan yang sangat jelas dan terperinci, sehingga orang lain yang duduk bersamanya akan dapat menghafal setiap perkataan beliau.” (HR Imam Tirmidzi).

Ketiga, setiap murid bisa belajar memahami suatu ilmu tetapi tidak di waktu yang sama. Oleh karena itu, guru harus sabar untuk mau mengulangi penjelasan yang sama kepada beberapa murid yang terlambat memahami.

Imam Tirmidzi meriwayatkan dari Anas RA bahwasanya dia berkata: “Rasulullah sering mengulang-ulang perkataan beliau sebanyak tiga kali; hal itu dimaksudkan agar setiap perkataan yang beliau paparkan dapat dipahami.” (HR Imam Tirmidzi).

Keempat, ajarkan ilmu sesuai dengan kondisi pengetahuan para murid dan apa yang mereka sukai. Rasulullah SAW bersabda: “Katakanlah kepada manusia sesuai dengan apa yang mereka ketahui, serta tinggalkanlah apa yang tidak mereka ketahui dan tidak mereka sukai. Apakah kamu ingin Allah dan Rasul-Nya didustakan?” (HR Bukhari).

Kelima, gunakan metode mengajar yang bervariasi sesuai tingkatan kecerdasan murid. Karena hakikatnya setiap murid bisa belajar tetapi tidak dengan cara yang sama.

Aisyah RA menuturkan, Rasulullah SAW bersabda: “Kami khususnya, para nabi, diperintahkan untuk menempatkan orang sesuai dengan tingkatan mereka. Dan supaya kami menyampaikan kepada mereka menurut tingkatan pengertian (kecerdasannya).” (HR Abu Dawud).

Mengajar adalah pekerjaan dan tugas yang mulia. Bahkan, Imam al-Ghazali mengumpamakan guru pengajar ibarat matahari sebagai sumber kehidupan dan penerangan di langit dan di bumi. Dengan ilmunya, seorang guru pengajar dapat memberikan penerangan kepada umat sehingga mereka dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.

Rasulullah SAW bersabda: “Sungguh Allah, para Malaikat-Nya, serta semua penghuni langit dan bumi termasuk semut dalam lubangnya dan ikan-ikan, sungguh semuanya mendoakan kebaikan bagi orang-orang yang mengajari manusia.” (HR Tirmidzi). Masya Allah. Wallahu a’lam bishawab.

 

Oleh: Asep Sapa’at

sumber: Republika Online

Belajar di Waktu Pagi

Ada keutamaan belajar di waktu pagi terutama ba’da Shalat Shubuh, yaitu mengkaji Al-Qur’an atau ilmu lainnya.

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِى بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَه

Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah Allah membaca Kitabullah dan saling mengajarkan satu dan lainnya melainkan akan turun kepada mereka sakinah (ketenangan), akan dinaungi rahmat, akan dikeliling para malaikat dan Allah akan menyebut-nyebut mereka di sisi makhluk yang dimuliakan di sisi-Nya.” (HR. Muslim, no. 2699)

Ibnu ‘Abbas pernah ditanya, “Amalan apa yang paling afdhal?”

Jawab Ibnu ‘Abbas, “Dzikir pada Allah dan suatu kaum yang duduk di rumah Allah lalu saling mempelajari Al-Qur’an. Ketika itu malaikat akan memberikan naungan dengan sayapnya. Orang yang beraktivitas seperti itu adalah tamu Allah selama keadaannya seperti itu sampai mereka beralih pada pembicaraan yang lain.” Hadits ini diriwayatkan secara marfu’ (sampai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) dan mawquf (sampai sahabat). Namun yang mawquf itu lebih shahih, yaitu hanya perkataan sahabat.

Yazid Ar-Raqasyi meriwayatkan dari Anas, ia berkata, “Para salaf dahulu setelah Shubuh membuat halaqah-halaqah. Mereka membaca Al-Qur’an. Mereka saling mengajarkan perkara wajib dan sunnah. Juga mereka berdzikir pada Allah.” (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2: 301)

‘Athiyah meriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Tidaklah suatu kaum melaksanakan shalat Shubuh, lalu ia duduk di tempat shalatnya. Mereka saling mempelajari Kitabullah. Keadaan mereka kala itu, menjadikan Allah mengutus malaikat-Nya untuk memintakan ampun untuk mereka sampai mereka berpaling pada pembicaraan yang lain.” Hadits ini menunjukkan akan dianjurkannya bermajelis setelah shalat Shubuh untuk saling mempelajari Al-Qur’an. Namun ‘Athiyah adalah perawi dha’if (lemah). (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2: 301)

Harb Al-Karmani meriwayatkan dengan sanad dari Al-Auza’i bahwa ia ditanya tentang belajar setelah Shubuh. Ia berkata, telah menceritakan kepadanya Hassan bin ‘Athiyyah, bahwa yang pertama kali mempelopori majelis Qur’an setelah shubuh di Masjid Damaskus adalah Hisyam bin Isma’il Al-Makhzumi pada saat khilafah ‘Abdul Malik bin Marwan. Praktik yang ada seperti itu, yaitu belajar di pagi hari setelah Shubuh. (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2: 301)

Ada juga sanad dari Sa’id bin ‘Abdul ‘Aziz dan Ibrahim bin Sulaiman, mereka berdua biasa mengkaji Al-Qur’an setelah shalat Shubuh di Beirut. Al-Auza’i yang di masjid tidak mengingkari mereka.

Intinya, hadits yang disebutkan di atas menyebutkan tentang anjuran berkumpul untuk mempelajari Al-Qur’an secara umum, tidak khusus setelah Shubuh saja. Bisa pula dalil yang digunakan adalah dalil tentang keutaman dzikir karena Al-Qur’an adalah sebaik-baik dzikir. Demikian ungkapan dari Ibnu Rajab Al-Hambali dalam Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2: 302-303.

