Benarkah Klaim Shalat PA 212 di Tengah Jalan untuk Menghormati Waktu Shalat?

Viral di media sosial terkait praktik shalat yang dilakukan petinggi PA 212, yakni Fikri Bareno atau Buya Fikri. Dalam video berdurasi pendek yang beredar, Buya Fikri yang juga bertindak sebagai koordinator lapangan awalnya tampak ikut salat berjamaah dari atas mobil komando.

Namun, gerakan shalat yang dilakukannya terlihat ganjil. Pasalnya,  ia dalam gerakan shalat terlihat ragu-ragu, yang paling aneh, Buya Fikri melakukan rukuk sebanyak dua kali.Padahal, praktik shalat tersebut tergolong gerakan yang membatalkan shalat.

Lebih jauh lagi, jika gerakan seperti itu  masih saja sengaja dilakukan, maka hukumnya haram dan berdosa.Pasalnya, tindakan tersebut tergolong bermain-main dengan ibadah yang memiliki nilai agung di sisi Allah SWT.

Lebih lanjut, beberapa waktu belakangan berkembang narasi yang menyatakan bahwa shalat yang dilakukan oleh anggota PA 212 pada esensinya adalah shalat untuk menghormat waktu (lihurmati al-wakti) yang tidak memiliki aturan sebagaimana shalat pada umumnya.

Narasi shalat lihurmarti wakti,  betebaran di media sosial. Benarkah anggapan itu dalam perspektif  fikih? Mari kita bahas satu persatu.

Sebelum membahas lebih lanjut, ada pentingnya bagi penulis untuk menjelaskan maksud dari shalat menghormat waktu itu sendiri. Hal itu agar kita bisa paham secara utuh konsep-konsep yang ada dalam shalat tersebut.

Maksud Shalat Lihurmati al-Wakti

Shalat menghormat waktu atau yang juga dikenal dengan shalat lihurmati al-wakti adalah shalat yang dilakukan oleh seseorang sekadar untuk menghormat waktu.

Shalat semacam ini dilakukan ketika tidak menemukan dua alat untuk bersuci, yaitu air dan debu, sedangkan waktu shalat sudah masuk, atau bisa juga diartikan sebagai shalat yang dilakukan dalam keadaan tidak sempurna disebabkan tidak memenuhi syarat dan rukun shalat karena ketidakmampuan untuk menyempurnakannya.

Menurut Imam al-Quyubi (wafat 1069 H), dalam salah satu kitabnya mengatakan, bahwa shalat ini bermula dari Sayyidah Aisyah, dalam salah satu hadits disebutkan,

رَوَتْ عَائِشَةُ أَنَّهَا اسْتَعَارَتْ قِلَادَةً مِنْ أَسْمَاءَ فَهَلَكَتْ، فَأَرْسَلَ رَسُولُ اللهِ أُنَاسًا فِي طَلَبِهَا، فَحَضَرَتْ الصَّلَاةُ وَلَيْسُوا عَلَى وُضُوءٍ، وَلَمْ يَجِدُوا مَاءً فَصَلُّوا وَهُمْ عَلَى غَيْرِ وُضُوءٍ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ آيَةَ التَّيَمُّم

Artinya, “Siti Aisyah meriwayatkan bahwa ia pernah meminjam kalung pada Asma’. Kemudian (kalung itu) hilang, maka Rasulullah mengutus beberapa orang untuk mencarinya.

(Setelah kalung itu ditemukan) datanglah waktu shalat sedangkan ia dalam keadaan tidak mempunyai wudhu dan tidak menemukan air (untuk berwudhu), akhirnya mereka pun mengerjakan shalat (tanpa wudhu).

Setelah kejadian itu, Allah menurunkan ayat tayamum.” (Imam Ahmad Salamah al-Qulyubi, Hasyiyatu Qulyubi wa ‘Umairah, [Beirut, Darul Fikr: 2002], juz 1, halaman 110).

Peyebab dan Ketentuannya

Ada beberapa faktor yang bisa menjadi penyebab seseorang melaksanakan shalat lihurmatil wakti, faktor-faktor itu bisa disimpulkan menjadi empat bagian, berikut perinciannya:

Pertama, tidak menemukan sarana untuk bersuci, baik berupa air atau debu. Hal ini dalam kitab-kitab fiqih dikenal dengan istilah faqiduth thahuraini (orang yang tidak memiliki dua alat bersuci).

