Awas, Zaman Penuh Fitnah Tuntut Ilmu yang Benar

ADA yang bertanya dan meminta nasihat kepada Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan; tentang zaman ini, di mana banyak fitnah di dalamnya, dan tersebarnya ahlul bida (orang yang membuat ajaran baru dalam agama).

Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan menjawabnya. Pertama, aku nasihatkan kepada anda untuk bertakwa kepada Allah subhanahu wa taala memperbanyak doa agar Allah menguatkan kita di atas agama ini dan menjaga kita dari buruknya fitnah.

Kemudian, aku nasihatkan kepada anda untuk menuntut ilmu dari para ulama dengan bersemangat, karena sesungguhnya seseorang tidak akan terjaga dari fitnah -dengan izin Allah- kecuali dengan ilmu yang benar.

Adapun apabila engkau tidak memiliki ilmu yang benar, boleh jadi engkau berada dalam fitnah namun engkau tidak menyadarinya dan tidak mengetahui bahwasanya hal tersebut adalah fitnah. Maka belajarlah (ilmu agama) dari para ulama, dan janganlah anda malas untuk menuntut ilmu, apapun yang terjadi. []

Tidak Terlalu Tertarik Belajar Tauhid, karena Belum Paham Tauhid Sepenuhnya

Bisa jadi kita tidak terlalu tertarik mempelajari tauhid atau mendalami pelajaran tauhid. Terbukti kajian-kajian tauhid agak sepi peminat dibandingkan dengan kajian bertema parenting, tema rumah tangga dan pernikahan atau tema muamalah kontemporer.

Secara umum belajar agama itu baik apapun temanya  akan tetapi jangan sampai kita tidak tertarik belajar tauhid dan mendalami pelajaran tauhid. Apabila kita kurang tertarik mempelajari tauhid, sebenarnya kita belum terlalu paham apa itu tauhid secara utuh dan apa saja yang dipelajari dalam pelajaran tauhid.

Perlu kita Ketahui bahwa pelajaran tauhid membahas hampir seluruh cara agar bagaimana kita bahagia di dunia dan bagaimana agar kita selamat di akhirat. Misalnya adalah pelajaran dasar tauhid, kitab “qawaidul arba’” dijelaskan prinsip dasar kebahagiaan. Syaikh Muhammad At-Tamimi menjelaskan,

إذا أعطى شكر، وإذا ابتلي صبر، وإذ أذنب استغفر، فإن هؤلاء الثلاث عنوان السعادة

[1] Jika diberi kenikmatan maka ia bersyukur

[2] Jjika diuji dengan ditimpa musibah ia bersabar

[3] dan jika melakukan dosa ia beristigfar (bertaubat).

Tiga hal ini adalah tanda kebahagiaan.”[Matan Qawa’idul Arba’]

Pelajaran Tauhid ini mengajarkan kita merasa aman, pelajaran tauhid ini mengajarkan bagaimana suatu negara menjadi berkah dan makmur serta memberikan kebahagiaan bagi penduduknya.

Allah berfirman dalam Al-Quran bahwa barang siapa yang menunaikan tauhid, akan diberikan rasa aman dan kejayaan. Allah berfirman,

ﻭَﻋَﺪَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺁﻣَﻨُﻮﺍ ﻣِﻨﻜُﻢْ ﻭَﻋَﻤِﻠُﻮﺍ ﺍﻟﺼَّﺎﻟِﺤَﺎﺕِ، ﻟَﻴَﺴْﺘَﺨْﻠِﻔَﻨَّﻬُﻢ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺄَﺭْﺽِ ﻛَﻤَﺎ ﺍﺳْﺘَﺨْﻠَﻒَ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻣِﻦ ﻗَﺒْﻠِﻬِﻢْ، ﻭَﻟَﻴُﻤَﻜِّﻨَﻦَّ ﻟَﻬُﻢْ ﺩِﻳﻨَﻬُﻢُ ﺍﻟَّﺬِﻱ ﺍﺭْﺗَﻀَﻰ ﻟَﻬُﻢْ، ﻭَﻟَﻴُﺒَﺪِّﻟَﻨَّﻬُﻢ ﻣِّﻦ ﺑَﻌْﺪِ ﺧَﻮْﻓِﻬِﻢْ ﺃَﻣْﻨﺎً، ﻳَﻌْﺒُﺪُﻭﻧَﻨِﻲ ﻟَﺎ ﻳُﺸْﺮِﻛُﻮﻥَ ﺑِﻲ ﺷَﻴْﺌﺎً

“ Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan beramal salih di antara kalian, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa. Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap beribadah kepada-Ku dengan tidak mempersekutukan sesuatu apapun dengan-Ku ”. (An-Nur: 55).

Pelajaran Tauhid ini menjadi solusi bagi mereka yang menganggur dan tidak punya pekerjaan karena pelajaran tauhid mengajarkan tawakkal sebagaiman tawakkalnya burung.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ﻟَﻮْ ﺃَﻧَّﻜُﻢْ ﻛُﻨْﺘُﻢْ ﺗَﻮَﻛَّﻠُﻮﻥَ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺣَﻖَّ ﺗَﻮَﻛُّﻠِﻪِ ﻟَﺮُﺯِﻗْﺘُﻢْ ﻛَﻤَﺎ ﻳُﺮْﺯَﻕُ ﺍﻟﻄَّﻴْﺮُ ﺗَﻐْﺪُﻭ ﺧِﻤَﺎﺻًﺎ ﻭَﺗَﺮُﻭﺡُ ﺑِﻄَﺎﻧًﺎ

“Seandainya kalian sungguh-sungguh bertawakal kepada Allah, sungguh Allah akan memberi kalian rezeki sebagaimana Allah memberi rezeki kepada seekor burung yang pergi dalam keadaan lapar dan kembali dalam keadaan kenyang “ (HR.Tirmidzi, hasan shahih)

Masih banyak ajaran tauhid yang mengajarkan solusi berbagai sendi kehidupan. Penjelasan dan buku tauhid sangat tebal serta mengajarkan semua sendi kehidupan agar kita berbahagia.

Semoga Bermanfaat kita dimudahkan belajar tauhid dan mendalaminya

Penyusun: Raehanul Bahraen

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/57339-tidak-terlalu-tertarik-belajar-tauhid-karena-belum-paham-tauhid-sepenuhnya.html

Saatnya Bangkit Menuntut Ilmu!

Ilmu pengetahuan adalah kawan di waktu sendirian, sahabat di waktu sunyi, penunjuk jalan kepada agama

Seiring berkembangnya suatu peradaban pastilah akan diikuti dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Juga sebaliknya, kemunduran suatu peradaban menandakan rubuhnya ilmu pengetahuan. Hal ini adalah niscaya kalau kita mengamati sejarah dari suatu peradaban.

