Islam Begitu Mudah Diterima Rakyat Bosnia yang Mayoritas Kristen, Ini Alasannya

Rakyat Bosnia menerima Islam dengan cara terbuka dan tanpa paksaan

Sebelum kedatangan penguasa Muslim, posisi Bosnia cukup unik dalam peta geopolitik Kristen pada Abad Pertengahan. Bosnia-Herzegovina memiliki populasi Muslim yang cukup signifikan di Semenanjung Bal kan atau Benua Eropa pada umumnya sampai saat ini.

Riset Houssain Kettani yang terbit pada International Journal of En vironmental Science and Development (2010) menunjukkan, pada 2010 sebesar 43,8 persen dari total penduduk negara tersebut (3.781.274 jiwa) adalah umat Islam. Lebih lanjut, jumlah itu diprediksi stabil hingga 2020 mendatang. 

Bosnia-Herzegovina memiliki sejarah yang panjang dengan Islam. Sebelum ke datangan penguasa Muslim, posisi Bosnia cukup unik dalam peta geopolitik Kristen pada Abad Pertengahan. 

Menurut Schuman dalam “Nations in Transition: Bosnia and Herze govina” (2004), sejak 1180, wilayah tersebut dipimpin Raja (Ban) Kulin yang menolak kekuasaan Romawi Barat (Katolik) dan Romawi Timur (Kristen Ortodoks). Ban Kulin lebih mendukung Bogomi lisme hingga akhir kekuasaannya pada 1204. 

Baik Katolik maupun Kristen Ortodoks memandang sekte tersebut sebagai aliran sesat. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila Paus Gregory IX berulang kali mengimbau penyerbuan atas Bosnia pada Perang Salib periode 1235-1241. 

Barulah pada 1322, Bosnia di bawah pimpinan Ban Ko tro manic menjalin aliansi dengan penguasa Katolik yang terdekat, Hungaria. 

Namun, aliansi ini tidak mampu berbuat banyak terhadap perluasan wilayah Dinasti Turki Utsmaniyah. Pada 28 Juni 1389, pasukan Muslim berhasil menaklukkan Raja Serbia yang beragama Kristen Ortodoks, Lazar, di Kosovo. Bosnia pun kian lemah dari sisi internal dengan munculnya Stephen Vukcik yang mendeklarasikan pemisahan Herzegovina pada 1448.

Tiga tahun kemudian, Vrhbosna (kini Sarajevo) dapat dikuasai Turki Utsmaniyah. Barulah pada 1465 dan 1481, Turki Utsmaniyah berhasil menaklukkan berturut-turut Bosnia dan Herzegovina.

Schuman menjelaskan, para sultan Utsmaniyah melindungi hak-hak orang non- Muslim di wilayah taklukan untuk hidup secara wajar dan beribadah. Bagaimanapun, gelombang perpindahan agama tetap terjadi.

Para sejarawan menduga pelbagai motif penduduk setempat untuk menjadi Muslim. Di antaranya adalah mereka, terutama kaum Bogomilisme, ingin mempertahankan hak-hak istimewa. Menjadi seagama dengan penguasa setempat dipandang akan lebih menguntungkan.

Selain itu, renggangnya hubungan Bosnia dengan ajaran Katolik dan Kristen Ortodoks agaknya menjelaskan alasan mereka untuk lebih menerima Islam. Beberapa sejarawan menyoroti pemberlakuan sistem devsirme yang mewajibkan setiap laki-laki dewasa untuk mengabdi pada pemerintahan Utsmaniyah. Aturan ini berlaku, baik di lingkup sipil maupun militer.

Akan tetapi, para sultan Utsmaniyah lebih mementingkan aspek meritokrasi dari pada identitas agama. Sebagai contoh, seorang Kristen Ortodoks bernama Soko lovic terpilih untuk dikirim ke ibu kota Kesultanan Utsmaniyah, Istanbul, demi melanjutkan pendidikan.

