Belum Qadha’ Puasa tapi Keburu Masuk Bulan Ramadhan

Bayar fidyah bagi orang yang qadha’ puasa karena memasuki bulan puasa baru adalah masalah khilaf, mayoritas ulama berdalil dengan hadits dan qiyas serta amalan sahabat

SESEORANG memiliki ‘hutang’ puasa Ramadhan namun ia tidak segera melunasinya, sampai akhirnya tibalah bulan Ramadhan selanjutnya, apakah ia cukup mengganti puasa yang ia tinggalkan atau ia juga harus menunaikan fidyah?

Madzhab Syafi`i

Dalam Madzhab Syafi`i, jika seseorang memiliki kewajiban untuk meng-qadha` puasa sedangkan ia tidak memiliki udzur, maka ia tidak boleh mengakhirkannya hingga tiba Ramadhan selanjutnya. Jika sampai ia mengakhirkannya hingga tiba Ramadhan selanjutnya, maka wajib baginya di samping ia meng-qadha’ ia harus membayar fidyah sebanyak satu mud makanan untuk orang miskin. (Al Muhadzdzab dengan Al Majmu`, 6/364).

Madzhab Maliki

Jika seseorang mengakhirkan qadha’ puasa Ramadhan sampai masuk ke Ramadhan setelahnya, makai ia berpuasa untuk Ramadhan yang ia masuki lantas meng-qadha’ puasa yang menjadi tanggungannya. (Al Isyraf `ala Nukat Masa`il Khilaf, 1/445).

Madzhab Hanbali

Ibnu Qudamah menyatakan, ”Barangsiapa yang memiliki tanggungan puasa Ramadhan, maka ia boleh mengakhirkannya, selama belum memasuki Ramadhan selanjutnya…Dan dilarang baginya mengakhirkan qadha’ hingga Ramadhan setelahnya tanpa udzur.” (dalam Al Mughni, 3/153).

Dalil-dalil Madzhab Hanafi

Tiap madzhab memiliki dalil yang dijadikan pegangan atas pendapat yang mereka anut. Madzhab Hanafi berdalil dengan Al-Qur`an dan qiyas. Dan pendapat mereka juga merupakan pendapat beberapa Sahabat Rasulullah ﷺ. (dalam Al Mabsuth, 3/77).

Para ulama Madzhab Hanafi berdalil dengan keumuman dari ayat  184 dari Surat Al Baqarah:

 فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَّرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ

“Artinya: Maka barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain.” (Al Baqarah: 184).

Perintah untuk mengganti puasa di hari-hari lainnya secara mutlak, tidak ada perintah bahwasannya menggantinya harus dilakaukan sebelum Ramadhan selanjutnya. (dalam Al Mabsuth, 3/77).

Para ulama Madzhab Hanafi juga menggunakan qiyas, yakni seperti qadha’ ibadah-ibadah lainnya, di mana waktu pelaksanaannya tidak dibatasi sampai waktu pelaksanaan ibadah selanjutnya. (Dalam Al Mabsuth, 3/77).

Sedangkan pendapat yang sama dengan pendapat Madzhab Hanafi dalam masalah ini datang dari beberapa sahabat, antara lain Ali dan Ibnu Mas`ud radhiyallahu `anhuma. (dalam Al Mabsuth, 3/77).

Dalil-dalil Jumhur Ulama

Sedangkan mayoritas ulama berdalil dengan hadits dan qiyas serta amalan sahabat. Di mana para sahabat seperti Abu Hurairah, Ibnu Umar dan Ibnu Abbas radhiyallahu `anhum menyatakan bahwa siapa saja yang mengakhirkan qadha’ hingga memasuki Ramadhan setelahnya, maka wajib baginya di samping menqadha juga membayar fidyah. (Lihat, Al Majmu` Syarh Al Muhadzdzab, 6/363).

Mayoritas ulama juga berdalil dengan hadits:

عن عَائِشَةُ رضي الله عنها قَالَتْ:” كَانَ يَكُونُ عَلَيَّ الصِّيَامُ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ، فَمَا أَقْضِيه حَتَّى يَجِيءَ شَعْبَانُ”. (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ)

“Dari Aisyah ia berkata,”Aku memiliki tanggungan puasa bulan Ramadhan. Aku tidak mengqadha`nya sampai datang waktu Sya`ban.” (Muttafaq Alaih)

Kalau sekiranya boleh mengakhirkan qadha’ puasa hingga datang bulan Ramadhan, niscaya Sayyidah Aisyah akan mengakhirkannya. Namun Sayyidah Aisyah tidak melakukannya. (dalam Al Mughni, 2/153).

Para ulama juga berhujjah dengan qiyas, di mana mereka mengqiyaskan masalah itu dengan shalat fardhu, di mana tidak boleh seseorang meninggalkan shalat sampai masuk waktu shalat selanjutnya. Hal itu karena kedua-duanya adalah ibadah yang dilaksakankan secara berulang-ulang. (Al Mughni, 2/1).

Takaran Fidyah

Pendapat mayoritas ulama menyatakan bahwa siapa saja yang tidak meng-qadha’puasa Ramadhan sampai tiba Ramadhan setelahnya maka di samping ia meng-qadha’ puasa ia juga membayar fidyah berupa satu mud makanan untuk orang miskin untuk tiap puasa yang ia tinggalkan.

Satu mud adalah ukuran takaran zaman dulu, di mana ia memenuhi dua telapak tangan orang dewasa tanpa digenggam. Yang menurut jumhur ulama kadaranya seberat 510 gram atau 0, 51 kilo gram makanan. (Lihat, Al Makayil wa Al Mawazin Asy Syar`iyah, hal. 36).

Walhasil tidak mengapa jika seseorang mengikuti pendapat Madzhab Hanafi pada masalah ini, namun memilih pendapat mayoritas ulama lebih utama, karena terhindar dari masalah khilafiyah. Karena keluar dari khilaf merupakan perkara mustahab.  Wallahu a`lam bish shawab.*/Thoriq, LC, MA

HIDAYATULLAH