Dewasa ini, ilmu pengetahuan berhasil menggeser agama dari kehidupan umat manusia. Serta dianggap sebagai paling penting dalam menentukan umat manusia. Peradaban Barat hari ini menunjukkan dan mampu menghegemoni bangsa-bangsa lain untuk saling mengejar menggapai ilmu pengetahuan. Pengaruh Barat ini pun diaminkan oleh masyarakat Islam. Tak jarang akhirnya pemuda-pemuda Muslim termakan hasutan dari para pemikir Barat. Bahwa agama menunjukkan keterbelakangan dan kemunduran. Sedangkan ilmu pengetahuan adalah simbol kemajuan.

Mulailah dipertentangkan antara agama dan ilmu pengetahuan. Marxisme menganggap bahwa “agama adalah candu.” Sedangkan Freudisme mengatakan “agama adalah ilusi.” Perkara agama adalah perkara masing-masing individu, tak layak dibawa-bawa ke publik. Pandangan ini menjadikan agama sebagai kambinghitam yang menghambat perkembangan ilmu pengetahuan.

Pertanyaannya, apakah benar bahwa agama hanya menghambat melesatnya ilmu pengetahuan? Saya kira pendapat-pendapat demikian hanya berlaku di Barat dan tidak bisa dipukul rata. Sangkaan seperti itu sangat picik dan tidak ilmiah sama sekali. Terlebih anggapan terhadap agama Islam.

Islam sedari dulu adalah agama yang menghargai ilmu pengetahuan. Bahkan mendorong pemeluknya untuk menuntut ilmu, kalau perlu sampai ke negeri Cina. Tak ada batasannya dalam Islam dalam mencari ilmu. Pekerjaan mencari ilmu dalam Islam sudah disuruh dari sejak dalam buaian hingga ke liang lahat. Dan Islam juga menaikkan derajat orang-orang yang berilmu. Juga menjadi Khalifah Allah di bumi dibutuhkan ilmu. Sebagaimana firman-Nya:

ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مِنكُمْ وَٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْعِلْمَ دَرَجَٰتٍ ۚ وَٱللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

“Allah mengangkat orang-orang beriman dari golonganmu dan juga orang-orang yang dikaruniai ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS: Mujadalah: 11).

هَلْ يَسْتَوِى ٱلَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَٱلَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ ۗ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُو۟لُوا۟ ٱلْأَلْبَٰبِ

“Katakanlah, Adakah sama orang-orang yang berilmu pengetahuan dan orang-orang yang tidak berilmu pengetahuan.” (QS: Az Zumar: 9).

Imam Al Ghazali dan Ilmu Pengatahuan

Dalam kitab Ihya Ulumuddin, Imam Al Ghazali mengatakan bahwa tubuh memerlukan makanan agar tidak sakit. Sedangkan seseorang yang sunyi dari ilmu, maka hatinya boleh dinamakan sakit dan kematiannya sudah dapat dipastikan.

Bahkan dalam Islam mencari ilmu itu adalah perkara yang diwajibkan. Sebagaiman perkataan nabi Muhammad ﷺ, “mencari ilmu pengetahuan adalah wajib atas setiap orang Muslim.”

Nabi ﷺ juga bersabda: “Niscayalah andaikata engkau berangkat kemudian engkau belajar satu bab dari ilmu pengetahuan, maka hal itu adalah lebih baik dari pada kamu shalat seratus rakaat.”

Nyatalah seterang-terangnya bahwa sangkaan agama menghambat laju ilmu pengetahuan itu adalah salah dan tidak berdasar sama sekali. Bahkan Islam sangat menentang keras orang-orang yang membawa berita tidak benar, taklid dan fanatik. Yusuf Qardhawi dalam bukunya Ilmu Pengetahuan Dalam Perspektif Islam menyebutkan bahwa Islam menolak dengan tegas terhadap sesuatu apa pun yang tidak didukung oleh bukti-bukti tidak valid, sikap mengikuti suatu faham atau pemikiran yang sifatnya membabi buta dan mengecam terhadap asumsi dan keinginan yang semata-mata dilandasi hawa nafsu.

Hujjatul Islam Imam Al Ghazali telah menerangkan pentingnya ilmu dalam membangun peradaban manusia. Karena Islam dibangun di atas ilmu. Dalam Ihya Ulumuddin, Imam Al Ghazali mengutip perkataan Mu’adz perihal persoalan ilmu pengetahuan. Berkatalah Mu’adz bahwasanya, “Ilmu pengetahuan adalah kawan di waktu sendirian, sahabat di waktu sunyi, penunjuk jalan kepada agama, pendorong ketabahan disaat dalam kekurangan dan kesukaran. Ilmu pengetahuan adalah pemimpin segala amalan dan amalan itu hanyalah sebagai pengikutnya belaka. Yang diilhami dan dikaruniai ilmu adalah benar-benar orang yang berbahagia dan yang terhalang atau tidak diberi ilmu adalah benar-benar celaka.”

Daya dorong Islam kepada umatnya untuk mencari ilmu pengetahuan sangatlah besar. Karena tanpa ilmu akan salahlah dalam memahami agama ini. Tanpa ilmu banyaklah orang-orang yang akan jatuh tersesat di lembah kegelapan. Adalah sifat Islam membawa manusia keluar dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang. Dari kebodohan menuju kepandaian. Dan tidaklah semata itu semua bisa didapat kecuali dengan ilmu pengetahuan.

Ibnu Khaldun

Ibnu Khaldun (w. 808 H/1406 M), salah seorang ilmuwan Islam yang menurut yang sangat cemerlang dan termasuk yang paling dihargai oleh dunia intelektual modern juga memberikan perhatian terhadap bangunan ilmu pengetahuan di dalam Islam. Ibnu Khaldun yang hidup disaat mulai hancurnya peradaban Islam dan bersentuhan langsung dengan kembali bangkitnya bangsa Barat memberikan gambaran yang jelas bagaimana ilmu pengetahuan menentukan masa depan sebuah peradaban.

Menurut Ibnu Khaldun dalam karangannya Muqaddimah, kemunduran dan kehancuran yang diderita oleh peradaban Islam diikuti dengan berkurangnya keahlian dan bahkan lenyap sama sekali. Maksud Ibnu Khaldun yang lenyap sama sekali adalah pengajaran ilmu pengetahuan.

Hal ini didukung bukti sejarah yang Ibnu Khaldun saksikan sendiri. “Qairuwan dan Cordova” kata Ibnu Khaldun “merupakan simbol pencapaian peradaban Maghrib dan Andalusia.” Selanjutnya Ibnu Khaldun mengatakan, “peradaban kedua wilayah itu telah mencapai kemajuan pesat, di mana dalam kedua wilayah tersebut berbagai ilmu pengetahuan dan keahlian berkembang pesat dan pengajaran sangat kuat untuk mempertahankan masa kejayaan dan peradabannya.”

