Berhubungan Badan, Tapi Tidak Keluar Mani, Apakah Wajib Mandi?

Dalam melakukan berhubungan suami-istri, terkadang ditemukan pasangan yang tidak mengeluarkan mani pada saat berhubungan. Lalu, bagaimana hukum mandi wajib bagi pasangan yang tidak mengeluarkan mani saat berhubungan?

Berikut ini adalah penjelasan mengenai hukum mandi ketika pasutri berhubungan badan namun tidak keluar mani.

Berhubungan badan antara suami dan istri adalah suatu hal yang menjadi kelaziman setelah adanya pernikahan. Nah, apakah keduanya harus tetap melakukan mandi wajib setelah bersetubuh badan padahal tidak terjadi orgasme atau keluar mani. Hal ini banyak ditanyakan oleh para pasangan suami dan istri karena yang umum mereka ketahui itu adalah yang menyebabkan mandi besar adalah keluar mani atau orgasme. Maka dari itu, mari simak penjelasan berikut ini.

Berhubungan Badan Tapi Tidak Keluar Mani, Apakah Wajib Mandi ?

Di dalam literatur kitab fikih banyak sekali keterangan yang menyinggung terkait apakah wajib untuk mandi ketika berhubungan badan tanpa keluar mani. Salah satunya adalah keterangan di dalam kitab I’anatut Thalibin karya Syekh Abu Bakar Syatha Ad-Dimyathi;

واعلم أن خروج المني موجب للغسل، سواء كان بدخول حشفة أم لا، ودخول الحشفة موجب له، ‌سواء ‌حصل ‌مني ‌أم ‌لا.

Artinya; “Ketahuilah bahwa keluar mani itu mewajibkan mandi besar, baik karena sebab masuknya kemaluan atau tidak. Dan Adapun masuknya kemaluan juga mewajibkan mandi, baik keluar mani atau tidak.”

Keterangan di atas didasarkan kepada sebuah hadist dari Sayyidah Aisyah Ra.

إِذَا مَسَّ الْخِتَانُ الْخِتَانَ فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ.

Artinya; “Jika dua kemaluan saling bersentuhan maka sungguh menjadi wajib apa mandi.” (HR. Malik).

Keterangan serupa juga dapat dijumpai di dalam kitab Kasyifatus Syaja Syarh Safinatun Najah karya ulama Nusantara yaitu Syaikh Nawawi Al-Bantani.

واعلم أن خروج المني موجب للغسل سواء كان بدخول حشفة أم لا ودخول الحشفة موجب له سواء حصل مني أم لا فبينهما عموم وخصوص من وجه ولا يجب الغسل بالاحتلام إلا أن أنزل.

Artinya; “Ketahuilah bahwa keluar mani itu mewajibkan mandi besar, baik karena sebab masuknya kemaluan atau tidak. Dan Adapun masuknya kemaluan juga mewajibkan mandi, baik keluar mani atau tidak. Dengan kata lain, di antara keduanya ada umum khusus dari satu sisi. Dan tidak wajib mandi karena sebab mimpi (jimak) kecuali sampai keluar mani.”

Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa pasutri yang melakukan hubungan badan tetap wajib mandi meskipun tidak keluar mani saat berhubungan badan, karena jima memang menjadi alasan tersendiri untuk mewajibkan mandi. (Baca: Tata Cara Mandi Besar)

Demikian penjelasan mengenai berhubungan badan tapi tidak keluar mani, apakah wajib mandi ?. Semoga bermanfaat, Wallahu a`lam.

BINCANG SYARIAH

Kenapa Harus Berdoa sebelum Jima?

HAMPIR dari seluruh aktivitas kita sehari-hari, Rasulullah ﷺ telah mengajarkan doanya. Selain untuk mendapatkan kemudahan, doa juga cara kita memohon keberkahan dari setiap kegiatan yang kita lakukan. Termasuk di dalamnya berhubungan suami istri alias jima.

Untuk meraih keberkahan dalam jima pada pasangan suami istri, di antaranya adalah dengan berdo’a ketika hendak mendatangi istri. Keampuhan do’a ini akan memberikan kebaikan pada keturunan yang dihasilkan, itu di antaranya. Juga tentunya jima yang sesuai ajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam akan semakin menambah kemesraan karena keberkahan yang hadir ketika itu.

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Jika salah seorang dari kalian (yaitu suami) ingin berhubungan intim dengan istrinya, lalu ia membaca do’a:

(Bismillah Allahumma jannibnaasy syaithoona wa jannibisy syaithoona maa rozaqtanaa), “Dengan (menyebut) nama Allah, ya Allah jauhkanlah kami dari (gangguan) setan dan jauhkanlah setan dari rezki yang Engkau anugerahkan kepada kami”, kemudian jika Allah menakdirkan (lahirnya) anak dari hubungan intim tersebut, maka setan tidak akan bisa mencelakakan anak tersebut selamanya,” (HR. Bukhari no. 6388 dan Muslim no. 1434).

Kapan Do’a Tersebut Dibaca?

Dikutip dari Rumaysho.com, Ash Shon’ani berkata bahwa hadits tersebut adalah dalil bahwa do’a tersebut dibaca sebelum bercumbu yaitu ketika punya keinginan. Karena dalam riwayat Bukhari lainnya disebutkan,

“Adapaun jika salah seorang dari mereka mengucapkan ketika mendatangi istrinya …” (HR. Bukhari no. 5165).