Dia kemudian menjadi seorang Muslim dan pada akhirnya meraih posisi wazir utama. Schuman menyebut, agama Kristen masih dipeluk ka lang an petani, sedangkan kelas menengah dan kelas atas Bosnia-Herzegovina condong pada Islam. 

Dalam kekuasaan Turki Utsmaniyah, Kota Vrhbosna menjadi pusat kegiatan politik, pendidikan, dan budaya masyarakat.

Puluhan masjid dan ratusan sekolah untuk umum dibangun. Menjelang pertengahan 1500-an, Vrhbosna telah memiliki tata kota yang cukup modern, lengkap dengan sistem irigasi, fasilitas kesehatan publik, dan destinasi wisata. 

Pada masa inilah kota tersebut berubah namanya menjadi Sarajevo, yang diambil dari bahasa Turki saraj (‘istana’) dan ovas (‘tanah terbuka’). Memasuki era 1700-an, kendali Istanbul atas Bosnia-Herzegovina mulai menyusut.

Hal ini seiring dengan menurunnya simpati warga, termasuk kaum Muslim Bosnia, yang memandang rezim Utsmaniyah mengabaikan kepentingan setempat.  

KHAZANAH REPUBLIKA

Islam di Bosnia: Jasa Kesultanan Utsmaniyah

Islam pertama kali diperkenalkan di kawasan Bosnia dan Herzigovina saat penaklukan Ottoman paruh kedua abad ke-15, atau sekitar 1463. Namun, butuh waktu 100 tahun Islam menjadi mayoritas di negara tersebut.

Ketua komunitas Islam Bosnia Herzegovina Husein Kavazovic mengatakan, Islam menyebar di Bosnia melalui institusi yang didirikan oleh Ottoman Turki (Kesultanan Utsmaniyah). Islam tidak disebarkan dari orang yang berceramah keliling atau pedagang seperti di Venesia.

Sejak awal, Islam di Bosnia adalah Islam yang institusional memiliki ulama dan sekolah agama. Pada 1600, sebanyak dua per tiga penduduk Bosnia adalah Muslim. Mereka mendapat otonomi setelah pemberontakan Bosnia pada 1831.

Setelah Kongres Berlin, kekuasaan Ottoman di kawasan ini berakhir pada 1878 dan beralih di bawah Kekaisaran Austria-Hongaria, umat Islam membantu dalam membangun pusat Insitusi Islam Mashikha Islamiyya.

Selain itu, umat Islam saat itu juga membangun kembali sekolah agama dan fakultas Islam dengan menerapkan disiplin ilmu tradisional dan ilmu pengetahuan modern. Ketika itu ulama Bosnia juga telah mempraktikkan tasawuf dasar. Umat Islam telah lama belajar dengan buku-buku yang ditulis oleh ulama dan memiliki masjid sebagai pusat belajar.

Bosnia, Albania, dan Kosovo merupakan bagian negara Kekaisaran Ottoman di Balkan yang sebagian besar penduduknya memeluk Islam dan tetap tinggal di sana hingga merdeka. Di negara lain, setelah Ottoman tak lagi memegang kekuasaan, banyak Muslim yang diusir, dipaksa pindah agama, dibantai, juga melarikan diri ke negara lain.

REPUBLIKA

Islam di Bosnia, Pengaruh Utsmaniyah, dan Geopolitik Balkan

Sebelum kedatangan penguasa Muslim, posisi Bosnia cukup unik dalam peta geopolitik Kristen pada Abad Pertengahan. Bosnia-Herzegovina memiliki populasi Muslim yang cukup signifikan di Semenanjung Balkan atau Benua Eropa pada umumnya sampai saat ini.

Riset Houssain Kettani yang terbit pada International Journal of En vironmental Science and Development (2010) menunjukkan, pada 2010 sebesar 43,8 persen dari total penduduk negara tersebut (3.781.274 jiwa) adalah umat Islam. Lebih lanjut, jumlah itu diprediksi stabil hingga tahun 2020 mendatang.

