Tanggung jawab terbesar suami yang menjadi hak istri adalah memberikan nafkah kepadanya. Oleh karena itu, Islam menuntut kepada para suami agar keluar rumah mencari rezeki untuk memenuhi tanggung jawab tersebut. Terdapat banyak dalil yang menunjukkan tanggung jawab memberi nafkah istri ini, di antaranya:
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara baik. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.” (QS al-Baqarah: 233)
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلَا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ
“Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka.” (QS at-Thalaq: 6)
Di dalam hadis dari Muawiyah bin Haidah, beliau bertanya kepada Nabi saw: “ya Rasulullah, apa hak istri yang menjadi tanggung jawab kami?”
Nabi saw menjawab:
أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ أَوْ اكْتَسَبْتَ وَلَا تَضْرِبْ الْوَجْهَ وَلَا تُقَبِّحْ وَلَا تَهْجُرْ إِلَّا فِي الْبَيْتِ
“Engkau memberinya makan apabila engkau makan, memberinya pakaian apabila engkau berpakaian, janganlah engkau memukul wajah, jangan engkau menjelek-jelekkannya (dengan perkataan atau cacian), dan jangan engkau tinggalkan kecuali di dalam rumah.” (HR Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah, dan dihasankan Syuaib al-Arnauth)
Sementara istri tidak diwajibkan kepadanya untuk memberi nafkah keluarga. Maka, tidak ada kewajiban baginya untuk bekerja mencari penghasilan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Jika pun bekerja di luar rumah, istri tentu harus mendapat izin dari suaminya.
Penghasilan yang diperoleh dari hasil kerja istri itu bisa berdampak positif atau negatif terhadap keluarga. Artinya, penghasilan istri itu bisa menguatkan sendi-sendi perekonomian keluar atau bahkan sebaliknya, ia bisa menjadi ancaman.
Jika istri juga memiliki penghasilan dari usahanya sendiri, sejatinya itu adalah hak istri. Suami tidak mempunyai hak sedikitpun. Kelemahan fisik, atau statusnya sebagai istri tidak berarti boleh menikimati penghasilannya begitu saja.
Syekh Abdullah bin Abdur Rahman al Jibrin pernah ditanya tentang hukum suami yang mengambil uang (harta) milik istrinya, untuk digabungkan dengan uangnya (suami). Menjawab pertanyaan seperti ini, Syekh al Jibrin mengatakan, tidak disangsikan lagi, isteri lebih berhak dengan mahar dan harta yang ia miliki, baik melalui usaha yang ia lakukan, hibah, warisan, dan lain sebagainya. Itu merupakan hartanya, dan menjadi miliknya. Dia yang paling berhak untuk melakukan apa saja dengan hartanya itu, tanpa ada campur tangan pihak lainnya.
Karena penghasilan istri menjadi hak dia sepenuhnya, sehingga perlakuan kepadanya sama halnya dengan kepunyaan orang lain, tidak boleh dimanfaatkan kecuali dengan keridaan dan kerelaannya. Demikian itu sama halnya ketika istri telah rela memberikan mahar kepadanya suaminya. Sebagaimana firman Allah:
وَءَاتُوا النِّسَآءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِن طِبْنَ لَكُمْ عَن شَىْءٍ مِّنْهُ نَفَسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَّرِيئًا
“Berikanlah mas kawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari mas kawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (QS an-Nisa: 4)
Ayat di atas, ditujukan kepada para suami, bukan kepada para wali wanita. Inilah pendapat yang shahih.
Idealnya, antara suami dan istri terjalin kasih sayang dan empati timbal-balik. Hubungan mesra mereka, sepantasnya tidak tergantung pada uang. Karena, harga keutuhan rumah tangga tidak bisa diukur dengan uang. Kerja sama dan saling mendukung antara suami istri harus tetap terjaga.