Benarkah Isra Miraj Nabi Muhammad saw ke Planet Pluto?

Benarkah Isra Mikraj Nabi Muhammad saw ke Planet Pluto?

Pertanyaan:

Assalamu  ‘alaikum wr.wb.

Kepada Bapak Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang kami hormati. Kami ingin bertanya, ada orang yang mengatakan bahwa Nabi saw menjalankan Mikraj di planet Pluto. Tapi menurut analisa kami Nabi saw menjalankan Isra Mikraj dari Masjidil Haram ke Sidratul Muntaha pulang pergi hanya ditempuh selama 9 jam dari jam 19.00 sampai jam 04.00.

Kecepatan Buraq yang menyertai Nabi saw lebih cepat dari kecepatan cahaya, yaitu 300.000 km per detik. Sedangkan menurut kalkulasi, diperkirakan jarak Bumi ke Pluto = 6.059.600.000 km (menurut perhitungan pakar astronomi dalam Kamus Sain). Menurut perhitungan, kecepatan cahaya 300.000 km per detik. 1 jam = 1.080.000.000 km. Sehingga jarak Bumi ke Sidratul Muntaha ditempuh selama 9 jam = 9.720.000.000 km. Sidratul Muntaha lebih jauh terpaut = 3.660.400.000 km dengan planet Pluto. Mohon pendapat Bapak Tim Fatwa.

Wassalamu ‘alaikum wr.wb.

Kardji. M. Pd.I., Juru Dakwah Muhammadiyah Kepoh Baru, Bojonegoro, Jawa Timur (Disidangkan pada Jumat, 27 Rabiulawal 1442 H / 13 November 2020 M)

Jawaban:

Wa‘alaikumus-salam wr.wb.

Terima kasih atas pertanyaan yang saudara ajukan. Dalam menjawab persoalan ini akan kami susun menjadi tiga jawaban.

Pertama, kami berpendapat bahwa peristiwa Isra dan Mikraj terdapat persoalan yang bersifat gaib yang tidak dijangkau oleh akal manusia. Perihal ini haruslah kita imani sebagaimana dalam QS. al-Baqarah (2) ayat 2-3. Pada ayat tersebut Allah swt berfirman,

ذَٰلِكَ ٱلْكِتَٰبُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِّلْمُتَّقِينَ ٱلَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَمِمَّا رَزَقْنَٰهُمْ يُنفِقُونَ.

Kitab (al-Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan salat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka.

Kemudian dalam QS. al-Jin (72) ayat 26-27, Allah swt juga berfirman,

عَالِمُ الْغَيْبِ فَلَا يُظْهِرُ عَلَىٰ غَيْبِهِ أَحَدًا إِلَّا مَنِ ارْتَضَىٰ مِنْ رَسُولٍ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ رَصَدًا.

(Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang gaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang gaib itu, kecuali kepada rasul yang diridai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan belakangnya.

Berdasarkan dua ayat di atas kami menghindari ta’wil yang terlalu jauh dalam persoalan ini, yakni persoalan mikraj-nya Nabi ke Sidratul Muntaha, dan kami dapat memastikan bahwa Sidratul Muntaha itu bukanlah Pluto. Hal ini berdasarkan Firman Allah dalam QS. al-Isra (17) ayat 1,

سُبْحَٰنَ ٱلَّذِى أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِۦ لَيْلًا مِّنَ ٱلْمَسْجِدِ ٱلْحَرَامِ إِلَى ٱلْمَسْجِدِ ٱلْأَقْصَا ٱلَّذِى بَٰرَكْنَا حَوْلَهُۥ لِنُرِيَهُۥ مِنْ ءَايَٰتِنَا ۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلْبَصِيرُ.

Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari al-Masjidil Haram ke al-Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

Hadis dari Malik bin Sha‘sha‘ah, diriwayatkan bahwa Nabi saw bersabda,

عَنْ مَالِكِ بْنِ صَعْصَعَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ … وَرُفِعَتْ لِي سِدْرَةُ المُنْتَهَى، فَإِذَا نَبِقُهَا كَأَنَّهُ قِلاَلُ هَجَرَ وَوَرَقُهَا  كَأَنَّهُ آذَانُ الفُيُولِ فِي أَصْلِهَا أَرْبَعَةُ أَنْهَارٍ نَهْرَانِ بَاطِنَانِ، وَنَهْرَانِ ظَاهِرَانِ، فَسَأَلْتُ جِبْرِيلَ، فَقَالَ: أَمَّا البَاطِنَانِ: فَفِي الجَنَّةِ، وَأَمَّا الظَّاهِرَانِ: النِّيلُ وَالفُرَاتُ …

Dari Malik bin Sha’sha’ah (diriwayatkan) Nabi saw. bersabda: … Aku melihat Sidratul Muntaha di langit ketujuh. Buahnya seperti kendi daerah Hajar, dan daunnya seperti telinga gajah. Dari akarnya keluar dua sungai luar dan dua sungai dalam. Kemudian aku bertanya, Wahai Jibril, apakah keduanya ini? Dia menjawab, Adapun dua yang dalam itu ada di surga sedangkan dua yang di luar itu adalah Nil dan Eufrat  [HR. al-Bukhari No. 2968].