Bosnia-Herzegovina memiliki sejarah yang panjang dengan Islam. Sebelum ke datangan penguasa Muslim, posisi Bosnia cukup unik dalam peta geopolitik Kristen pada Abad Pertengahan. Menurut Schuman dalam “Nations in Transition: Bosnia and Herze govina” (2004), sejak tahun 1180, wilayah tersebut dipimpin Raja (Ban) Kulin yang menolak kekuasaan Romawi Barat (Ka tolik) dan Romawi Timur (Kristen Orto doks). Ban Kulin lebih mendukung Bogomi lisme hingga akhir kekuasaannya pada 1204.

Baik Katolik maupun Kristen Ortodoks memandang sekte tersebut sebagai aliran sesat. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila Paus Gregory IX berulang kali mengimbau penyerbuan atas Bosnia pada Perang Salib periode 1235-1241. Barulah pada 1322, Bosnia di bawah pimpinan Ban Ko tro manic menjalin aliansi dengan penguasa Katolik yang terdekat, Hungaria.

Namun, aliansi ini tidak mampu berbuat banyak terhadap perluasan wilayah Dinasti Turki Utsmaniyah. Pada 28 Juni 1389, pasukan Muslim berhasil menaklukkan Raja Serbia yang beragama Kristen Ortodoks, Lazar, di Kosovo. Bosnia pun kian lemah dari sisi in ternal dengan munculnya Stephen Vukcik yang mendeklarasikan pemisahan Herzegovina pada 1448.

Tiga tahun kemudian, Vrhbos na (kini Sarajevo) dapat dikuasai Turki Utsmaniyah. Barulah pada 1465 dan 1481, Turki Utsmaniyah berhasil menaklukkan berturut-turut Bosnia dan Herzegovina. Schuman menjelaskan, para sultan Utsmaniyah melindungi hak-hak orang non- Muslim di wilayah taklukan untuk hidup secara wajar dan beribadah. Bagai manapun, gelombang perpindahan agama tetap terjadi.

Para sejarawan menduga pelbagai motif penduduk setempat untuk menjadi Muslim. Di antaranya adalah me reka, terutama kaum Bogomilisme, ingin mempertahankan hakhak istimewa. Men jadi seagama dengan penguasa setempat dipandang akan lebih menguntungkan.

Selain itu, renggangnya hubungan Bosnia de ngan ajaran Katolik dan Kristen Ortodoks agaknya menjelaskan alasan mereka untuk lebih menerima Islam. Beberapa sejarawan menyoroti pemberlakuan sistem devsirme yang mewajibkan setiap laki-laki dewasa untuk mengabdi pada pemerintahan Utsmaniyah. Aturan ini berlaku, baik di lingkup sipil maupun militer.

Akan tetapi, para sultan Utsmaniyah le bih mementingkan aspek meritokrasi dari pada identitas agama. Sebagai contoh, seorang Kristen Ortodoks bernama Soko lovic terpilih untuk dikirim ke ibu kota Kesultanan Utsmaniyah, Istanbul, demi melanjutkan pendidikan.

Dia kemudian menjadi seorang Muslim dan pada akhirnya meraih posisi wazir utama. Schuman menyebut, agama Kristen masih dipeluk ka lang an petani, sedangkan kelas menengah dan kelas atas Bosnia-Herzegovina condong pada Islam. Dalam kekuasaan Turki Utsmaniyah, Kota Vrhbosna menjadi pusat kegiatan politik, pendidikan, dan budaya masyarakat.

Pu luhan masjid dan ratusan sekolah untuk umum dibangun. Menjelang pertengahan tahun 1500-an, Vrhbosna telah memiliki tata kota yang cukup modern, lengkap dengan sistem irigasi, fasilitas kesehatan publik, dan destinasi wisata.