Nafi’ pernah bertanya kepada Ibnu ‘Umar tentang sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

اللَّهُمَّ بَارِكْ لأُمَّتِى فِى بُكُورِهَا

Ya Allah, berkahilah umatku di waktu paginya.” (HR. Abu Daud, no. 2606, Tirmidzi, no. 1212, Ibnu Majah, no. 2236. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan)

Ibnu Umar menjawab, “Dalam menuntut ilmu dan shaf pertama.” (Atsar ini diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abdil Barr dalam Al-Jami’ li Akhlaq Ar-Rawi wa Aadab As-Sami’, 1: 150 dan As-Sam’aany dalam Adab Al-Imla’ wa Al-Istimla’, 1: 129)

Semoga manfaat, hanya Allah yang memberi hidayah.

 

Referensi:

Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam. Cetakan kesepuluh, tahun 1432 H. Ibnu Rajab Al-Hambali. Penerbit Muassasah Ar-Risalah.

 

sumber: Rumasyho

Berilmu Sepanjang Hayat

Oleh: Dadang Kahmad

Baqi bin Makhlad, seorang murid Imam Ahmad Bin Hanbal, layak menjadi teladan bagi para pencari ilmu. Ketika berusia 20 tahun, ia melakukan perjalanan dari Andalusia menuju Baghdad dengan berjalan kaki demi mencari ilmu.

Ia rela menempuh perjalanan yang begitu panjang, melewati padang pasir, melintasi lautan, dan mendaki pegunungan. Upaya itu dilakukan Baqi bin Makhlad untuk belajar hadis pada ulama terkemuka bernama Imam Ahmad bin Hambal.

Di tengah perjalanan ke Kota Baghdad, ia mendengar kabar bahwa Imam Ahmad bin Hanbal sedang menghadapi ujian.Saat itu, Imam Ahmad bin Hanbal berkukuh pada pendapatnya bahwa Alquran bukanlah makhluk.

Akibatnya, penguasa melarang sang imam untuk mengajar atau membuka majelis ilmu. Ia dipenjara di rumahnya. Mengetahui hal itu, Baqi pun bersedih. Namun, langkahnya untuk berguru pada sang imam tak berhenti.

Ia tetap melanjutkan perjalanan ke Baghdad. Setibanya di ibu kota Dinasti Abbasiyah, Baqi meletakkan perbekalannya dan pergi menuju Masjid Agung. Ia lalu pergi mencari rumah Imam Ahmad bin Hanbal.

Ia kemudian mengetuk pintu dan mengucap salam dan Imam Ahmad pun menjawab salam serta membuka pintu. “Aku adalah orang yang asing di negeri ini dan ingin mencari ilmu, tidaklah aku melakukan perjalanan mencari ilmu ini kecuali kepadamu,” ujar Baqi.

Imam Ahmad lalu bertanya, “Dari manakah asalmu?” “Dari Barat jauh. Aku mangarungi lautan untuk menuju ke sini,” jawab Baqi. Sang imam lalu berkata, “Tempat tinggalmu jauh sekali, dan sebetulnya aku ingin membantumu, tetapi aku sedang dalam tahanan rumah dan tidak boleh mengajarkan sesuatu.”

“Wahai Abu Abdillah (sebutan Imam Ahmad)… aku adalah orang yang asing, tidak ada satupun dari orang Baghdad yang mengenaliku. Jika engkau mau aku akan datang kepadamu setiap hari sebagai seorang pengemis kemudian aku ketuk pintu rumahmu aku meminta sedekah, kemudian engkau membacakan kepadaku walaupun satu hadis dalam sehari,” ucap Baqi.

“Baiklah…,” ujar Imam Ahmad bin Hanbal. “Engkau boleh seperti itu tetapi dengan syarat tidak menceritakannya kepada para pencari hadis yang lain karena nanti mereka akan iri kepadamu.”

Kisah di atas memberi pesan pada kita, sejauh apa pun jarak akan ditempuh oleh orang-orang yang haus akan ilmu dan kebenaran. Orang terdahulu lebih baik keluar dari tempat tinggal untuk hijrah dari kondisi kebodohan.

Mencari ilmu atau belajar adalah proses yang harus dilakukan terus-menerus meskipun kita tidak lagi berada di lingkungan sekolah atau universitas.

Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang menempuh jalan untuk menuntut ilmu maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR Muslim).

Ilmu begitu penting dalam kehidupan umat manusia yang hendak mempertebal keimanan. Karena, ilmu dan keimanan laiknya dua sisi mata uang logam yang tidak terpisahkan.

Tanpa ilmu pengetahuan, keimanan kita bakal keropos. Sedangkan, tanpa keimanan, ilmu kita laksana kapal terbang tak berpilot, dapat mencelakakan para penumpang.

Itulah mengapa Allah SWT memerintahkan kita untuk selalu berlapang-lapang dalam majelis keilmuan (QS al-Mujaadilah [58]: 11). Di dalam Islam, belajar harus terus-menerus dilakukan tanpa mengenal usia, waktu, dan kesempatan.

Karena itu, ketika prinsip belajar sepanjang hidup tidak kita tanamkan dalam keyakinan, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak menahan ilmu dari manusia dengan cara merenggutnya. Tetapi, dengan mewafatkan para ulama cendekia sehingga tidak lagi tersisa seorang alim.

Dengan demikian, orang-orang mengangkat pemimpin-pemimpin yang dungu lalu ditanya dan dia memberi fatwa tanpa ilmu pengetahuan. Mereka sesat dan menyesatkan,” (HR Mutafaqalaih). Wallahu alam.