Kedua, dalam perjalanan, sekira jika turun dari kendaraan untuk melaksanakan shalat akan tertinggal dari rombongannya, atau khawatir hartanya dicuri orang lain.

Ketiga, shalat dalam keadaan najis dan tidak ada debu untuk menghilangkannya, sementara air yang ada sangat dibutuhkan orang-orang yang bersamanya karena dahaga. 

Keempat, orang yang sedang disalib, berada dalam perahu, dan orang sakit yang tidak bisa mengambil air, atau bisa mengambil namun tidak bisa melakukan wudhu.

Dari penjelasan di atas, bisa disimpulkan bahwa shalat lihurmatil wakti tidak asal shalat. Harus melalui beberapa tahap untuk kemudian bisa sah dan boleh melakukan shalat tersebut. Dengan kata lain, jika masih ada kemungkinan untuk melakukan shalat dengan sempurna, maka tidak boleh sekadar melakukan shalat lihurmatil wakti.

Jika ditanya, “Apakah shalat ala PA 212 bisa dikategorikan sebagai shalat lihurmatil wakti?” Jawabannya; tidak.

Perlu diketahui, bahwa shalat wajib harus dilakukan dalam keadaan yang sempurna. Semua rukun dan syaratnya harus terpenuhi. Maka, jika beberapa syarat, misalnya alat bersuci tidak ada, baru bisa melakukan shalat lihurmatil wakti.

Syarat yang lain, misalnya harus masuk waktu, namun dalam keadaan perjalanan, yang jika masih melakukan shalat akan tertinggal, maka dalam hal ini juga boleh melakukan shalat tersebut.

Dari uraian tersebut, tentu shalat yang dilakukan oleh anggota PA 212 tidak tepat. Kenapa demikian? Sebab mereka bisa untuk bersuci dengan sempurna, bisa melakukan syarat dan rukunnya juga dengan sempurna. Oleh karenanya, jika ada kekurangan dalam shalat yang mereka lakukan, tidak layak dinisbatkan kepada shalat lihurmatil wakti.

Jika tidak tepat dikatakan shalat lihurmatil wakti, apakah shalat yang mereka lakukan layak disamakan (analogi) dengan shalatnya orang sakit yang boleh melakukan shalat seperti apa saja yang mereka mampu? Maka jawabannya juga tidak tepat.

Sayyid Abdurrahman bin Muhammad bin Husain bin Umar al-Hadrami dalam kitabnya mengatakan bahwa boleh bagi orang yang sakit melakukan shalat sebatas yang ia mampu,

يَجِبُ عَلَى الْمَرِيْضِ أَنْ يُؤَدِّيَ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ مَعَ كَمَالِ شُرُوْطِهَا وَأَرْكَانِهَا وَاجْتِنَابِ مُبْطِلَاتِهَا حَسَبَ قُدْرَتِهِ وَإِمْكَانِهِ

Artinya, “Wajib bagi orang yang sakit untuk melakukan shalat lima waktu dengan cara menyempurnakan semua syarat, rukun, dan meninggalkan hal-hal yang bisa membatalkannya, sebatas kemampuannya.” (Sayyid Abdurrahman al-Hadrami, Bughyatu al-Mustarsyidin, [Beirut, Darul Fikr], halaman 162).

Dari penjelasan di atas, yang menarik untuk dibahas dan dipahami lebih dalam adalah “melakukan shalat sebatas kemampuannya”. Penjelasan ini sering dijadikan alasan oleh beberapa kelompok untuk melakukan shalat tanpa menyempurnakan rukun dan syaratnya, dengan alasan tersebut.

Jika dibaca dan diangan-angan, maka sebenarnya Sayyid Abdurrahman tidak dalam rangka memberikan kelonggaran untuk melakukan shalat sebatas kemampun, apalagi sebatas kehendak dan kemauan sendiri, tidak demikian. Dan pemahaman seperti ini menyalahi teks yang tertera dalam kitab tersebut.

Perlu diketahui, sebelum kata “sebatas kemampuan” disampaikan, terlebih dahulu Sayyid Abdurrahman menjelaskan kewajiban shalat bagi orang sakit harus dilakukan dengan sempurna. Artinya, selama masih bisa menyempurnakan shalat, maka tidak boleh melakukannya sebatas kehendaknya sendiri.

Dari penjelasan di atas, lagi-lagi shalat yang dilakukan sebagaimana yang viral saat ini, tidak tepat, karena menyalahi banyak aturan-aturan shalat; baik dalam shalat lihurmatil wakti, maupun shalat orang sakit.

BINCANG SYARIAH