Ketika merasa kurang terhadap nikmat Allah, kita baru saja berbuat keliru. Karena Tuhan-lah yang lebih tahu apa yang harus diberikan kepada hamba-hamba-Nya. Seandainya si miskin diberi banyak harta boleh jadi tidak mampu memanfaatkan hartanya dengan baik dan terjerumus dalam jurang kenistaan. Si kaya andaikan ditakdir menjadi miskin ia tidak sanggup dan terperosok ke dalam kekufuran.
Karena itu, al Qur’an mengingatkan, “Boleh jadi kau membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kau menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”. (al Baqarah: 216).
Sesungguhnya nikmat yang Allah berikan tidak terhitung jumlahnya. Kealfaan kita untuk mensyukuri nikmat itu karena menyangka bahwa nikmat hanya berupa harta duniawi. Sementara kesehatan, keselamatan, kedamaian, dan seterusnya bukan nikmat. Terlalu naif kalau nikmat-nikmat yang tak terbilang jumlahnya tidak disyukuri.
Dalam al Qur’an surat al Rahman Allah menyinggung sebanyak 31 kali nikmat-nikmat yang diberikan kepada manusia dengan firman-Nya’ “Nikmat apa lagi yang kau dustakan?”. Tabiat manusia yang selalu merasa kurang menyebabkan ia lupa untuk bersyukur. Alangkah sering kita merasa Allah tidak peduli dan tidak kasih sayang gara-gara kita merasa harta duniawi sedikit dan sulit diperoleh.
Bersyukur bukan berarti menafikan usaha untuk memperoleh yang lebih. Justru, usaha giat dan bekerja keras sangat dianjurkan oleh Allah supaya menjadi muslim yang kuat secara ekonomi. Bersyukur adalah wujud pernyataan seorang bahwa segala yang diperoleh sesungguhnya merupakan pemberian Allah.
Maka, rumus bahagia tidak lain adalah syukur. Berterimakasih kepada Allah atas segala yang telah diberikan dan tidak berputus asa untuk selalu berusaha. Kaya belum tentu bahagia, miskin demikian juga. Bahagia hanya milik mereka yang bersyukur, baik kaya maupun miskin.
Untuk melengkapi rasa syukur dan supaya hidup tenang serta bahagia Rasulullah mengajarkan doa “Ya Allah, kami mohon perlindungan dari gelisah dan sedih, lemah dan malas, pengecut dan pelit, dibelit hutang dan dikuasi orang lain”.
Apabila kita mampu mengejawantahkan semua ini kabahagiaan yang didambakan bukan angan-angan, tapi menjadi nyata. Hidup akan selalu damai dan tenang. Di lingkungan keluarga penuh canda tawa, bersama sanak kadang dan tetangga bercengkrama penuh tawa, dan pastinya tenang dalam beribadah.
Karena itu, sejak saat ini, jadilah orang yang bersyukur supaya hidup di dunia yang hanya persinggahan sementara ini dijalani dengan penuh kebahagiaan dan ketentraman.