Makna kata “ketika” (حِينَ) dalam riwayat ini bermakna “berkeinginan”. (Subulus Salam, 6: 91).

Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (9: 228) berpendapat bahwa do’a ini dibaca sebelum jima. Begitu pula pendapat Syaikh ‘Abdul Qodir Syaibah dalam Fiqhul Islam, 7: 61-64.

Intinya, do’a ini diucapkan sebelum memulai jima dan bukan di pertengahan atau sesudahnya. Hukum membaca do’a ini adalah sunnah (mustahab) (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 1: 190). Dan jika dilihat dari tekstual hadits di atas, do’a ini dibaca oleh suami.

Berkah dari Berdo’a sebelum Hubungan Intim

Pertama: Mengikuti ajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, ini sudah merupakan berkah tersendiri. Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu pernah berkata,

”Aku tidaklah biarkan satu pun yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam amalkan kecuali aku mengamalkannya karena aku takut jika meninggalkannya sedikit saja, aku akan menyimpang,” (HR. Bukhari no. 3093 dan Muslim no. 1759).

Kedua: Setan tidak akan turut serta dalam hubungan intim tersebut karena di dalam do’a ini diawali dengan penyebutan “bismillah”. Demikian pendapat sebagian ulama. Mujahid rahimahullah berkata,
“Siapa yang berhubungan intim dengan istrinya lantas tidak mengawalinya dengan ‘bismillah’, maka setan akan menoleh pada pasangannya lalu akan turut dalam berhubungan intim dengannya” (Fathul Bari, 9: 229). Ya Allah, lindungilah kami dari gangguan setan kala itu.

Ketiga: Kebaikan do’a ini pun akan berpengaruh pada keturunan yang dihasilkan dari hubungan intim tersebut. Buktinya adalah riwayat mursal namun hasan dari ‘Abdur Razaq di mana disebutkan,
“Jika seseorang mendatangi istrinya (berhubungan intim), maka ucapkanlah ‘Ya Allah, berkahilah kami dan keturunan yang dihasilkan dari hubungan intim ini, janganlah jadikan setan menjadi bagian pada keturunan kami’. Dari do’a ini, jika istrinya hamil, maka anak yang dilahirkan diharapkan adalah anak yang sholeh” (Fathul Bari, 9: 229).

Keempat: Keturunan yang dihasilkan dari hubungan intim ini akan selamat dari berbagai gangguan setan. Jika dipahami dari tekstual hadits, yang dimaksud dengan anak tersebut akan selamat dari berbagai bahaya adalah umum, yaitu mencakup bahaya dunia maupun agama. Namun Al Qodhi ‘Iyadh berkata bahwa para ulama tidak memahami seperti itu. (Minhatul ‘Allam, 7: 348).

Ibnu Daqiq Al ‘Ied berkata, “Bisa dipahami dari do’a ini bahwa setan juga tidak akan membahayakan agama anak dari hasil hubungan intim tersebut. Namun bukan berarti anak tersebut ma’shum, artinya selamat dari dosa” (Fathul Bari, 9: 229).

Syaikh Ibnu Baz memahami bahwa yang dimaksud dalam hadits bahwa anak tersebut akan tetap berada di atas fithroh yaitu Islam. Setan bisa saja menggoda anak tersebut, namun segera ia akan kembali ke jalan yang lurus. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari syaitan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya” (QS. Al A’rof: 201) (Lihat Minhatul ‘Allam, 7: 349).

Kelima: Keberkahan do’a ini berlaku bagi wanita yang akan hamil dengan hubungan intim tersebut atau yang tidak hamil karena lafazhnya umum. Inilah pendapat Al Qodhi ‘Iyadh (Fathul Bari, 9: 229).

Jadikanlah Kebiasaan!

Syaikh ‘Abdullah Al Fauzan hafizhohullah berkata, “Hendaklah seorang muslim bersemangat mengamalkan do’a ini ketika berhubungan intim hingga menjadi kebiasaan. Hendaklah ia melakukannya dalam rangka mengamalkan nasehat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan demi menghasilkan keturunan yang terjaga dan terlindungi dari gangguan setan, juga supaya mendapatkan keberkahan dari do’a ini” (Minhatul ‘Allam, 7: 348).

Ibnu Hajar berkata, “Faedah yang ditunjukkan dalam do’a ini adalah disunnahkannya membaca bismillah dan berdo’a serta merutinkannya hingga pada hal yang nikmat semacam dalam hubungan intim”. (Fathul Bari, 9: 229).

Hadits yang kita ulas kali ini menunjukkan bahwa setan akan mengganggu manusia dalam segala kondisi. Ketika tidur, ketika bangun dari tidur, setan akan terus memberikan was-was. Jika seseorang lalai dari mengingat Allah, maka setan akan mengganggu. Namun jika mengingat Allah, setan akan lari bersembunyi. Oleh karena itu, hendaklah kita membiasakan untuk terus berdzikir, membaca ta’awudz, berdo’a, supaya kita terlindungi dari gangguan setan (Nasehat Syaikh ‘Abdullah Al Fauzan dalam Minhatul ‘Allam, 7: 349). []

ISLAMPOS