Setiap anak yang terlahir adalah amanah Tuhan yang dititipkan kepada orang tuanya. Karenanya, setiap anak yang terlahir itu berhak lahir dalam keluarga yang lembut, penuh cinta dan kasih sayang. Akan tetapi, perintah agama agar mengayomi dan menyayangi anak sering dilanggar oleh orang tua.
Tidak sedikit orang tua yang terlalu protektif, sering menyalahkan dan memaksakan ego mereka kepada anak sehingga menjadi kasar dan destruktif. Bukan kebahagiaan dan kesenangan yang dirasakan oleh anak, melainkan penderitaan dan tekanan. Situasi demikian menyebabkan disfungsi keluarga, atau dikenal sebagai Toxic Parents.
Tanda-tanda yang masuk dalam kategori Toxic Parents adalah egois, over protektif dan suka mengontrol, menuntut berlebihan, suka memarahi dan kurang menghargai dan bercanda yang berlebihan. Perilaku orang tua seperti ini dapat berakibat buruk untuk perkembangan hingga psikis anak. Anak pun akan mengalami kerusakan emosional dan mental ketika dewasa.
Perintah Islam untuk Membahagiakan Anak
Islam adalah agama yang ceria dan bahagia. Agama yang menyebut senyum sebagai sedekah yang berpahala dan menyenangkan orang lain menjadi medium seseorang akan dicintai oleh Allah.
Abu Dzar al Ghifari meriwayatkan sebuah hadits, “Senyummu di depan saudaramu adalah sedekah”. (HR. Tirmidzi).
Dari Abdullah bin Abbas, Nabi bersabda: “Perbuatan yang paling dicintai Allah setelah kewajiban-kewajiban agama adalah membahagiakan orang lain”. (HR. Thabrani).
Senyum dan membahagiakan orang lain menjadi perantara seseorang mendapat pahala dan akan dicintai oleh Allah. Apalagi, kepada anak yang memang menjadi kewajiban orang tua untuk membahagiakan mereka. Tentu memiliki nilai lebih.
Syaikh Muhammad Nawawi al-Bantani dalam Qami’ut Thughyan ala Mandzumah Syu’abil Iman, ia menulis kisah riwayat Sayyidina Ali. Alkisah, pada saat Rasulullah duduk bersama para sahabat, seseorang laki-laki datang kemudian bersimpuh di depan Nabi. Ia datang karena telah melakukan dosa besar dan berharap ada tebusan untuknya.
Sayangnya, ketika ditanya tentang dosa yang telah diperbuat, laki-laki tersebut malu menceritakannya kepada Nabi sehingga beliau berbicara dengan nada tinggi, “Kamu malu mengatakannya padaku, tetapi kepada Allah yang Maha Melihat kamu tidak malu”. Beliau kemudian menyuruh laki-laki itu pergi. Laki-laki itu pergi dengan berurai air mata serta kesedihan.
Jibril kemudian datang menegur Rasulullah. Jibril menyayangkan tindakan Nabi yang bersikap kasar kepada laki-laki tersebut. Padahal, kata Jibril, sebesar apapun dosa laki-laki tadi, ia masih memiliki kaffarat (penebus dosa) yang bisa menghapus dosanya.
Nabi bertanya kepada malaikat Jibril tentang kaffarat tersebut. Jibril menjelaskan, laki-laki tadi memiliki anak kecil. Setiap kali ia pulang anaknya itu menyambutnya dengan gembira. Setiap kali pulang laki-laki itu selalu membawa makanan atau mainan yang membuat anaknya gembira.
Begitulah, Islam sangat menganjurkan kepada para orang tua untuk selalu membahagiakan anak-anaknya. Karenanya, toxic Parents merupakan perilaku yang terlarang dalam Islam. Membahagiakan tidak berarti menuruti semua keinginan anak. Namun, selama keinginan anak tidak bertentangan dengan syariat Islam alangkah baiknya untuk dipenuhi supaya mereka bergembira dan berbahagia.
Rasulullah bersabda: “Pemberian tambahan seseorang kepada keluarganya lebih utama dari pada pemberian tambahan kepada orang lain seperti keutamaan seseorang shalat berjamaah dibanding dengan shalat sendirian”. (HR. Ibnu Abi Syaibah).
Ada banyak cara membahagiakan anak. Membawakan mereka oleh-oleh setiap pulang ke rumah, membawa mereka rekreasi, mengajak bermain dan sebagainya. Jangan sampai anak mengalami trauma dan tekanan mental. Orang tua tidak boleh bersikap otoriter dan egois, memaksa anak supaya mengikuti semua keinginannya. Turuti cara berpikir dan kemauan anak selama tidak bertentangan dengan syariat Islam.