Namun ketika pengajaran itu berhenti, kedua wilayah tersebut mengalami kemunduran. Menurut Ibnu Khaldun lagi, “ketika bangunan peradaban mengalami kemunduran dan kemakmuran penduduknya menyusut, maka bentangan peradaban itu pun menggulung secara total yang diiringi dengan hilangnya ilmu pengetahuan dan pengajaran, yang lalu berpindah ke negeri-negeri lainnya.”

Setelah Andalusia runtuh, ilmu pengetahuan dan peradaban sekaligus berpindah ke wilayah lain. Tercatat dalam sejarah, Baghdad, Basrah, dan Kufah pernah menjadi wilayah-wilayah yang merupakan tambang ilmu pengetahuan. Namun akibat agresi bangsa Mongol dan kelengahan kaum Muslimin, peradaban itu hancur tak tersisa. Dan segalanya mulai berpindah, Turki menjadi tempat bersemai kembalinya ilmu pengetahuan.

Melihat dari kacamata sejarah kita bisa melihat bagaimana ilmu pengetahuan begitu serasi dengan agama. Ilmu pengetahuan memiliki peranan penting dalam menjelaskan perlunya agama bagi kehidupan masyarakat. Sedangkan agama menuntun ilmu pengetahuan supaya tidak menyeleweng dari garis demarkasi yang telah ditetapkan Allah. Hubungan harmonis ini selalu dijaga oleh Islam.

Kita cukup setuju dengan ucapan Einstein yang mengatakan bahwa ilmu tanpa agama buta, agama tanpa ilmu sesat.  Al Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin mengutip perkataan Al Hasan rahimahullah berkata: Andaikata tidak ada para alim ulama, pastilah manusia seluruhnya akan menjadi sebagai binatang. Maksud dari perkataan ini menurut Al Ghazali ialah dengan sebab adanya pelajaran yang mereka berikan itu, lalu seluruh manusia dapat keluar dari batas pengertian kebinatangan dan memasuk batas kemanusiaan.

Saya kira kalau kita ingin maju dan bangkit kembali janganlah meniru Barat secara membabi buta. Tetapi alangkah baiknya untuk mendalami kembali hakikat agama ini diturunkan. Lalu maju dengan membawa agama di sanubari bersamaan dengan ilmu pengetahuan yang baik. Sehingga kita tidak lagi inferior dan rendah diri di hadapan kaum musyrik. Janganlah mau kita tundukkan kepala ini selain ditundukkan kepada Allah pencipta segala semesta, Yang Maha Digdaya terhadap segala sesuatu.

Maka sambutlah seruan ini wahai pemuda-pemuda Muslim!*

Oleh: Hamdi Ibrahim

HIDAYATULLAH

Berguru kepada Orang Bijak dan Zuhud

ADA seorang santri yang tak tega melihat sang guru kelihatan kurus kering kurang gizi karena kelaparan. Sang guru adalah seorang tokoh yang terkenal zuhud, tidak kemaruk dan hidup apa adanya. Nama sang guru ini adalah al-Harits al-Muhasibi.

Singkat cerita, sang murid berkata kepada sang gutu: “Andai engkau berkenan datang ke rumahku, sungguh aku akan jamu engkau dengan makanan lezat.” Guru itu menjawab: “Sungguh?” Si murid menjawab: “Sungguh, perkenanmu ada membahagiakanku dan merupakan kebaikan darimu untukku.”

Singkat cerita, keduanya berjalan menuju rumah. Dihidangkanlah hidangan istimewa pada sangguru. Sang guru mengambil sesuap untuk dimasukkan ke dalam mulutnya, namun terhenti lama tak masuk mulut, hanya di depan hidung. Lalu dibuanglah dan sang guru keluar, pergi. Sang murid kaget. Esok harinya diberanikannya dia bertanya kepada sang guru perihal peristiwa semalam. Sang guru menjawab: “Anakku, lapang memang tak enak. Ku berusaha mengambil dan memasukkan makanan yang engkau suguhkan. Namun mulutku tak mungkin bisa dimasuki sesuatu yang di dalamnya ada unsur syubhat (tak jelas hukumnya).”

Luar biasa Syekh al-Muhasibi ini. Saya baca kisah ini dalam bukunya “Risalat al-Mustarsyidin.” Terlepas dari beberapa penilaian kontroversial tentang beliau, al-Muhasibi terkenal sebagai orang alim yang zuhud, sederhana, wara’ dan memiliki banyak keahlian. Kalimat-kalimatnya banyak menjadi rujukan mereka yang benar-benar ingin membersihkan hati. Beliau sangat jago dalam mengajari keikhlasan dan keistiqamahan. Tak ada waktu yang terbuang dalam hidupnya yang senantiasa diperuntukkan pada akyifitas ibadah, berdzikir dan menulis kitab. Ada sekitar 200 karya yang ditulisnya. Luar biasa.

Salah satu dawuh beliau yang selalu saya baca dan saya ingat adalah: “Orang dzalim itu pasti celaka (bernasib sial) walau dipuja banyak orang. Orang yang didzalimi pasti selamat, walau dihina banyak orang. Orang yang qana’ah (mau menerima apa adanya) pasti merasa kaya walau tak punya apa-apa. Orang yang tamak pastilah merasa fakir (miskin) walau telah memiliki banyak hal.”

Kalimatnya tak cukup panjang namun maknanya sungguh begitu mendalam. Ingin selalu selamat dan bahagia, janganlah menganiaya orang lain, jangan sakiti orang lain, jangan ambil hak orang lain. Ingin terus merasa kaya, janganlah tamak dan rakus. Syukuri apa yang ada. Jika isi kepala kita hanyalah rencana dan upaya mendapatkan uang sebanyak-banyaknya walau dengan cara tak pantas dan tak wajar, jangan salahkan kalau kehidupan hatinya senantiasa mengeluh dan menderita. Salam, AIM. [*]

Oleh : KH Ahmad Imam Mawardi

INILAH MOZAIK

Keutamaan Belajar Ilmu Agama (Bag. 2)

Baca pembahasan sebelumnya Keutamaan Belajar Ilmu Agama (Bag. 1)

Pahala Ilmu akan Tetap Mengalir Meskipun Pemiliknya telah Meninggal Dunia

Termasuk dalam pahala agung yang Allah Ta’ala siapkan untuk para penuntut ilmu yaitu jika mereka meninggal, maka pahala ilmunya akan sampai kepadanya meskipun mereka berada dalam kuburnya, selama manusia mengambil manfaat dari ilmunya. Maka pahala ini seolah-olah kehidupan yang lain setelah kematian mereka, ketika manusia yang lain terputus dari pahala amal mereka setelah meninggal dunia. Sehingga seakan-akan orang yang berilmu itu senantiasa hidup dan tidak akan pernah mati.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda,

إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

“Jika anak Adam meninggal maka terputuslah amalnya kecuali dari tiga perkara: shodaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendoakannya.” (HR. Muslim no. 4310) 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda,

أَرْبَعٌ مِنْ عَمَلِ الأَحْيَاءِ يَجْرِي لِلأَمْوَاتِ: رَجُلٌ تَرَكَ عَقِبًا صَالِحًا يَدْعُو لَهُ يَتْبَعُهُ دُعَاؤُهُمْ، وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ جَارِيَةٍ مِنْ بَعْدِهِ لَهُ أَجْرُهَا مَا جَرَتْ بَعْدَهُ، وَرَجُلٌ عَلَّمَ عِلْمًا فَعُمِلَ بِهِ مِنْ بَعْدِهِ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهِ شَيْءٌ

”Empat amalan orang hidup yang (pahalanya) tetap mengalir setelah orang tersebut meninggal dunia. Seseorang yang mempunyai anak shalih yang berdoa untuknya dan doa tersebut bermanfaat untuknya. Seseorang yang bersedekah, maka pahalanya mengalir untuknya selama sedekah itu berpahala setelahnya. Seseorang yang mengajarkan ilmu dan mengamalkannya setelahnya, maka baginya pahala sebesar pahala orang yang mengamalkannya tanpa sedikit pun mengurangi pahala orang yang mengamalkannya tersebut.”  (HR. ThabraniDinilai hasan oleh Syaikh Albani dalam Shahih wa Dha’if Al-Jaami’ Ash-Shaghir  no. 890)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

سَبْعٌ يَجْرِيْ لِلْعَبْدِ أَجْرهن و هُوَ فِيْ قَبْرِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ : مَنْ عَلِمَ عِلْمًا أَوْ أجرى نَهَرًا أو حفر بِئْرًا أو غرس نَخْلًا أو بَنَى مَسْجِدًا أو وَرَثَ مُصْحَفًا أو تَرَكَ وَلَدًا يَسْتَغْفِرَ لَهُ بَعْدَ مَوْتِهِ

”Tujuh amalan yang pahalanya mengalir kepada seorang hamba meskipun ia berada di dalam kuburnya setelah meninggal: barangsiapa yang mengajarkan ilmu, mengalirkan sungai, menggali sumur, menanam kurma, membangun masjid, mewariskan mushaf, atau mempunyai seorang anak yang memohonkan ampun untuknya setelah dia meninggal.” (HR. Al-Bazzaar. Dinilai hasan oleh Syaikh Albani dalam Shahih wa Dha’if Al-Jaami’ Ash-Shaghir  no. 5915)

Menuntut Ilmu Lebih Baik daripada Ibadah Sunnah

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa jika menuntut ilmu dengan niat yang baik dan bagus, maka hal itu lebih baik daripada ibadah sunnah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda,

فَضْلُ الْعِلْمِ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ فَضْلِ الْعِبَادَةِ ، وَخَيْرُ دِينِكِمُ الْوَرَعُ

“Keutamaan ilmu itu lebih aku cintai daripada keutamaan ibadah. Dan sebaik-baik agamamu adalah wara’ (bersikap hati-hati, pent.).” (HR. Al-BazzaarDinilai shahih oleh Syaikh Albani dalam Shahih wa Dha’if Al-Jaami’ Ash-Shaghir  no. 7663)

Allah Ta’ala Menjadikan Ahlul ‘Ilmi sebagai Saksi

Allah Ta’ala mengambil persaksian ahlul ilmi atas suatu persaksian yang mulia dan agung. Persaksian tersebut adalah mentauhidkan Allah Ta’ala, mengesakan-Nya dalam uluhiyyah, dan meniadakan sesembahan selain Allah. Allah Ta’ala berfirman,

شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ وَالْمَلَائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

“Allah menyatakan bahwasannya tidak ada sesembahan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu).” (QS. Ali ‘Imran [3]: 18) 

Sisi penunjukan dalil dari ayat ini kepada keutamaan ilmu dan kemuliaanya dapat dilihat dari beberapa sisi sebagaimana yang disampaikan oleh Ibnul Qoyyim rahimahullah. Sisi pertama, bahwa Allah Ta’ala menjadikan ulama sebagai saksi, bukan semua orang. Ini adalah bukti keutamaan mereka di atas makhluk lainnya. Sisi ke dua, bahwa Allah Ta’ala menyejajarkan antara persaksian ulama tentang keesaan-Nya dalam uluhiyyah dengan persaksian-Nya sendiri terhadap masalah ini. Sisi ke tiga, Allah Ta’ala menyejajarkan persaksian mereka dengan persaksian para malaikat-Nya. Sisi keempat, dalam persaksian ini terkandung tazkiyah (rekomendasi) dan pujian terhadap para ulama karena Allah Ta’ala tidaklah mengambil persaksian dari makhluk-Nya kecuali dari makhluk-Nya yang shalih. (Lihat Miftaah Daaris Sa’aadah, 1: 48) 

Orang yang Berilmu Lebih Tinggi Derajatnya

Allah Ta’ala berfirman,

يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ

 “Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadilah [58]: 11) 

Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata,

قِيلَ فِي تَفْسِيرهَا :يَرْفَع اللَّه الْمُؤْمِن الْعَالِم عَلَى الْمُؤْمِن غَيْر الْعَالِم . وَرِفْعَة الدَّرَجَات تَدُلّ عَلَى الْفَضْل ، إِذْ الْمُرَاد بِهِ كَثْرَة الثَّوَاب ، وَبِهَا تَرْتَفِع الدَّرَجَات ، وَرِفْعَتهَا تَشْمَل الْمَعْنَوِيَّة فِي الدُّنْيَا بِعُلُوِّ الْمَنْزِلَة وَحُسْن الصِّيت ، وَالْحِسِّيَّة فِي الْآخِرَة بِعُلُوِّ الْمَنْزِلَة فِي الْجَنَّة

“Salah satu tafsir ayat tersebut adalah Allah mengangkat derajat seorang mukmin yang berilmu di atas mukmin yang tidak berilmu. Sedangkan pengangkatan derajat itu menunjukkan atas keutamaan, karena yang dimaksud dengannya (pengangkatan derajat, pent.) adalah pahala yang banyak yang dengannya diangkatlah derajatnya. Diangkatnya derajat itu terkandung makna yang abstrak, berupa kedudukan yang tinggi dan nama yang masyhur di dunia. Dan terkandung pula makna yang konkret, yaitu berupa kedudukan yang tinggi di surga.” (Fathul Baari, 1: 92)

Di dalam Shahih Muslim terdapat sebuah riwayat dari Amir bin Watsilah, bahwa Nafi’ bin Abdul Harits pernah bertemu dengan Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu di ‘Usfan (nama suatu daerah). Ketika itu Umar mengangkatnya sebagai gubernur Mekah. 

