Praktik beragama yang mantap dan tidak mudah goyah itu jika didasari oleh ilmu-ilmu agama yang benar, diperoleh dari sumber yang bisa dipercaya, bukan didasari oleh duga-duga dan dorongan hawa nafsu belaka.
Beragama tanpa ilmu itu berpotensi merusak segalanya, karena boleh jadi ia menyangka benar apa yang salah fatal, menduga suatu perbuatan sebagai ibadah padahal sama sekali bukan, menganggap berpahala atas apa yang sebenarnya berdosa, meyakini maslahatnya sesuatu padahal senyatanya adalah mafsadat dan sebaliknya, demikianlah seterusnya.
Kebutaan akan ilmu-ilmu agama telah membuat sebagian besar kaum beragama menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhan mereka, dan mereka pun mengangkat orang-orang bodoh menjadi pemimpin agama. Terwujudlah peribahasa si buta menuntun si buta. Saat ini mudah dijumpai dalam kenyataan, betapa banyaknya kaum awam yang dalam beragama berpaling dan enggan mengikuti madzhab fikih yang ada. Di antara alasan mereka adalah tidak adanya perintah yang mengharuskan mengikuti madzhab fikih tertentu dalam beragama.
Yang benar menurut mereka bahwa setiap orang harus kembali atau merujuk langsung kepada Al-Quran dan Al-Hadits/Al-Sunnah. Menurut asumsi kaum awam itu bahwa pada masa Nabi dan para sahabat masih hidup tidak ada madzhab fikih sama sekali. Adanya mazhab-madzhab justru menimbulkan sengketa dan perpecahan di kalangan umat Islam. Alasan-alasan di atas yang terus menerus dipublikasikan telah membuat kalangan awam meyakini bahwa diri merekalah yang berada di jalan kebenaran, sehingga para ulama (kiai, ustadz, ajengan, tuan guru, guru) yang memiliki spesialisasi di bidang ilmu agama justru mereka dustakan, dan bahkan dianggap sesat karena telah menganjurkan perlunya mengikuti salah satu dari empat madzhab fikih yang ada, yaitu Madzhab al-Hanafi, al-Maliki, al-Syafi’i, dan al-Hanbali.
Sungguh, sebenarnya slogan kembali kepada al-Quran dan al-Hadits telah menyesatkan banyak kaum awam, dan menghunjamkan penyakit kronis keangkuhan ke dalam jiwa-jiwa mereka dalam beragama. Menganjurkan kalangan awam untuk kembali langsung kepada al-Quran dan al-Hadits itu ibarat mengumumkan kepada para pasien yang sedang opname di rumah sakit dan kepada anggota keluarganya untuk mengambil sendiri obat mereka masing-masing di gudang obat, tanpa ada resep dokter, tanpa petunjuk apoteker, dan tanpa pedoman dari para ahli pengobatan. Dapat dibayangkan akibatnya, akan berapa banyak di antara para pasien itu yang over dosis dan keracunan (mabuk) obat, sebagaimana orang awam yang merujuk langsung kepada al-Quran dan al-Hadits tanpa petunjuk dari ulama spesialis, sehingga mereka pun over acting, mabuk “keracunan” agama, merasa benar sendiri, ekstrim, radikal, dan intoleran terhadap setiap interpretasi dan ekspresi keagamaan yang berbeda. Lebih-lebih terhadap orang lain yang menganut agama dan keyakinan berbeda. Berapa banyak di antara kaum awam yang bermaksud untuk mencegah kemungkaran tetapi justru tanpa menyadari telah terjerumus ke lembah kemungkaran yang lebih besar lagi. Berapa banyak di antara mereka yang merasa sedang “berjihad” dan merasa bakal masuk surga dikelilingi para bidadari. Padahal sesungguhnya sedang melakukan perbuatan jahat, mati sia-sia, dan telah mengorbankan nyawa-nyawa manusia lainnya.
Semua itu mereka lakukan dengan alasan ada ayat-ayat al-Quran dan hadits-hadits Nabi yang memerintahkannya. Padahal mereka sungguh keliru karena telah meletakkan teks-teks suci itu di luar konteksnya dan bukan pula pada tempatnya.