Penjelasan lebih detail terkait Isra Mikraj dapat merujuk kepada hadis dari sahabat Anas bin Malik. Namun akan kami kutip intinya bahwa dalam hadis tersebut disebutkan:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : … ثُمَّ ذَهَبَ بِي إِلَى السِّدْرَةِ الْمُنْتَهَى وَإِذَا وَرَقُهَا كَآذَانِ الْفِيَلَةِ …

Dari Anas bin Malik (diriwayatkan) bahwa Rasulullah saw. bersabda: … Kemudian Jibril dan aku pergi ke Sidratul Muntaha. Daun-daunnya besar seperti telinga gajah dan ternyata buahnya sebesar tempayan [HR. Muslim No. 234].

Dalam QS. an-Najm (53) ayat 13-14 disebutkan,

وَلَقَدْ رَآهُ نَزْلَةً أُخْرَىٰ. عِندَ سِدْرَةِ الْمُنتَهَىٰ. عِندَهَا جَنَّةُ الْمَأْوَىٰ.

Sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain. (yaitu) Di Sidratul Muntaha. Di dekatnya ada surga tempat tinggal.

Berdasarkan ayat dan hadis di atas Mikraj Nabi saw adalah ke Sidratul Muntaha, bukan Pluto, bahkan kami berpendapat bahwa teori Mikraj ke Pluto adalah teori yang tidak memiliki dasar. Hal ini dikuatkan dari tafsiran Sidratul Muntaha. Sidrah dalam bahasa Arab diartikan dengan pohon namun karena disifati dengan lafal Muntaha itu menunjukkan bahwa tempat itu tidak dapat dijangkau dengan pengetahuan manusia.

Dijelaskan bahwa di dekat Sidratul Muntaha terdapat surga. Surga merupakan alam akhirat yang sifatnya adalah gaib, terdapat gambaran dalam al-Qur’an tentang hal itu namun kita tidak tahu secara persis bentuk surga tersebut. Dari sini diketahui bahwa Mikraj itu perkara yang gaib yang manusia tidak tahu secara pasti, karena tujuan dari Mikraj itu sendiri adalah tempat tertinggi yang berada di dekat surga. Oleh sebab itu tidak perlu ditakwilkan secara jauh dalam persoalan ini karena akal pikiran manusia itu terbatas.

Kedua, kami berpendapat bahwa peristiwa Isra Mikraj termasuk mukjizat atau kehendak dan kekuasaan Allah swt yang diberikan khusus kepada Nabi saw yang harus diimani dengan sepenuh hati. Hal ini berdasarkan firman Allah swt dalam QS. al-Isra (17) ayat 1 sebagaimana yang telah diseebutkan di atas. Dalam tafsirnya dijelaskan bahwa, ayat itu dimulai dengan lafal Subhaana yang artinya penyucian terhadap Allah dan manusia harus mengakui kesucian-Nya dari sifat-sifat yang tidak layak dan meyakini sifat-sifat keagungan-Nya yang tiada tara. Keterangan ini merupakan tanda bahwa Allah ingin mengabarkan tentang peristiwa yang luar biasa yang tidak masuk akal manusia, yang itu terjadi karena kehendak dan kekuasaan-Nya. Itulah Isra dan Mikraj.

Lafal Asraa menjelaskan bahwa Nabi saw diperjalankan oleh Allah swt bukan karena keinginannya sendiri. Kemudian peristiwa itu dilakukan dengan ruh dan jasad beliau saw, karena:

وَلِسُلَيْمَانَ الرِّيحَ غُدُوُّهَا شَهْرٌ وَرَوَاحُهَا شَهْرٌ …

Kami (tundukkan) angin bagi Sulaiman, yang perjalanannya di waktu pagi sama dengan perjalanan sebulan dan perjalanannya di waktu sore sama dengan perjalanan sebulan (pula)….

Dari peristiwa yang terjadi pada Nabi saw, sebuah mukjizat atau kehendak dan kekuasaan Allah yang diberikan kepada Nabi saw untuk menerobos sunah-sunahnya dengan sunah-sunahnya yang lain, seperti contoh lainnya adalah mukjizat Nabi Musa as, yakni berubahnya tongkat menjadi ular yang besar, kemudian berubah lagi menjadi tongkat kecil seperti sedia kala dalam waktu yang singkat. Dari peristiwa ini harus diimani dengan sepenuh hati dan meyakini ini adalah kehendak dan kekuasaan-Nya.

Ketigaterkait hitung-hitungan antara jarak dan waktu yang ditempuh oleh Nabi saw dalam Isra Mikraj sebagaimana digambarkan penanya dalam pertanyaan, kami berpendapat bahwa tidak ada satu pun yang tahu kapan dan bagaimana persis peristiwa tesebut terjadi, kecuali Allah swt dan Nabi saw. Hal ini berdasarkan firman Allah swt dalam QS. al-Jin (72) ayat 26-27 yang sudah kami sebutkan di atas. Bahkan kami hendak mengkritisi penanya, bagaimana penanya bisa mengetahui secara pasti bahwasanya perjalanan Isra Mikraj itu terjadi pada pukul 19.00 sampai dengan 04.00, sedangkan pada saat itu belum ada jam dan lain sebagainya, bahkan untuk menunaikan salat pun Nabi saw dan para sahabat masih memperhatikan langit untuk memperkirakan waktunya, dan juga dalam dalil-dalil pun tidak ada yang menyebutkan secara spesifik waktu (jam berapa) kejadian itu terjadi.

Demikian jawaban yang dapat kami berikan.

Wallahu alam bish-shawab.

Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Sumber: Majalah SM No 17 Tahun 2021

KHAZANAH REPUBLIKA