‘Umar bertanya,”Siapakah yang Engkau tunjuk untuk memimpin penduduk di lembah itu?”  

Nafi’ menjawab,”Ibnu Abza.” 

‘Umar bertanya,”Siapakah Ibnu Abza itu?”  

Nafi’ menjawab, ”Salah seorang bekas budak kami.” 

‘Umar kemudian mengatakan,”Apakah Engkau mengangkat seorang bekas budak?”  

Nafi’ menjawab,”Sesungguhnya dia pandai memahami kitabullah ‘Azza wa Jalla, dan dia juga ahli ilmu faraidh (ilmu waris).” 

‘Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, ”Adapun Nabi kalian shallallahu ‘alaihi wa sallam, sungguh dia pernah bersabda,

إِنَّ اللَّهَ يَرْفَعُ بِهَذَا الْكِتَابِ أَقْوَامًا وَيَضَعُ بِهِ آخَرِينَ 

“Sesungguhnya Allah akan mengangkat kedudukan sekelompok orang dengan Kitab ini, dan akan merendahkan sebagian lainnya dengan Kitab ini pula.” (HR. Muslim no. 1934)

Allah Ta’ala Memerintahkan Rasul-Nya untuk Meminta Tambahan Ilmu Syar’i

Allah Ta’ala memerintahkan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berdoa dan meminta kepada-Nya berupa ilmu yang bermanfaat. Allah Ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya,

وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا

“Dan katakanlah, ‘Wahai Rabb-ku, tambahkanlah kepadaku ilmu.’” (QS. Thaaha [20]: 114) 

Allah Ta’ala tidaklah memerintahkan beliau untuk berdoa meminta tambahan sesuatu kecuali tambahan ilmu syar’i. Hal ini tidak lain disebabkan karena keutamaan dan kemuliaan ilmu syar’i yang sangat agung. Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata,

( وَقَوْله عَزَّ وَجَلَّ : رَبّ زِدْنِي عِلْمًا ) وَاضِح الدَّلَالَة فِي فَضْل الْعِلْم ؛ لِأَنَّ اللَّه تَعَالَى لَمْ يَأْمُر نَبِيّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِطَلَبِ الِازْدِيَاد مِنْ شَيْء إِلَّا مِنْ الْعِلْم ، وَالْمُرَاد بِالْعِلْمِ الْعِلْم الشَّرْعِيّ الَّذِي يُفِيد مَعْرِفَة مَا يَجِب عَلَى الْمُكَلَّف مِنْ أَمْر عِبَادَاته وَمُعَامَلَاته ، وَالْعِلْم بِاَللَّهِ وَصِفَاته ، وَمَا يَجِب لَهُ مِنْ الْقِيَام بِأَمْرِهِ ، وَتَنْزِيهه عَنْ النَّقَائِض

“Firman Allah Ta’ala (yang artinya), Wahai Rabb-ku, tambahkanlah kepadaku ilmu’  mengandung dalil yang tegas tentang keutamaan ilmu. Karena sesungguhnya Allah Ta’ala tidaklah memerintahkan Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta tambahan sesuatu kecuali (tambahan) ilmu. Adapun yang dimaksud dengan (kata) ilmu di sini adalah ilmu syar’i (ilmu agama). Yaitu ilmu yang akan menjadikan seorang mukallaf mengetahui kewajibannya berupa masalah-masalah ibadah dan muamalah, juga ilmu tentang Allah dan sifat-sifatNya, hak apa saja yang harus dia tunaikan dalam beribadah kepada-Nya, dan mensucikan-Nya dari berbagai kekurangan.” (Fathul Baari, 1: 92)

[Bersambung]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/51544-keutamaan-belajar-ilmu-agama-bag-2.html

Awas, Belajar Agama tanpa Guru Bisa Konslet!

Ajakan kembali kepada Al Qur’an dan Hadist tanpa diikuti pemahaman yang memadai bisa menjadi blunder. Ibarat listrik rumahan yang disambungkan langsung ke saluran bertegangan tinggi, seseorang yang belajar agama tanpa perantara guru, bisa konslet.

Menurut Mahbub Zaki, Wasekjen PB Majelis Dzikir Hubbul Wathon (MDHW), dalam mempelajari agama seseorang memerlukan perantara guru. Lebih tegas lagi, guru itu haruslah memiliki pemahaman yang mumpuni dan silsilah keilmuan yang jelas rujukannya.

“Diriwayatkan dalam hadist bahwa sanad itu sebagian dari agama. Maka, tanpa wasilah, tanpa perantara guru yang sanadnya jelas, belajar langsung dari Al Qur’an dan Hadist itu seperti listrik di rumah kita yang disambungkan langsung ke Sutet. Listrik konslet dan rumah kita bisa terbakar,” terang Mahbub Zaki yang akrab disapa Gus Boby.

Dikatakan Gus Boby, sanad dalam belajar agama itu penting. Tanpa silsilah dan rujukan keilmuan yang jelas, siapapun bisa mengajarkan sesuka hati. Menurut mantan ketua Pengurus Koordinator Cabang (PKC) PMII Jawa Tengah ini, banyak orang merasa sudah cukup ilmu agamanya hanya bermodal belajar dari internet.

“Kalau dulu orang belajar agama dari kiai, dibela-bela mondok selama bertahun-tahun di pondok pesantren, sekarang orang belajar dari internet. Sementara di internet siapapun bisa omong. Tak perlu repot-repot mondok, bikin video ceramah agama, dijulukilah ustad. Ustad Youtube dan Santri Mbah Google lagi jadi fenomena baru. Islam di sosial media isinya marah-marah dan menerbar permusuhan,” terang Gus Boby.

Pernyataan itu disampaikan Gus Boby ketika memberikan sambutan dalam Haflah Khotmil Qur’an dan Wisuda Santri Tahfidz angkatan ke-6 Ponpes Tahfidzul Qur’an Al Istiqomah Desa Penaruban, Weleri, Kendal, baru-baru ini. Sebanyak 35 santri putra dan putri yang berasal dari berbagai daerah di Jawa Tengah dan juga provinsi lain diwisuda dari ponpes asuhan Kiai Ali Shodiqun.

Gus Boby yang juga menjabat sebagai wakil sekretaris Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PW NU) Jawa Tengah ini mengatakan, para wali murid santri tidak perlu khawatir mendidik anaknya di pondok pesantren NU yang jelas-jelas berhaluan ahlussunah wal jamaah.

“Tadi sama-sama kita dengar, para santri memimpin menyanyikan lagu Indonesia Raya dan Syubbanul Wathon. Jadi bapak-ibu tidak perlu khawatir, di sini santri dididik untuk mencintai tanah airnya. Santri tenanan tidak akan jadi teroris,” terangnya.

