Banyak orang yang beranggapan bahwa beramal harus didasari dengan keikhlasan. Jika tidak ikhlas, maka amalan tersebut tidak akan bernilai. Hal ini tentu saja menimbulkan keraguan bagi sebagian orang untuk beramal, karena mereka merasa belum mencapai tingkat keikhlasan yang sempurna. Lantas benarkah pernyataan diatas, bahwa seseorang yang ingin beramal kebajikan harus menunggu ikhlas?
Dalam literatur Islam dijelaskan bahwa ikhlas adalah ibadah yang dilaksanakan hanya bertujuan untuk mendekatkan diri dan meraih ridho Allah Swt semata tanpa tendensi lain. Seperti ingin dipuji banyak orang, ingin terlihat orang suci dan lain sebagainya.
Sebagaimana hal ini telah dijelaskan Imam Qusyairi Lewat kitab karyanya Risalah Al Qusyairiyah sebagai berikut:
الإخلاصُ إفرادُ الحقِ سبحانه في الطاعة بالقصدِ، وهو أن يريدَ بطاعته التقرّبَ إلى الله تعالى دون شيء آخرَ، مِن تَصنُّعٍ لمخلوق. وقال: ويصحُّ أن يقالَ: الإخلاصُ تصفيةُ الفعلِ عن ملاحظةِ المخلوقين.
Artinya: “Ikhlas adalah engkau mengesakan Allah dalam mengerjakan ketaatan dengan sengaja. Melakukan seluruh ketaatan semata untuk mendekatkan kepada Allah tidak ada tujuan lain, misalnya karena berpura-pura kepada perbuatan makhluk. Dan ia berkata; Ikhlas adalah memurnikan diri kepada Allah dari pandangan makhluk.
Namun pada prakteknya terkadang kita sulit untuk mencapai gelar ikhlas tersebut. sehingga kita takut dan menunda amal baik itu dengan alasan belum bisa meniatkanya murni untuk mendekatkan diri kepada allah swt. Hal ini menyebabkan dilematis, antara beramal tapi takut tidak ikhlas atau menundanya sampai entah kapan bisa melakukanya dengan murni ikhlas karena Allah semata.
Sayyid Abdurrahman Ba’lawi dalam kitabnya Bughyah Mustarsyidin halaman 5, memberikan penjelasan terkait permasalahan ikhlas diatas. Penjelasan ini dapat menjadi angin segar bagi kalangan umat islam yang dilema antara berbuat baik tapi takut tidak ikhlas atau menunda perbuatan baik tersebut. Berikut penjelasan beliau:
وقد جاء رجل إلى أبي هريرة – رضي الله عنه – فقال: إني أريد أن أتعلم العلم وأخاف أن أضيعه، فقال أبو هريرة – رضي الله عنه -: ” كفى بتركك العلم اضاعة وقال الامام من مكايد الشيطان ترك العمل خوفا من أن يقول الناس انه مراء لأنه تطهير العمل من نزعات الشيطان بالكلية متعذر فلو وقفنا العبادة على الكمال لتعذر الاشتغال من العبادات وذلك يوجب البطالة التي هي أقصى غرض الشيطان
Artinya:”Dan telah datang seorang laki laki kepada sahabat Abu Hurairah Ra. pemuda tersebut berkata;”Aku sebenarnya ingin belajar ilmu agama, tapi saya khawatir nanti malah menyia nyiakan ilmu tersebut (tidak mengamalkan atau mengamalkan tapi tidak ikhlas atau sempurna).
Kemudian sahabat Abu Hurairah menjawab: ”Justru dengan engkau telah meninggalkan belajar ilmu agama, itu adalah menyia-nyiakan ilmu itu sendiri. Imam Haramain berkata;” Sebagian dari tipu daya setan adalah meninggalkan amal kebaikan karena takut dikatakan “sok alim” oleh manusia, takut dikatakan “sok suci” dan lain lain.
Sesungguhnya membersihkan semua amal ibadah dari tipu daya setan dan nafsu itu tidak pernah bisa. Jika kita beramal menunggu sempurna, maka sampai kapanpun kita tidak akan bisa beramal.”
Dengan demikian pernyataan beramal harus menunggu ikhlas adalah tidak benar. Oleh karenanya kita tidak boleh menunggu sempurna dan ikhlas dalam beramal, tapi beramallah sampai kita ikhlas dan sempurna. Dan jika ada seseorang mengejek kita “sok alim” “sok agamis” dan lain sebagainya. Ketahuilah, ia sejatinya adalah utusan setan untuk menghalang halangi engkau beribadah.
Demikian penjelasan seputar benarkah beramal harus menunggu ikhlas, semoga bermanfaat Wallahu alam bissawab.