Pada masa inilah kota tersebut berubah namanya menjadi Sarajevo, yang diambil dari bahasa Turki saraj (‘istana’) dan ovas (‘tanah terbuka’). Memasuki era 1700-an, kendali Istanbul atas Bosnia-Herzegovina mulai menyusut. Hal ini seiring dengan menurunnya simpati warga, termasuk kaum Muslim Bosnia, yang memandang rezim Utsmaniyah mengabaikan kepentingan setempat.

Memang, hingga dasawarsa 1800-an, Bosnia-Herzegovina cen derung tertinggal bila dibandingkan dengan tetangganya, Kroasia yang dikuasai Wangsa Hapsburg dan Serbia yang telah lepas dari kekuasaan Utsmaniyah. Sementara, mayoritas rakyat Bosnia-Herzegovina hidup dalam kemiskinan, seantero Eropa mulai terpacu revolusi industri.

Negeri ini menjadi rentan campur ta ngan asing. Pada 1875, kelompok petani Kristen di Herzegovina memberontak terha dap para tu an tanah Muslim. Pasukan Uts maniyah dapat memadamkan pemberon takan yang didukung Serbia ini. Kesultanan juga mendapatkan tantangan dari luar.

Aliansi Serbia dan Montenegro meng umum kan perang terhadap Utsmaniyah pada 1876. Satu tahun kemudian, Rusia melakukan hal yang sama. Namun, langkah Rusia ini menimbulkan kecurigaan dari imperium Eropa daratan. Usai perang Rusia-Turki pada 1878, kongres terjadi di Berlin, Jerman, antara wakil-wakil imperium besar Eropa, yakni Rusia, Ing gris Raya, Prancis, Austria-Hungaria, Ita lia, Jerman, dan Kesultanan Utsmaniyah.

Mereka menyepakati pembagian garis ke kuasaan di Semenanjung Balkan. Bosnia-Her zegovina pun berstatus otonom di ba wah kekuasaan Aus tria-Hungaria, mes ki pun secara legal masih merupakan wila yah Utsmaniyah. Sekelompok umat Islam Bosnia memberon tak terhadap keputusan ini, tetapi cepat di patahkan kekuatan militer Austria-Hungaria.

Tiga puluh tahun setelah itu, Austria-Hungaria resmi mencaplok Bosnia-Herze govina. Awalnya, langkah ini dianggap me nya lahi Kongres Berlin 1878. Imperium Ka to lik itu ke mudian memberikan sejum l ah be sar uang ke pada Utsmaniyah sebagai kom pen sasi. Namun, Serbia masih mengecam aneksasi Austria-Hungaria ini karena diang gap membahayakan umat Kristen Ortodoks setempat.

Pada 1912, Serbia yang beraliansi dengan Mon tenegro, Bulgaria, dan Yunani merebut sebagian besar wilayah Utsmaniyah di Semenanjung Balkan. Sementara itu, ke sul tanan Turki Utsmaniyah sendiri sedang goyah. Inilah awal dari prahara Perang Dunia I. Di Serbia muncul kelompok ekstremis Tangan Hitam (Black Hand) yang dipimpin komandan militer Serbia, Dragutin Dimitrijevic. Tangan Hitam meyakini Bosnia-Herzegovina harus menjadi milik rezim Kris ten Ortodoks, bukan Austria-Hungaria.

Pada 28 Juni 1914, putra mahkota Austria-Hu ngaria, Francis Ferdinand, dan rom bongan berkunjung ke Sarajevo. Dimitri je vic lantas mengutus seorang pemuda 19 tahun, Gavrilo Princip, untuk menjalankan misi pembunuhan terhadap Francis. De ngan pistol dari sakunya, Princip meng hi langkan nyawa sang pangeran Austria-Hungaria beserta istrinya, Sophie, yang sedang menumpangi kendaraan mereka. 

 

REPUBLIKA