Belajar di pondok pesantren, katanya, para santri tidak hanya diajari cara membaca kitab tapi juga diajari cara berperilaku. Pengasuh ponpes setiap habis sholat akan mendoakan para guru-guru dan juga para santrinya.

“Di Ponpes para santri tidak hanya ditadris, tapi juga mendapatkan tarbiyah. Insya Allah setiap bakda sholat, para santri akan didoakan. Ketika para santri tertidur, pengasuh pondok akan menyambangi para santrinya, membenarkan letak tidurnya yang mungkin kurang pas. Ini yang tidak didapatkan di sekolah-sekolah umum,” pungkasnya.

ISLAMPOS

Fatwa Ulama : Masih Pantaskah Aku Untuk Mulai Belajar di Usia Senja?

Fatwa Syaikh Sulaiman Al Majid

Soal :

Wahai Syaikh, umurku telah mencapai hampir 32 tahun, setiap aku hendak menuntut ilmu muncul kegundahan dalam diriku bahwa fase menuntut ilmu di usia seperti ini telah lewat. Benarkah hal ini? Dan apa nasihatmu?

Jawab :

Alhamdulillah, amma ba’du. Tidaklah diragukan lagi bahwa menuntut ilmu yang dimulai sejak kecil memiliki keutamaan tersendiri yang tidak didapati apabila dibandingkan dengan ketika telah dewasa. Akan tetapi tidak ada larangan bagi mereka yang memulai menuntut ilmu di usia dewasa. Dalam Kitabul ‘Ilmi Shahih Al Bukhari (1/129) disebutkan “Bab Al Ightibath fil ‘Ilmi wal Hikmah”, Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Tafaqquhlah kalian (yaitu dalamilah oleh kalian ilmu agama –pent) sebelum kalian tusawwadu (diberi banyak tanggung jawab untuk memimpin, yaitu ketika berusia dewasa –pent)”. Abu Abdillah –yaitu Al Bukhari berkata, “Adapun mengenai masa tusawwad, adalah beberapa shahabat Nabi shallallaahu alaihi wa sallam ada yang memulai belajar di usia senja”.

Dalam “Al ‘Aqd Al Farid” (1/157) disebutkan, “Dikatakan kepada Amr ibn Al Alaa’, ‘Apakah syaikh sudah membolehkanmu untuk ikut belajar?’. Kemudian beliau menjawab “Kalau beliau membolehkanku untuk hidup maka beliau pasti membolehkanku pula untuk belajar”. Selesai nukilan dari Al ‘Aqd Al Farid.

Kemudian apabila engkau mencermati perjalanan para ahli ilmu di kitab-kitab biografi dan sejarah, niscaya akan kau dapati banyak dari mereka yang memulai belajar di usia tua. Adalah Imam Ibn Hazm beliau tidaklah menuntut ilmu melainkan setelah berusia 40 tahun. Al Qaffal Asy Syaasiy tidaklah menuntut ilmu melainkan setelah berumur 30 tahun. Dan selain dari mereka juga banyak.

Nasihatku : minta tolonglah kepada Allah Ta’ala, bersungguh-sungguhlah dalam belajar. Diiringi dengan semangat, niat yang baik, dan lurusnya manhaj. Kemudian bertanya kepada ahli ilmu tentang cara termudah dan terdekat untuk memperoleh ilmu yang bermanfaat, diantaranya memulai dari perkara yang paling penting terlebih dahulu, dan tidak beralasan dengan banyaknya kebodohan yang ada pada manusia. Semoga Allah senantiasa melindungimu. Wallahu a’lam.

Sumber: http://www.salmajed.com/node/106333

Penerjemah: Yhouga Pratama A.

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/23418-fatwa-ulama-masih-pantaskah-aku-untuk-mulai-belajar-di-usia-senja.html

Bolehkah Belajar Dari Kitab Saja Ketika Sulit Berguru Pada Ulama?

Syaikh Muhammad ibn Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah ditanya, “Bolehkah belajar suatu ilmu dari buku atau kitab saja tanpa panduan ulama? Khususnya dalam keadaaan langkanya ulama di suatu tempat sehingga sulit ditemui? Apa pendapat Anda tentang ungkapan, ‘Siapa yang gurunya adalah buku salahnya akan lebih banyak dari benarnya’?”

Beliau menjawab:

لا شك أن العلم يحصل بطلبه عند العلماء وبطلبه في الكتب؛ لأن كتاب العالم هو العالم نفسه، فهو يحدثك من خلال كتابه، فإذا تعذر الطلب على أهل العلم، فإنه يطلب العلم من الكتب، ولكن تحصيل العلم عن طريق العلماء أقرب من تحصيله عن طريق الكتب؛ لأن الذي يحصل عن طريق الكتب يتعب أكثر ويحتاج إلى جهد كبير جدًّا، ومع ذلك فإنه قد تخفى عليه بعض الأمور كما في القواعد الشرعية التي قعَّدها أهل العلم والضوابط، فلا بد أن يكون له مرجع من أهل العلم بقدر الإمكان.

وأما قوله: “من كان دليله كتابه فخطؤه أكثر من صوابه”، فهذا ليس صحيحًا على إطلاقه ولا فاسدًا على إطلاقه، أما الإنسان الذي يأخذ العلم من أيّ كتاب يراه فلا شك أنه يخطئ كثيرًا، وأما الذي يعتمد في تعلُّمه على كتب رجال معروفين بالثقة والأمانة والعلم فإن هذا لا يكثر خطؤه بل قد يكون مصيبًا في أكثر ما يقول

“Tidak diragukan lagi bahwasanya ilmu akan didapat dengan belajar pada ulama, dan (juga) dari kitab. Karena kitabnya para ulama sejatinya adalah ulama itu sendiri. Pada hakikatnya itu adalah kumpulan perkataan ulama yang tertulis. Apabila seorang pelajar terhalang dari menjumpai ulama, maka hendaknya ia belajar dari kitab ulama tersebut.

Akan tetapi memperoleh ilmu lewat jalur bertemu dengan ulama langsung akan lebih memudahkan dalam memperoleh ilmu (dan pemahaman –pent) daripada belajar lewat metode kitab saja. Karena mereka yang memperoleh ilmu lewat metode kitab akan lebih susah dan membutuhkan upaya sungguh-sungguh agar bisa paham. Padahal ada beberapa hal seperti kaidah-kaidah syar’i dan batasan yang telah ditetapkan oleh para ulama yang butuh penjelasan lanjut, dan harus dipelajari dengan merujuk dan bertanya langsung pada para ulama sebisa mungkin.

Adapun ungkapan, “Siapa yang penunjuknya adalah kitab maka kesalahannya akan lebih banyak daripada benarnya”, maka ungkapan ini tidak benar mutlak, juga tidak salah mutlak.