Pendek kata, beragama tanpa ilmu dan penuh arogansi itu sangat merusak, merugikan, dan bahkan membahayakan kemanusiaan. Oleh sebab itu, para ulama dalam pengertian yang sesungguhnya, tanpa merasa bosan telah sering mengingatkan tentang pentingnya mengikuti salah satu dari madzhab fikih yang ada. Di antara mereka adalah al-Syaikh Waliyullah al-Dahlawi dalam karyanya, Hujjatullah al-Balighah, Jilid 1, halaman 123:
قد اجتمعت الأمة أو من يعتد به منها على جواز تقلدها إلى يومنا هذا وفي ذلك من المصالح لا يخفى لا سيما في هذه الأيام التي قصرت فيها الهمم جدا وأشربت النفوس الهوى وأعجب كل ذي رأي برأيه
“Sungguh umat (ulama) telah sepakat atau orang terpercaya dari umat ini atas kebolehan taklid kepadanya (salah satu dari empat madzhab) hingga hari ini, dan dalam hal ini ada banyak kemaslahatan yang tidak samar. Lebih-lebih pada hari-hari ini, yang semangat (menuntut ilmu agama) sangatlah berkurang, jiwa-jiwa telah memperturutkan hawa nafsu, sedangkan setiap orang yang berpendapat telah merasa kagum dengan pendapatnya sendiri.” Hal senada di atas juga disampaikan oleh al-Syaikh Muhammad Amin al-Kurdi dalam kitab Tanwir al-Qulub fi Mu’amalati ‘allam al-Ghuyub, halaman 75,
ومن لم يقلد واحدا منهم وقال أنا أعمل بالكتاب والسنة مدعيا فهم الأحكام منهما فلا يسلم له بل هو مخطئ ضل مضل سيما في هذا الزمان الذي عم فيه الفسق وكثرت الدعوى الباطلة لأنه استظهر على أئمة الدين وهو دونهم في العلم والعدالة والإطلاع
“Barang siapa yang enggan bertaklid (mengikuti) kepada salah satu dari mereka (para imam madzhab yang empat) dan mengatakan, “saya beramal berdasarkan al-Kitab (Al-Quran) dan al-Sunnah”, ia mengaku mampu memahami hukum langsung dari keduanya, maka pendapatnya itu tidak bisa diterima.
Sebaliknya, ia bersalah, sesat, dan menyesatkan. Lebih-lebih pada zaman ini yang dosa telah merata dikerjakan, banyak pula pengakuan (klaim) yang batil, dan karena ia merasa lebih hebat daripada para imam madzhab itu dalam urusan agama, padahal dalam ilmu, keadilan, maupun penelaahan ia masih terpaut jauh di bawah mereka.”
Dari dua kutipan di atas cukup jelas, bahwa orang yang benar-benar awam dan atau orang alim (berilmu) yang belum mencapai peringkat mujtahid agar bertaklid dan mengikatkan diri kepada imam mujtahid tertentu dari madzahib al-mujtahidin yang diyakini lebih kuat dibandingkan lainnya atau minimal yang berkualitas setara. Alasannya cukup jelas, bahwa yang demikian itu diwajibkan agar orang awam atau orang berilmu yang belum mencapai peringkat mujtahid tidak tersesat karena memperturutkan hawa nafsunya dalam menafsirkan dua sumber hukum utama dalam ajaran Islam, yakni al-Quran dan al-Hadits.
Seseorang tidak akan terbebani kesalahan dalam beragama manakala ia mampu mengukur kadar dirinya sendiri. Ia tidak akan tersesat bila ia mau berendah hati mau bertanya tentang apa yang ia tidak tahu kepada para ahlinya. Untuk memahami ilmu fikih yang rumit itu hendaklah tidak merujuk langsung kepada al-Quran dan tafsir-tafsirnya dan tidak pula kepada kitab-kitab matan hadits dan syarah-syarahnya. Melainkan, sesuai kelasnya, dengan langsung membaca kitab-kitab fikih mulai dari yang paling sederhana hingga yang panjang-panjang penjelasannya.
Dan akan lebih selamat apabila dalam mempelajarinya mendapat bimbingan langsung dari para orang berilmu yang ahli (spesialis) di bidang fikih islami.
” Dari dua kutipan di atas cukup jelas, bahwa orang yang benar-benar awam dan atau orang alim (berilmu) yang belum mencapai peringkat mujtahid agar bertaklid dan mengikatkan diri kepada imam mujtahid tertentu dari madzahib al-mujtahidin yang diyakini lebih kuat dibandingkan lainnya atau minimal yang berkualitas setara. Alasannya cukup jelas, bahwa yang demikian itu diwajibkan agar orang awam atau orang berilmu yang belum mencapai peringkat mujtahid tidak tersesat karena memperturutkan hawa nafsunya dalam menafsirkan dua sumber hukum utama dalam ajaran Islam, yakni al-Quran dan al-Hadits.
Seseorang tidak akan terbebani kesalahan dalam beragama manakala ia mampu mengukur kadar dirinya sendiri. Ia tidak akan tersesat bila ia mau berendah hati mau bertanya tentang apa yang ia tidak tahu kepada para ahlinya. Untuk memahami ilmu fikih yang rumit itu hendaklah tidak merujuk langsung kepada al-Quran dan tafsir-tafsirnya dan tidak pula kepada kitab-kitab matan hadits dan syarah-syarahnya. Melainkan, sesuai kelasnya, dengan langsung membaca kitab-kitab fikih mulai dari yang paling sederhana hingga yang panjang-panjang penjelasannya.
Dan akan lebih selamat apabila dalam mempelajarinya mendapat bimbingan langsung dari para orang berilmu yang ahli (spesialis) di bidang fikih islami.
Oleh Ahmad Ishomuddin, Penulis adalah Rais Syuriyah PBNU
Sumber: https://www.nu.or.id/post/read/104054/beragama-harus-dengan-ilmu-bukan-dengan-hawa-nafsu