Seorang yang mengambil ilmu dari kitab apapun yang ia lihat maka pastilah salahnya akan lebih banyak.

Adapun seorang yang berpedoman pada kitab-kitab para ulama yang telah diakui keilmuannya, tsiqah, amanah dalam ilmu, maka kesalahannya tidak akan banyak, bahkan akan lebih banyak benarnya”.

(Dinukil dari Kitabul ‘Ilmi, Syaikh Muhammad ibn Shalih Al Utsaimin rahimahullah hal. 103 versi Islamhouse).

***

Penerjemah: Yhougha Pratama

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/29010-bolehkah-belajar-dari-kitab-saja-ketika-sulit-berguru-pada-ulama.html

utamaan Belajar Ilmu Agama (Bag. 1)

Di antara faktor pendorong agar seseorang bersemangat mempelajari sesuatu adalah pengetahuannya bahwa sesuatu tersebut memiliki banyak keutamaan. Semakin banyak keutamaan yang akan dia dapatkan, maka semakin besar pula semangat untuk mempelajarinya. Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Syaikh hafidzahullah berkata,

”Jiwa itu mempunyai sifat tertarik untuk mendengar dan mengetahui keutamaan sesuatu. Karena terkadang dia menyangka bahwa keutamaan dari sesuatu itu hanya satu dan tidak berbilang. Ketika keutamaannya banyak, maka akan semakin banyak pula sisi ketertarikannya terhadap sesuatu tersebut. Dia akan perhatian kepadanya, bersemangat mendapatkannya, dan menjelaskan kepada manusia tentang keutamaan yang akan mereka dapatkan kalau memegang teguh tauhid ini.” 

Oleh karena itu, dalam pembahasan ini akan penulis sampaikan tentang beberapa keutamaan menuntut ilmu agamaSetelah mengetahui keutamaan-keutamaannya, semoga hal itu dapat mendorong kita semua untuk giat dan terus-menerus mempelajarinya serta tidak meremehkannya.

Pahala yang Agung bagi Orang-Orang yang Menuntut Ilmu Agama

Pahala yang besar itu sekadar dengan besarnya kedudukan. Ketika menuntut ilmu agama (ilmu syar’i) memiliki kedudukan yang besar di dalam agama ini, maka Allah Ta’ala pun telah mempersiapkan bagi para penuntut ilmu syar’i pahala yang sangat besar dan agung. Sehingga apabila hati-hati orang beriman mendengarnya, maka dia akan senang dan gembira serta akan berusaha untuk meraihnya. 

Pahala yang besar yang telah dipersiapkan oleh Allah Ta’ala kepada para penuntut ilmu syar’i tersebut adalah surga. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ

“Barangsiapa yang menempuh suatu jalan dalam rangka menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim no. 7028) 

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa jalan yang ditempuh untuk menuntut ilmu itu ada dua macam, yaitu jalan yang konkret (hissiyyah) dan jalan yang abstrak (ma’nawiyyah). 

Yang dimaksud dengan jalan yang konkret adalah jalan yang ditempuh seseorang menuju majelis ilmu, baik ke masjid atau tempat-tempat lainnya. Sedangkan yang dimaksud dengan jalan yang abstrak adalah seseorang berjalan dengan fikirannya untuk memikirkan atau merenungkan Kitabullah dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Baik dengan mengkaji Al Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah secara langsung dengan mempelajari ilmu tafsir dan mempelajari syarah (penjelasan) hadits, atau mengkaji Al Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah secara terpisah dengan mempelajari kitab-kitab fiqih, aqidah, tauhid, dan sebagainya. Atau seseorang menelaah dan mengkaji kitab-kitab para ulama, karena para ulama telah mencurahkan usaha yang besar untuk menyebarkan Kitabullah dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan pemahaman yang benar. [2]

Pahala yang agung bagi seorang yang berilmu juga dapat dilihat dari pahala yang mereka dapatkan ketika mereka dapat memberikan petunjuk bagi orang lain dengan ilmu yang mereka miliki. Dan seseorang tidaklah mungkin dapat memberikan petunjuk kebenaran kepada orang lain kecuali dengan ilmu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu,

فَوَاللَّهِ لأَنْ يَهْدِىَ اللَّهُ بِكَ رَجُلاً خَيْرٌ لَكَ مِنْ أَنْ يَكُونَ لَكَ حُمْرُ النَّعَمِ

“Demi Allah, jika Allah memberikan petunjuk kepada satu orang saja melalui perantaraanmu, itu lebih baik bagimu dibandingkan dengan unta merah (yaitu unta yang paling bagus dan paling mahal, pen.).” (HR. Bukhari no. 3009, 3701, 4210 dan Muslim no. 6376)

Menutut Ilmu Syar’i Merupakan Tanda Kebaikan Seseorang

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan kepada kita bahwa orang yang menuntut ilmu syar’i merupakan tanda bahwa Allah Ta’ala menghendaki kebaikan untuknya baik di dunia maupun di akhirat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَمَنْ يُرِدْ اللَّه بِهِ خَيْرًا يُفَقِّههُ فِي الدِّين

“Barangsiapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka Allah akan memahamkan dia dalam urusan agamanya.” (HR. Bukhari no. 71 dan Muslim no. 2436) 

Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah menjelaskan bahwa hadits ini menunjukkan keutamaan ilmu yang paling agung. Yaitu ilmu yang bermanfaat merupakan tanda kebahagiaan seorang hamba dan tanda bahwa Allah Ta’ala menghendaki kebaikan untuknyaDan sebaliknya, hadits ini mengisyaratkan bahwa barangsiapa yang berpaling dari mempelajari ilmu agama, maka berarti Allah Ta’ala tidak menghendaki kebaikan untuknya. Karena dia terhalang dari melakukan sebab-sebab yang dapat mendatangkan kebaikan dan kebahagiaan. [3]

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,

”Yang dimaksud dengan ‘fiqh fi ad-din’ (memahami agama) bukanlah terbatas pada memahami hukum-hukum amaliyyah tertentu yang disebut oleh para ulama dengan ilmu fiqih. Akan tetapi, yang dimaksud dengan ‘fiqh fi ad-din’ tersebut adalah memahami ilmu tauhid, ushuluddin (pokok-pokok agama), dan yang terkait dengan syari’at Allah. Seandainya tidak ada dalil dari Al Qur’an maupun As-Sunnah tentang keutamaan ilmu kecuali hadits ini saja, niscaya sudah mencukupi dalam memberikan motivasi agar menuntut ilmu syar’i dan memahaminya.” (Kitaabul ‘Ilmi, hal. 21) 

Orang yang Berilmu adalah Pewaris para Nabi

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan kepada kita bahwa para ulama memiliki kedudukan yang agung di sisi Allah Ta’ala yang tidak diraih oleh seorang pun selain mereka. Yaitu bahwa mereka adalah pewaris para Nabi dalam membawa agama dan menyebarkannya di dunia ini.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ الأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلاَ دِرْهَمًا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ

“Keutamaan orang berilmu di atas ahli ibadah bagaikan keutamaan bulan purnama atas seluruh bintang-bintang. Sesungguhnya ulama itu adalah pewaris para nabi. Para Nabi tidaklah mewariskan dirham dan dinar, akan tetapi mereka mewarisi ilmu. Maka barangsiapa yang mengambilnya, sungguh dia telah mengambil keberuntungan yang besar”. (HR. Abu Dawud. Dinilai shahih oleh Syaikh Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Abu Dawud  no. 3641)

Al-Khathib Al-Baghdadi rahimahullah menceritakan bahwa pada suatu hari, ada seorang Arab Badui lewat ketika Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengajarkan hadits kepada para muridnya yang berkumpul di sekelilingnya. Maka orang Arab Badui tersebut berkata, ”Untuk apa mereka berkumpul?”  Maka Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,

« على ميراث محمد ، صلى الله عليه وسلم يقتسمونه »

“Untuk membagi-bagi warisan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Syarfu Ash-haabil Hadits, 1 : 102) 

Segala Sesuatu di Langit dan di Bumi Memintakan Ampun untuk para Penuntut Ilmu

Karena kedudukan dan pahala yang besar bagi para penuntut ilmu, sampai-sampai  segala sesuatu, baik di langit maupun di bumi memintakan ampun untuknya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

صاحب العلم يستغفر له كل شيء حتى الحوت في البحر

“Segala sesuatu memintakan ampun bagi ahlul ilmi, sampai-sampai ikan di lautan.” (HR. Abu Ya’laDinilai shahih oleh Syaikh Albani dalam Shahih wa Dha’if Al-Jaami’ Ash-Shaghir  no. 7201)

Malaikat pun Bershalawat kepada Ahlul ‘Ilmi

Allah Ta’ala telah memuliakan para ulama dan para penuntut ilmu sehingga Allah Ta’ala dan para malaikat-Nya bershalawat untuknya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ وَمَلائِكَتَهُ حَتَّى النَّمْلَةَ فِي جُحْرِهَا، وَحَتَّى الْحُوتَ فِي الْبَحْرِ لَيُصَلُّونَ عَلَى مُعَلِّمِ النَّاسِ الْخَيْرَ

“Sesungguhnya Allah, malaikat-malaikatNya, sampai semut di sarangnya, dan ikan di lautan bershalawat untuk orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia.” (HR. ThabraniDinilai shahih oleh Syaikh Albani dalam Shahih wa Dha’if Al-Jaami’ Ash-Shaghir no. 2719)

Yang dimaksud dengan shalawat Allah Ta’ala kepada hamba-hambaNya adalah sanjungan Allah Ta’ala di depan para malaikat. Adapun maksud shalawat para malaikat kepada seorang hamba  adalah mendoakan dan memohonkan ampun atas dosa-dosanya.

Berjalan Menuntut Ilmu Sama dengan Jihad fii sabilillah

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa barangsiapa yang berjalan untuk menghadiri majelis ilmu, maka dia setara dengan kedudukan mujahid fii sabiilillah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ جَاءَ مَسْجِدِى هَذَا لَمْ يَأْتِهِ إِلاَّ لِخَيْرٍ يَتَعَلَّمُهُ أَوْ يُعَلِّمُهُ فَهُوَ بِمَنْزِلَةِ الْمُجَاهِدِ فِى سَبِيلِ اللَّهِ 

“Barangsiapa yang mendatangi masjidku ini, tidaklah ia mendatanginya kecuali untuk kebaikan yang akan dipelajarinya atau diajarkaannya, maka dia setara dengan kedudukan mujahid fii sabiilillah.” (HR. Ibnu Majah. Dinilai shahih oleh Syaikh Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Ibnu Majah no. 227)

[Bersambung]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/51513-keutamaan-belajar-ilmu-agama-bag-1.html

Berguru kepada Sang Raja Para Ulama

PERNAH mendengar julukan sulthanul ulama (rajanya para ulama)? Iya, julukan itu disematkan pada seorang alim yang bernama Al-‘Izz bin Abdussalam. Dua minggu ini, kami mengaji kitab beliau yang berjudul Fawaidul Balwaa Wal Mihan (Hikmah Cobaan dan Ujian).

Ada 17 alasan mengapa kita tak boleh mengeluh di tengah gempuran musibah, bencana, cobaan dan ujian. Tulisan kali ini tidak dimaksudkan mengurai ketujuh belas alasan itu, melainkan sisi lain dari kehidupan sang raja ulama ini.

Saya benar-benar jatuh hati pada ulama yang juga disebut dengan nama Izzuddin bin Abdissalam ini. Ketegaran dan ketegasannya serta kezuhudannya begitu luar biasa. Keberpihakan beliau pada urusan akhirat benar-benar tercermin dari kehidupan kesehariannya. Lalu bagaimanakah kira-kira kehidupan keluarganya? Mampukah isterinya menempatkan diri untuk mengikuti irama kehidupan beliau? Ahaaa, ada kisah menarik tentang ini.

Di suatu masa, harga kebun di daerah Syekh Izzuddin amatlah murah. Harganya terjun payung dari tinggi menjadi rendah. Isterinya menyerahkan perhiasan dan harta simpanannya kepada beliau agar dijual dan dibelikan kebun untuknya. Sungguh isteri yang baik, memasrahkan urusan besar ini kepada keputusan suami. Syekh Izzuddin menjual harta dan perhiasan itu. Uang pun ada di tangan beliau.

Saat uang ada di tangan Syekh, terlihat ada banyak manusia yang butuh bantuan keuangan demi kebutuhan pokok hidupnya. Syekh Izzuddin membagi-bagikan uang itu kepada mereka sebagai shadaqah. Syekh pun pulang dengan pikiran tenang dan hati riang.

Sesampainya di rumah, sang isteri tercintanya bertanya dengan penuh senyum dan harap: Apakah sudah dibelikan kebun dan rumah untuk kita? Syekh Izzuddin menjawab: Sudah kubelikan kebun, tapi tidak di sini, melainkan di surga. Aku shadaqahkan semua uang perhiasanmu itu kepada orang yang membutuhkan.

Para pembaca, sahabat dan saudaraku, bisakah dibayangkan nuansa hati sang isteri? Ahaa… berat sekali bayangannya, bukan? Ternyata isteri sang teladan kita ini menjawab dengan senyum: Terimakasih ya, semoga Allah membalas kebaikanmu wahai suamiku. Luar biasa keluarga Syekh kita yang satu ini. SEmoga keluarga kita selalu menjadi keluarga yang kompak di jalan yang diridlai Allah. Salam, AIM. [*]

 

Inilah Mozaik